Denting lonceng bel menggema di kedai yang bahkan belum buka itu, “Maaf, tapi kami belum resmi bu━ka” suaranya melambat di kala netranya melebar terkejut. Seseorang berjalan mendekat dengan seulas senyum, sepasang mata elang dengan manik almond itu menatapnya. “Hei” sapanya santai, orang di hadapannya, Miko, hanya mengerjap tak percaya. bahkan ketika pintu dapur dibuka seseorang yang memanggilnya dia hanya bergeming.
“Miko! Bahan-bahan ditaruh dima━na? Arlen?!”
“Hei”
“Astaga Arlen!!!”
Dengan sembarangan orang itu meletakkan barang yang dipegangnya dan berlari lalu menerjang tubuh tegap pemilik manik almond itu. Memeluknya erat dan mulai menangis, rasanya seperti diguyur oleh air kelegaan saat melihat orang itu memasuki kedai mereka. Miko langsung menguasai dirinya dan menarik kerah belakang orang yang memeluk Arlen. “Dasar gila, tidak perlu sampai menangis” ujar Miko sambil mendecak, orang yang ditarik kerah belakangnya hanya mengerucut kesal membuat Miko ingin memukul kepalanya. Imut tidak, mual iya.
“Miko ah, gitu” rengeknya
“Sialan! Jangan memasang wajah seperti itu, menjijikan” sahut Miko
“Ih, wajah tampan rupawan seperti ini dibilang menjijikan” ujarnya dramatis
“Arlen lihat Miko! Dia melukai hatiku yang selembut pantat bayi ini”
“Pantat bayi mulutmu, kembali ke dapur sana Gi! Urus barang!” usir Miko
“Cih menyebalkan, diktator gila” gumamnya
“Yogi!! Aku mendengarnya!! Mau kuusir dari kamar sewa ya?!”
Sialan! Kok dia dengar sih!
Yogi segera menghilang di balik pintu dapur membuat Miko mendesah sebal. Heran, padahal dia hanya menarik kerah belakang dan memarahi Yogi, tapi energinya sudah terkuras banyak. “Lihatlah sahabatmu Ar, minta di panggang” adunya yang membuat Arlen terkekeh pelan, keduanya lalu berjalan memasuki ruang kerja karena hanya disana yang bisa digunakan untuk bersantai.
“Cepat lho ternyata renovasi kedainya” ujar Arlen
“Kalau bukan orang tua sahabatmu yang kaum elite ya tidak akan terwujud”
Lagi, pemilik mata elang manik almond itu terkekeh.
Miko tersenyum melihat sahabatnya tertawa, “Kabarmu gimana?”
“Baik kok” ujar Arlen
Miko hanya mengangguk lalu memberikan segelas cokelat dingin padanya, “Bagus deh, aku kira kau bakal keluar” ucapnya sambil meminum es kopinya. Arlen hanya mengedikkan bahunya acuh, “Bisa di penggal aku kalau sampai tidak lulus” selorohnya. Gelak tawa itu menguar memenuhi seluruh ruang kerja yang tidak terlalu luas itu. Dalam hati Miko sangat amat bersyukur, orang yang menjadi sahabatnya kini sudah terlihat baik-baik saja. Tidak lupa juga dia memanjatkan doa agar sahabatnya selalu diberi kebahagiaan oleh Sang Pencipta.
*104Please respect copyright.PENANAzOCOsV6qwi
*104Please respect copyright.PENANARUAwnCQyGJ
*104Please respect copyright.PENANANo0tsgsgw9
*104Please respect copyright.PENANAb0Kl0g0Sp3
“Seharusnya kau tidak perlu membantu, Ar” ujar Miko
“Tidak apa, lagi pula aku sedang senggang”104Please respect copyright.PENANApUYVGwbMpq
Keduanya tengah duduk di salah satu kursi untuk pelanggan. Mereka baru saja menata meja dan kursi pelanggan untuk mempersiapkan pembukaan kedai besok. Kedai itu memerlukan renovasi sedikit pada tampilannya, sehingga mereka terpaksa menutupnya sementara waktu. “Aku kira kalian akan mengubahnya menjadi cafe” ujar Arlen setelah mereka bertiga duduk bersantai bersama, Yogi sudah kembali dari gudang penyimpanan sambil membawa minuman kaleng dingin.
