Airen memainkan mainannya tanpa semangat, manik almond bulat itu terlihat sendu. Bahkan cemilan kesukaannya pun diabaikannya begitu saja, semua ini karena sang kakak yang tak kunjung pulang. Bahkan kamar berpintu putih itu kosong dan terakhir si kecil lihat presensi sang kakak hanya saat ia jatuh pingsan di depannya. Kemudian di keesokan harinya sosok sang kakak tidak lagi terbaring di ranjang kamarnya.
“Kak Arlen” gumam si kecil sambil menatap pintu utama
Tubuh kecilnya tersentak saat mendengar suara ketukan pintu, dengan sedikit ragu dia mendekat untuk membuka pintu. “Paman Krisan?!” pekiknya lega yang langsung berhambur memeluk kaki pria yang memakai pakaian kasual itu. Krisan tersenyum sambil membawa Arlen ke dalam pelukannya, “Hai jagoan” sapanya. Wajah riangnya kembali sendu mengingat sang kakak tidak ada di rumah.
“Kak Arlen pergi dan belum kembali” adunya
“Aku tahu” manik almond bulat itu menatapnya terkejut
“Mau bertemu?” ajak Krisan
“IYA!!” pekik si kecil antusias
Krisan bersyukur, teramat sangat bersyukur. Saat kemarin mengenali salah satu anak yang dekat dengan Arlen, jika tidak salah Yogi, yang tengah mengurus administrasi. Selain itu juga mendapat hal lainnya saat Miko bergabung dengan pembicaraan mereka. Krisan juga memberitahu rencananya pada kedua sahabat Arlen itu dan mereka jelas saja setuju meski awalnya Miko terlihat enggan dan ragu.
Setelah mengambil beberapa pakaian ganti untuk Arlen dan memberi kabar pada Maya yang Krisan syukuri masih menyimpan kontak wanita itu. Airen tak hentinya bersenandung riang sambil terus mengayunkan kedua kakinya dengan sangat antusias di dalam kursi taksi. Dia sungguh tidak sabar menemui kakaknya yang tidak pulang beberapa hari ini. Dia rindu, sangat!
Airen tidak banyak bertanya, jemari mungilnya menggenggam erat jari telunjuk Krisan yang bebas. Mereka berjalan melewati koridor yang cukup ramai dengan orang-orang berpakaian serba putih yang tidak dikenal Airen kecuali para dokter. Bahkan ada yang menarik sebuah tiang dengan kantung berisi air yang tidak diketahui si kecil juga. Ini kunjungan pertamanya di rumah sakit. Keduanya terus berjalan, sesekali Krisan membalas sapaan suster maupun dokter lainnya. Hingga mereka berhenti di sebuah ruangan,
“Kau siap?” tanya Krisan memandang si kecil
“Eung!” jawab Airen sambil mengangguk antusias
Krisan tersenyum sambil mengusap salah satu pipi tembam si kecil, dia lalu membuka pintu ruang itu dan membawa keduanya masuk. Kedua pasang manik almond itu saling bertemu dalam waktu lama, ada rasa rindu yang begitu meletup-letup bak kembang api di dalam dada si kecil. Dengan segera digerakkannya kaki mungilnya mendekat ke arah ranjang rumah sakit, berusaha untuk bisa menaikinya. Krisan memilih mendekat untuk membantu si kecil naik, “Terimakasih paman!” dan si kecil selalu lupa untuk memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’. Krisan sabar kok.
“Kak Arlen! Renren rindu!”
Arlen mengerjap beberapa kali saat tubuh mungil itu memeluknya begitu erat. Seakan sesuatu yang hilang telah kembali padanya, kedua tangannya membalas pelukan si kecil. Menghirup aroma khas bayi yang entah kenapa semenenangkan aroma bergamot dan vanilla yang ada di kamar berpintu putih itu. Begitu pula pelukan hangat yang selalu mengingatkannya pada pelukan Airennya. Arlen tahu, selama ini dia telah kalah, presensi si kecil seakan menjadi cahaya baru baginya dan Arlen tahu dia membutuhkannya.
Tapi apakah semua ini benar?
