Krisan mengetuk ujung penanya di meja kerjanya berulang kali, Pikirannya berkecamuk, memikirkan satu-dua hal yang terus mengganggunya sedari tadi. Terutama perihal anak kecil yang memperkenalkan dirinya sebagai Airen. Sebenarnya kehadiran si kecil bukanlah sebuah kesalahan, menjadikannya adik bagi Arlen pun juga bukan sebuah kesalahan. Pertanyaannya adalah,
Apakah harus dilakukan disaat seperti ini?
Sepertinya papa Arlen sudah mulai gila atau Maya yang sudah mulai gila. Atau mungkin keduanya sudah gila sungguhan, sehingga nekat melakukan hal seperti ini. Meski dilanda rasa geram akan tindakan gegabah papa sahabat lamanya itu. Krisan dibuat terkesan dengan afeksi kecil yang ditunjukkan si kecil pada Arlen hari ini. Bagaimana cemas dan paniknya si kecil saat melihat Arlen jatuh pingsan di depannya. Bahkan dia berusaha membantu dengan menggunakan serbet basah untuk menurunkan demamnya.
Bagaimana tatapannya saat melihat Krisan memeriksa dan memberikan suntikan pada Arlen seakan tidak pernah terlepas begitu saja. Hei, anak itu baru berumur 5 tahun dan dia bahkan tidak menangis sama sekali. Sikapnya nampak tenang meski Krisan yakin dia sangat khawatir sesuatu yang buruk terjadi pada kakak tersayangnya itu. Mengingat hal itu membuat Krisan mendengus, entah kenapa sifatnya begitu mirip dengan sahabat lamanya itu. Maniknya bergulir menatap sebuah pigura yang diletakkan di mejanya. Ingatannya melayang pada beberapa tahun yang lalu.
88Please respect copyright.PENANA8AWdlPsbBE
88Please respect copyright.PENANAYyYtAac83O
88Please respect copyright.PENANAhm0s3CApjI
“Jangan gila Ren! Aku yakin Arlen juga tidak akan setuju!” teriak Krisan
“Arlen hanya butuh waktu, Kris! Aku percaya dia tidak membenci papa!”
“Setelah apa yang dilakukannya pada kalian? Padamu?!”
“Dia tidak tahu rahasia itu, Kris”
Krisan mengerang kesal menatap tidak percaya pada sang sahabat, “Dan membiarkanmu menanggung semuanya? Menyimpan rahasia itu?” sahabatnya bungkam. Krisan mendekat, memegang kedua bahu sahabatnya lalu keduanya saling menatap satu sama lain. “Arlen sudah besar Airen, dia sudah hampir 16 tahun sekarang. Mungkin kau memang berniat baik untuk menyatukan keluargamu kembali. Tapi tidakkah kau berpikir bagaimana perasaan Arlen sendiri?” ujar Krisan.
“Dia akan mengerti” Krisan mendengus
“Percaya diri sekali tuan muda Airen yang terhormat ini, itu kan menurutmu. Kenapa tidak kau tanyakan sendiri padanya? Kau yang memberikannya janji-janji kosong itu sejak kecil dan dia percaya pada janji-janji itu” Airen bungkam
“Sekarang coba kau tuai apa yang telah kau tanam, Aku tidak setahun atau dua tahun mengenalmu dan Arlen, kau bisa datang kepadaku kapanpun kau mau”
Krisan menepuk kedua bahu Airen beberapa kali sejak pemuda itu bungkam dan tidak membalas ucapannya. Dia tahu sahabatnya sedang meragukan keyakinannya yang telah dipercayainya itu. Krisan memang cukup lama mengenal kakak-beradik yang terpaut 8 tahun itu. Sejak Arlen pertama kali menginjak sekolah dasar dan Airen masuk di sekolah menengahnya, Krisan hadir menemani kakak-beradik itu. Dialah yang menjadi saksi hidup bagaimana perjuangan si sulung untuk bisa menguatkan rumah mereka yang sempat roboh. Memberikan kebahagiaan sekecil apapun untuk adik bungsunya itu bahkan jika harus mengorbankan mimpinya, Krisan tahu semuanya. Hingga perdebatan keduanya menjadi tontonan menarik baginya.
“Kau gila?! Untuk apa kita menerima orang tua itu lagi hah?”
“Jaga bicaramu tuan muda Arlen! Beliau itu tetap papa kita!”
“Menurutmu! Bagiku papa sama tidak adanya dengan mama!”
Airen bungkam, sudut matanya bahkan mendapati Krisan menatapnya.
“Kita sudah pernah membicarakan ini Airen! Aku tidak mau membahasnya lagi”
“Len, apa sesulit itu kamu menerima papa kembali ke rumah?”
“Apa kau bisa menjamin dia tidak akan melakukan hal yang dilakukannya bertahun-tahun yang lalu?”
“Papa tidak akan meninggalkan kita lagi Len” sebuah gelengan membalas ucapan Airen
Sebelum kalimat pertanyaan selanjutnya mengejutkannya begitu juga Krisan.
