Arlen berjalan gontai keluar dari kelasnya, ini sudah sepekan dan dia berusaha menghindari wanita dan anak kecil itu. Perasaannya campur aduk, apalagi saat manik almond bulat itu menatapnya tanpa dosa. Saat bibir mungilnya berujar mengajaknya untuk bermain bersama, saat pelukan pada kaki jenjangnya ketika dia tiba di rumah. Semuanya terasa menyakitkan untuk Arlen, dia tidak sanggup. Sama seperti saat ini,
“Kak Arlen!!” pekikan riang itu menyambutnya
Pelukan hangat pada kaki jenjangnya dia dapatkan saat beberapa langkah dari pintu utama. Arlen tidak tahan, “Lepas!” sentaknya membuat si kecil terkejut kedua manik almond itu mengerjap beberapa kali. Terlihat sangat manis sekali. Ini kali pertama Arlen menyentaknya, biasanya dia hanya akan berjalan pergi setelah pelukan di kakinya terlepas.
“K-kak Arlen…. ?”
“Berhenti memanggilku kakak! Aku bukan kakakmu!”
“Ta-tapi papa bilang kak Arlen kakak Renren” mata itu telah berair
“Tapi aku tidak mau memiliki adik sepertimu!”
Air mata itu lolos begitu saja, mengalir membasahi pipi Airen yang tembam. Umurnya baru genap 5 tahun, tapi dia tahu ucapan yang diucapkan kakaknya itu. Ya, Airen telah menganggap Arlen kakaknya sejak sang papa mengajaknya untuk tinggal bersama dan mengatakan jika dia akan memiliki kakak. “Ka-kakak nggak suka sama Renren ya? Renren buat salah?” tanya Airen sendu. Terbersit perasaan untuk merengkuh tubuh mungil yang hanya selututnya itu. Tapi segera ditepisnya jauh-jauh, “Ya! Dengan kau ada disini itu salahmu!” Arlen segera pergi setelah mengucapkan kata kasar dan menyakitkan itu.
Arlen lalu masuk ke dalam kamar dan menguncinya, dengan terburu-buru segera masuk ke dalam kamar mandi. Pintu kamar yang berwarna putih itu terbuka saat malam tiba, Arlen keluar dengan setelan santai, berjalan menuruni tangga. Mengabaikan presensi tiga orang yang tengah makan malam bersama, “Mau kemana kau malam-malam seperti ini?” pertanyaan tajam itu terlontar.
“Bukan urusan papa” jawab Arlen sekenanya lalu berlalu pergi
“Ck! anak itu” gumam sang papa
“Sudah, jangan diperpanjang” Maya berujar menenangkan
*106Please respect copyright.PENANAMeLGB60PH4
*
*106Please respect copyright.PENANA5RlpbwUr66
*106Please respect copyright.PENANAJb3qVG6MQm
Arlen duduk sendirian di sudut meja bar sebuah kelab malam, membiarkan suara musik yang terus berdentum memekakkan telinga itu menemaninya. Segelas minuman alkohol terhidang di hadapannya, “Berhentilah kemari dan buat masalah” ujar sang bartender membuat Arlen menggeleng. Diteguknya gelas dengan rasa yang membakar tenggorokan itu sebelum menjawab, “Setidaknya aku harus menemukan bajingan itu dulu”, sang bartender hanya mendesah pasrah. Seharusnya dia tidak membocorkan rahasia itu pada Arlen jika seperti ini akibatnya.
“Kau bisa dilarang masuk jika berulah lagi”
“Aku bisa membayar penjaga sialan itu”
“Terserah kau saja” sang bartender menyerah
Bukan tanpa alasan Arlen berada di dalam kelab malam itu lagi, ini sudah terhitung kesekian kali dia berada disana dengan alasan dan tujuan yang sama. Dalam renungan panjangnya dia tidak tahu jika ada seseorang yang berjalan menghampirinya. Mengelus seduktif pahanya, “Halo tampan, sendirian? Mau main bersama?” godanya yang malah membuat Arlen jijik. Ditepisnya tangan wanita itu kasar, “Aku tidak tertarik dengan barang bekas” ujarnya tajam. Wanita itu hanya mendengus kesal lalu berjalan pergi, “Ck bajingan, merasa paling suci!” umpatnya.
Mata elang dengan manik almond itu mengedar ke seluruh sudut kelab malam, mengamati orang-orang yang menari dengan iringan musik. Atau tengah minum bersama wanita-wanita bayaran. Melihat hal-hal seperti itu membuat Arlen mual, membuatnya teringat pada ucapan papanya beberapa waktu lalu. Entah darimana sang papa tahu rahasia itu sehingga bisa dengan mudahnya melontarkan sebutan yang tidak pantas.