Hatinya kembali bimbang dan meragu, selama ini Arlen hanya membutuhkan Airennya. Bahkan tidak peduli jika sang papa kembali, Arlen hanya butuh Airennya dan itu sudah cukup. Tapi saat ini Airennya telah pergi, jauh dan tidak dapat ditemukannya bahkan di ujung dunia sekalipun. Dan presensi yang begitu mirip dengan Airennya muncul, kehadirannya seakan menawarkan padanya tempat untuk bersandar dan singgah sementara.
“Kak Arlen jangan pergi kemana-mana lagi” rengek Airen
Tapi Arlen memilih semakin mengeratkan pelukannya.
“Nanti kita pulang terus main bersama ya kak?” celotehnya
“Atau Renren bisa ajak kakak jalan-jalan lalu kita makan es krim bersama”
Airen masih sibuk merangkai apa saja yang ingin dilakukannya dengan sang kakak tersayangnya itu. Hingga yang tertua mengurai peluk menatap si kecil yang masih asik berceloteh tentang kegiatan mereka nantinya. Manik almond bulat itu begitu menyesakkan dada Arlen, dan ketika si kecil berhenti berceloteh lalu membalas menatapnya. Tembok besar itu seakan runtuh seketika,
Arlen tidak pernah membenci kehadiran si kecil sejak awal. Dia hanya takut. Takut jika afeksi yang diberikan untuknya hanya sementara, takut jika semua yang terlihat olehnya hanya ilusinya sendiri. Baik sapaan riang, pelukan hangat pada kedua kaki jenjangnya, senyuman yang begitu lebar, serta tatapan yang penuh cinta tulus tanpa syarat. Arlen hanya takut semuanya palsu dan hanya ilusinya karena rasa kehilangan akan mataharinya. Kedua tangan si kecil bergerak menelusuri wajah Arlen.
“Kakak lelah ya? Ada Renren disini untuk kakak” ujarnya sambil mengusap kedua pipi Arlen lembut
Krisan hanya bisa terhenyak ketika mendengar penuturan si kecil, darimana dia mendapatkan kalimat itu. Umurnya baru lima tahun padahal. “Kakak menangis?” Airen kembali berujar saat melihat air mata yang mengalir dari mata elang bermanik almond itu. Jemari mungilnya bergerak guna menghapus air mata dari wajah kakak tersayangnya. “Kau berisik” itulah ucapan parau yang pertama kali terdengar setelah Arlen terdiam sejak tadi.
Si kecil memilih kembali memeluk erat leher kakak tersayangnya, dia belum puas menyalurkan perasaan rindunya sejak kemarin-kemarin. “Sudah ya kak, cupcupcup jangan menangis lagi. Nanti Renren belikan es krim deh” hiburnya yang membuat Krisan menahan tawanya. Arlen tidak begitu peduli, usapan di belakang kepalanya lebih menyenangkan daripada ujaran si kecil yang berusaha menghibur seperti anak-anak tadi. Sayangnya momen kakak dan adik itu harus terhenti karena suara pintu ruangan yang terbuka. Menampilkan sosok Miko yang tengah membawa kantong plastik yang cukup besar, “Oh maaf” ucapnya.
“Ada apa sih? Oh?!” kepala Yogi menyembul di belakang punggung Miko
Yogi menatap Arlen dan Airen bergantian.
“Kau punya anak Ar?”
Krisan tidak bisa lagi menahan tawanya, suasana yang kelabu tadi sudah luntur karena celotehan penghibur Airen dan pertanyaan bodoh Yogi. Arlen memiliki apa yang dia butuhkan Kris, dia hanya butuh waktu untuk menerima seluruhnya. Ah, kalimat sahabat lamanya itu terngiang di benaknya, benar dia hanya butuh waktu. Ini adalah langkah baru agar adik dari sahabatnya itu kembali menemukan alasan untuk dirinya sendiri.
“Aku harap, aku belum terlambat Ren. Aku harap aku masih bisa menepati janjiku dulu padamu” gumam Krisan
Pria muda yang usianya hampir menyentuh angka 3 itu hanya tersenyum mengawasi dua orang yang sedang membuat keributan. Si kecil dan anak milyuner. Keduanya sedang sibuk mendebatkan hal yang tidak penting dan dengan senang hati membuat Miko memukul belakang kepala Yogi untuk berhenti. “Kak Krisan! Ayo makan bersama kami!” seru Yogi membuyarkan lamunannya, membuatnya tersenyum dan ikut bergabung bersama.
100Please respect copyright.PENANARoBBetwyE4