88Please respect copyright.PENANAGnFrivwWb3
88Please respect copyright.PENANAKZDOC0c5wH
88Please respect copyright.PENANAsQfXpy8XfW
88Please respect copyright.PENANArxmoMfZDDh
Krisan menghela napas mengingat kenangan itu. Hari itu dia juga mengetahui bahwa apa yang tersimpan apik oleh sahabatnya ternyata telah diketahui segalanya oleh sang adik. Tidak heran jika kondisi psikisnya menurun drastis akhir-akhir ini, bahkan Krisan bisa melihat manik almond yang terlihat kosong itu. Tapi tidak. Ini terlalu cepat untuk menyerah begitu saja, Krisan masih memiliki harapan. Walau kecil dia masih bisa berharap pada hal itu. Pada si kecil Airen. Dia kemudian menatap jam yang ada di ruangannya, pukul sebelas malam.
“Anak itu tidak bodoh untuk ke kelab malam dalam keadaan seperti itu kan?”
Suara denting bel yang digantung di atas pintu masuk kedai terdengar begitu nyaring karena dibuka sedikit kasar. Membuat Yogi yang berada di dapur bergegas keluar, “Gi, bantu aku” suara tertahan Miko membuat Yogi bergegas mendekat dan mengambil alih badan Arlen dari punggungnya. Keduanya membawa tubuh Arlen yang telah jatuh tidak sadarkan diri ke dalam ruang kerja, membaringkannya di sofa panjang. Miko dengan cekatan mengambil baskom dan mengisinya dengan air hangat juga membawa handuk kecil untuk mengusap wajah dan leher Arlen.
“Apa yang terjadi?” tanya Yogi
“Aku mendapat telepon jika dia pingsan saat meneguk satu gelas alkohol di kelab malam tadi. Sepertinya dia tengah sakit dan memaksakan diri untuk tetap kesana” Miko menghela napas sambil terus menatap Arlen
Ada rasa bersalah dalam kedua manik matanya.
“Apa aku harus mengatakan yang sebenarnya padanya?”
Entah, apakah Miko tengah meminta saran atau bertanya pada dirinya sendiri. Yogi hanya mengusap bahunya beberapa kali, “Belum saatnya, tunggu saja waktu yang tepat untuk mengatakannya” ujar Yogi. Setelah menyelesaikan semuanya keduanya sepakat untuk membawa Arlen menuju kamar sewa mereka. Karena mereka tidak akan selamat jika membawa Arlen pulang ke rumahnya, yang ada mereka bisa diterkam oleh tuan besar. Keduanya menaiki lift menuju kamar sewa mereka yang berada di lantai 7, entahlah apa itu bisa disebut kamar sewa atau malah apartemen. Ingat bukan jika Yogi ini anak milyuner, anak tunggal lagi, bagaimana tidak di manja dan di sayang oleh kedua orang tuanya itu.
88Please respect copyright.PENANAsnBB8h3XOx
88Please respect copyright.PENANALDEUD3Ae28
88Please respect copyright.PENANAKKQyMVbKOy
88Please respect copyright.PENANA1CgY4tybcw
“Apa? Kenapa aku yang tidur di sofa?” rengek Yogi tidak terima
“Terus kau mau Arlen yang tidur disana?” ujar Miko
“Ya, kan kita bisa tidur bersama di kamarmu”
Dalam sepersekian detik wajah Yogi sudah bertemu dengan bantal sofa yang dilempar kencang oleh Miko. Anak milyuner ini sinting atau bagaimana sih? enak saja meminta tidur bersama, di kamarnya lagi. Tidak heran jika beberapa teman dekat mereka mengira mereka pacaran, atau jangan-jangan orang tuanya juga berpikiran demikian. Duh, membayangkannya malah membuat Miko bergidik karena geli.
Ya, memang sih kamar yang ada di kamar sewa ini ada 3 sebenarnya. Tapi, karena sejak awal keduanya hanya tinggal berdua saja jadinya kamar satu itu digunakan sebagai gudang, lagipula jika Arlen datang pun dia tidak pernah menerima tawaran untuk menginap. Awalnya mereka sempat berdebat kamar siapa yang akan digunakan, tetapi karena Miko ada ujian besok, maka kamar Yogi yang menjadi sasarannya. Padahal itu hanya alibinya saja sih, Miko itu tidak begitu suka berbagi barang ataupun kamar dengan orang lain. Jadilah memanfaatkan sahabat milyunernya yang terkesan takut padanya itu.
“Di sofa tuan muda Yogi! Kau bisa menggunakan karpet berbulu tebalmu itu sebagai alas, bawa bantal dan selimut kesayanganmu kalau perlu. Aku akan memberikan Arlen bantal dan selimut cadangan. Kau bahkan bisa menonton film dan bermain game sepuasmu disana” terang Miko setengah kesal
“Baik tuan muda Miko” cibir Yogi yang masih tidak terima88Please respect copyright.PENANAPPq0KJUbuJ