“Harusnya begitu, tapi━” sekilas Miko melirik pada Yogi
“Anak mama ini malah mengubah semua menunya” sambungnya
“Lho, apa salahnya sih mengubah menu?” protes yang bersangkutan
“Ya salah lah! Kau kira ada cafe yang menawarkan menu makanan berat semua?!! Ada gitu orang yang datang ke cafe memesan sepiring nasi panggang? Atau memesan nasi ayam, nasi goreng, makanan laut, pasta kau kira tempat ini rumah makan?!”
Yogi hanya menunduk sambil mengerucut sendu.
“Jangan memasang wajah seperti itu! Mau muntah aku melihatnya!”
“Hueeee, Arlen!! Miko marah-marah terus, hueeee!!”
Miko mendecih sebal, “Dasar anak mama!” ujarnya
Sisa waktu itu ketiganya habiskan dengan saling bertukar cerita, gelak tawa mengudara di langit-langit bangunan cafe baru itu. Begitu juga ucapan syukur dalam diam ikut mengudara bersama. Ketiganya kembali larut dalam kebersamaan dan kerinduan yang telah tersampaikan. Bahkan setelah lama tak bertemu.
*104Please respect copyright.PENANAOwWkleuy5I
*104Please respect copyright.PENANAdsJIe0SrXE
*104Please respect copyright.PENANAeY8d9TquAx
*104Please respect copyright.PENANAT6Gw83Li8h
Pukul dua dini hari pintu utama rumah berlantai dua itu terbuka, seseorang berjalan dengan santai masuk ke dalam. Langkah kakinya berjalan lurus menuju anak tangga, hingga sebuah suara menghentikan langkahnya menaiki undakan tangga. Mata elang dengan manik almond itu menatap orang itu tajam, “Berkelahi di club malam mana lagi?” pertanyaan bermakna sindiran itu terdengar menyakitkan. Terlihat dari bajunya yang lusuh, berantakan dan kotor “Bukan urusan papa” jawabnya sekenanya.
“Ck! Ternyata kau tidak jauh berbeda dengan si jalang, pergi ke club malam lalu menjual tubuhnya, menjijikan”
Mata elang dengan manik almond itu berkilat marah.
“Sebaiknya papa menutup mulut papa sebelum aku mengusir papa”
“Anak kurang ajar! Apa seperti itu kau diajarkan oleh si jalang, hah?!”
Seulas seringai meremehkan tercetak di wajah datarnya.
“Setidaknya aku tidak diajarkan kabur dan lari dari tanggung jawab”
“Anak sialan!”
Kakinya dibawa melangkah menaiki tangga, mengabaikan umpatan kasar yang keluar dari mulut orang yang seharusnya memberikan cinta dan kasih untuknya. Tubuh tingginya berjalan lurus menuju salah satu pintu, pintu berwarna putih yang selalu terkunci rapat. Dia lalu merogoh saku celananya, sebuah kunci dengan gantungan karakter rakun kecil. Memasukkannya ke dalam lubang kunci dan membuka pintu itu, aroma bergamot yang bercampur vanilla itu menyeruak indera penciumannya.
Meletakkan tasnya dia berjalan menuju pintu kaca yang menghubungkan dengan balkon. Mendudukan dirinya, membiarkan angin dini hari menyapu wajahnya. Beruntung saat berkelahi tadi mereka tidak sempat memukul wajahnya, manik almond itu menerawang jauh saat menatap langit malam yang kelam. Manik itu tidak lagi terlihat dingin dan tajam, melainkan luka dan duka yang mendalam.
“Bagaimana bisa papa memanggilmu jalang? Bagaimana bisa dia menghinamu seperti itu? Ini menyakitkan” adunya sendu
Ucapan sang papa telak kembali melukai hatinya, telak juga menghancurkan kembali perasaannya bahkan setelah apa yang terjadi 4 bulan lalu. Bagaimana bisa sosok yang dihormatinya itu mengucapkan kata tidak pantas pada orang yang telah berkorban besar untuknya selama bertahun-tahun. Sebulir air mata mengalir di pipi kirinya. Dadanya sesak bukan main, seakan ada belati yang menghujam di jantungnya. Berkali-kali.
“Maafkan aku, sungguh maafkan aku. Sampai kapanpun aku tidak bisa memaafkannya, maafkan aku"104Please respect copyright.PENANATFJkBOHLBI