Arlen meremat gelas minumannya erat, dia kembali teringat dua orang yang saat ini ikut tinggal bersamanya. Hatinya kembali runyam saat wajah mungil Airen terus berputar di kepalanya. Bagaimana senyuman manis dan tulus itu menyambutnya kala pulang. Bagaimana pelukan hangat pada kaki jenjangnya, dan bagaimana semua yang ada pada anak kecil itu begitu sama persis dengan seseorang. Orang yang pergi karena dirinya.
Arlen terlalu larut dalam pikirannya tanpa menyadari seseorang berjalan menghampirinya lagi. Sebuah tepukan pada bahunya membuatnya tersentak, “Masih belum kapok?” Arlen sontak menoleh. Mengumpat dalam hati saat tahu siapa yang menepuk bahunya dan mengajaknya bicara itu. Ini kali kelima dirinya tertangkap basah berada di kelab malam olehnya.
*106Please respect copyright.PENANAnA3R6INWQE
*106Please respect copyright.PENANAPj8YMVXlRE
*106Please respect copyright.PENANAQkjmgSwYue
*106Please respect copyright.PENANAZy0mSPgkOh
“Masuk!”
“Kak dengar dulu━”
“Masuk kataku!”
Arlen menurut, dia segera masuk ke dalam mobil sambil mendengus kesal. Orang itu juga segera masuk ke dalam mobil dan duduk dibalik kemudi. “Maumu apa sih Len? Bukankah aku sudah mengatakan untuk tidak pergi ke kelab malam lagi?” omel orang itu membuat Arlen memutarkan kedua bola matanya malas. Tanpa menunggu jawaban dari Arlen yang memang sepertinya tidak ingin menjawab, dia segera menyalakan mobil dan melajukannya keluar dari kelab malam itu. Mobil itu lalu berhenti di sebuah rumah sakit, “Ayo!” ujarnya lalu membuka pintu.
Dengan sangat enggan Arlen keluar dari mobil, mengekori dari belakang orang yang masuk ke dalam rumah sakit. Beberapa perawat dan dokter jaga menyapanya yang disambut ramah, Arlen masih mengekor dalam diam. Hingga mereka masuk ke dalam ruang periksa yang telah habis waktu pemeriksaan. “Duduk!” suruhnya sambil mengambil jas dokter dan peralatan yang dibutuhkannya. Arlen masih menurut, duduk di tepi ranjang dan membiarkan orang itu mendekat.
“Sekarang katakan padaku, kenapa kau tidak jera?” ujarnya
“Aku hanya duduk dan tidak berbuat ulah kak” ujar Arlen
“Aku tidak bodoh Len. Kau sudah berulang kali masuk ke kelab malam itu. Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu”
“Aku tidak menyembunyikan apa-apa kak”
“Kau bahkan melanggar janjimu untuk berterus terang padaku━”
“Berhentilah mengungkit janji kak! Dia yang selalu berjanji banyak hal padaku saja tidak bisa menepatinya!” sentak Arlen
Orang di depannya yang mengenakan jas dokter itu bungkam, kepala Arlen langsung tertunduk. Membiarkan rambut depannya menutupi hampir separuh wajahnya, “Dia berjanji untuk menjadi mama untukku kak” ucapnya sendu. Ada nada kepedihan dan rasa sakit disana. “Dia juga berjanji untuk selalu ada disampingku kak, dia berjanji untuk membuatku bahagia. Dia berjanji untuk tidak menyembunyikan apapun dariku” Arlen terus berujar.
“Tapi apa?” kepalanya terangkat, sebulir air mata mengalir di pipinya
“Dia mengingkari semuanya. Dia membohongiku, dia menyembunyikan semua lukanya dariku. Semuanya”
Kilas balik itu kembali berputar di ingatan Arlen seperti roll film. Mata elang bermanik almond itu mulai bergerak gelisah, ilusi genangan merah pekat itu tergambar di hadapannya. “Arlen?” orang itu memanggilnya berulang kali, mencoba membuatnya sadar. Tapi Arlen sudah jauh menyelami ingatan pahitnya, membuka kotak mimpi buruknya. Menyingkap catatan dosa paling besar yang pernah dilakukannya.
“Arlen!!” kepalanya menggeleng ribut
Ditarik rambutnya dengan kuat dan kasar, dadanya terasa sesak sekali.
106Please respect copyright.PENANAXOgWeKGH57
106Please respect copyright.PENANAmtSNZbK9n4
106Please respect copyright.PENANAeg07qogDuk
106Please respect copyright.PENANAUWMZ6AAEeZ
106Please respect copyright.PENANASPO8ab6b28
106Please respect copyright.PENANA7T9YcKWQ34
106Please respect copyright.PENANA8PDoNqdZP2
“Tapi aku membunuhnya kak, aku membunuhnya! Aku membunuh Airen!”
106Please respect copyright.PENANAa7tIvfGFCf