Arlen mengumpati dirinya sendiri, apa sih yang dirinya pikirkan saat itu. Bisa-bisanya dia mengelus bahkan sampai memeluk erat Airen dan menganggap itu Airennya. Rasanya Arlen ingin merobek kertas jawabannya untuk melampiaskan rasa kecamuk hatinya. Hari ini dia tengah menjalani ujian semester, artinya sudah hampir setengah tahun Maya dan Airen tinggal bersamanya. Dan kejadian yang terjadi dua minggu lalu terus mengganggunya berkonsentrasi sejak tadi.
Bahkan kalimat dari si kecil itu terus terngiang di benaknya, semakin membuat Arlen kelimpungan dengan berbagai afeksi yang dirindunya selama ini. Iya, jauh di dasar hatinya sana Arlen sangat merindukan afeksi seperti yang diberikan si kecil padanya. Aku berpikir apa sih!, Arlen menggelengkan kepalanya dan kembali fokus pada kertas ujiannya, dia masih harus bergelut dengan kertas ujian untuk beberapa hari kedepan. Setidaknya itu sedikit membuat waktunya di rumah menjadi berkurang, jadi dia bisa kembali menghindari lagi si kecil.
Arlen melangkahkan kakinya sore itu, kebetulan besok akhir pekan dia bisa mengistirahatkan otak dan kepalanya sebentar. Suasana sunyi itu menyapanya ketika pintu utama terbuka, tidak biasanya. Arlen berusaha untuk tidak memikirkannya dan memilih melangkah menuju kamar dengan pintu putih itu. Karena tadi dia bangun terlambat, membuatnya lupa mengunci pintu. Tapi hal itu segera diabaikan Arlen dan segera membuka pintu putih itu.
“APA YANG KAU LAKUKAN?!!” bentak Arlen marah
Tanpa mendengar penjelasan apapun Arlen langsung menarik tangan Maya kasar, dia bahkan mendorongnya keluar dari kamar dan nyaris terjatuh. Tatapan nyalang Arlen layangkan pada wanita yang nampak terkejut dan belum berani memberikan penjelasan perihal keberadaan dirinya di dalam kamar itu. “Apa yang kau lakukan sialan?!” sentak Arlen lagi, tidak dapat dipungkiri Maya cukup takut dengan sikap Arlen ini.
“A-aku ha-hanya ingin membantu membereskan kamar” ucap Maya
“Aku tidak memintanya!” bentak Arlen
“Ta-tapi pa-papamu bilang━”
“Aku tidak peduli apa katanya! Dan kau tidak berhak masuk kesana sialan!”
“JAGA UCAPANMU ARLEN!”
Dua orang itu menoleh, tidak jauh dari mereka berdiri sang papa dengan si kecil yang memeluk erat salah satu kakinya. Menatap cemas ke arah mereka berdua, Arlen hanya mendengus kasar. Menatap jengah pada sang papa yang kali ini telah berjalan mendekat, terlihat kilat amarah di dalam manik almond itu. Belum sempat Maya melerai, tangan sang papa telah mencengkram erat kerah baju Arlen. Sang papa berbicara dalam nada rendah dan berbisik.
“Jaga ucapanmu! Kau sungguh tidak diajarkan etika?!” ujar sang papa
“Heh! Tahu apa papa soal diajarkan etika?” balas Arlen remeh
“Anak sialan!”
“Papa! Sudah! Ada Airen!”
Ucapan Maya menghentikan kepalan tangan sang papa yang bersiap memukul rahang Arlen. Sementara Arlen hanya tersenyum remeh, “Kenapa tidak dilanjutkan pa? Takut anak sialan itu tahu sifat asli papanya?” ujarnya. Sang papa semakin mempererat cengkraman kerah baju Arlen, tatapannya tajam penuh amarah yang menggelegak. Selama ini keduanya hanya bertengkar ketika si kecil maupun Maya tidak ada di rumah atau telah tertidur. Tidak jarang pula sang papa menggunakan kekerasan saat Arlen semakin bersikap tidak sopan dan terus membalas ucapannya.
Arlen mencengkram kuat pergelangan tangan papanya, menatapnya tajam.
“Aku diam saja bukan berarti papa bisa melakukan apapun seenaknya, aku diam saja bukan berarti aku menerima mereka ada disini. Aku diam saja bukan berarti aku bersedia bahwa papa dan mereka menjadi keluargaku” ujar Arlen
Cengkraman itu semakin menguat.
“Karena sampai kapanpun, orang tuaku hanya Airen. Kakakku hanya Airen, dan keluargaku hanya Airen. Tidak ada siapapun”
Dalam sekali sentak, cengkraman yang ada di kerah bajunya terlepas. Arlen menatap tajam pada papanya sebelum beralih menatap Maya, “Sekali lagi kau masuk ke dalam sana aku pastikan kau keluar dari rumah ini” ancamnya dengan nada rendah. Tanpa berkata lagi Arlen berjalan masuk ke dalam kamar, menutup pintu sedikit kencang dan tidak lama terdengar suara pintu yang terkunci dari dalam. Sang papa hanya mendengus kasar melihat kelakukan putranya itu, “Sudah pa” Maya mengusap bahu pria yang tak lagi muda itu lembut. Guna menenangkan amarah yang masih bergejolak itu.
“Mama …. ??”
Panggilan pelan itu membuat keduanya menoleh, melupakan presensi si kecil yang sejak tadi menonton tidak jauh. Sambil tersenyum lembut Maya mendekat dan membawa si kecil ke dalam gendongannya, “Renren lapar? Mau makan camilan?” ujarnya mengalihkan suasana. Airen terdiam sebentar sebelum mengangguk semangat, keduanya saling bertukar senyum sebelum berjalan pergi menuju dapur.
Arlen menarik seprai itu kasar, manik almondnya bergerak gelisah ketika aroma bergamot dan vanilla itu tidak lagi tercium di indera penciumannya. Dadanya sesak dan mencoba meraup oksigen yang malah terasa membakar paru-parunya saat ruangan yang selalu digunakannya itu terasa asing untuknya. Rasa takut itu menjalar membuat Arlen terlihat linglung, dengan langkah tergesa dan sedikit terhuyung Arlen berjalan menuju lemari pakaian.
Menggeser pintunya dan memasukkan dirinya ke dalam sana, menyambar sebuah setelan kemeja yang tergantung. Memeluknya erat lalu meraup aroma yang ada disana hingga memenuhi paru-parunya dan membuat kepalanya sakit. Sebuah isakan lolos diiringi semakin eratnya Arlen memeluk setelan kemeja itu. Rasa rindu dan rasa bersalah itu bercampur di dalam ruangan kecil itu, menemani Arlen bersama derasnya air mata yang mengalir membasahi kemeja itu. Mengulang percakapan dan janji-janji usang masa lalu.
“Mulai sekarang, aku yang akan bersama denganmu. Menggantikan mama”
“Aku janji”
“Janji ya?”
- - - -
“Papa kemana Ren?”
“Papa pergi keluar kota”
“Tapi kenapa membawa banyak sekali barang?”
“Keluar kotanya lama Len”
“Kenapa kita tidak ikut?” Arlen merasakan usapan di kepalanya
“Mulai sekarang untuk sementara, Arlen sama Renren dulu ya? Disini”
“Terus yang akan menemani hari pertama Arlen sekolah siapa?”
“Ada aku, nanti Renren yang menemani”
“Janji ya?”
“Janji”
- - - -
“Papa kenapa tidak pernah pulang Ren?”
“Papa sedang sibuk, jadi tidak sempat pulang”
“Renren tidak sedang berbohong kan?”
Airen tersenyum lembut menanggapi pertanyaan adiknya.
“Tidak kok, ayo kita makan malam! Nanti keburu dingin”
Arlen masih terdiam, membuat sang kakak mengusap puncak kepalanya.
“Papa akan pulang kok Len, tapi tidak sekarang”
“Renren janji kan?”
“Iya”
ns 15.158.61.39da2