Arlen menjalani kelas perkuliahannya seperti biasa, setelah mendapat ijin dari pihak kampus untuk aktif kembali dia mulai mengejar ketertinggalannya. Dia harus bisa memenuhi janjinya untuk bisa menyelesaikan sekolah sarjananya. Setidaknya hanya itu janji yang saat ini bisa dipegangnya.
“Arlen!!” yang terpanggil menoleh
Kenapa sahabat anehnya ada disini? Mereka kan tidak satu perguruan.
Yogi berlari kearahnya lalu menubruknya begitu saja, Anak itu senang sekali dengan pelukan, tidak heran sih bukankah dia anak manja. “Sedang apa disini?” tanya Arlen heran dan berusaha melepaskan diri dari pelukan beruang itu. Sesak sekali. Yogi melonggarkan pelukannya lalu terkekeh tanpa dosa, jika ada Miko bersama mereka sudah dipastikan kepalanya dipukul keras.
“Miko bilang kau belum datang saat peresmian kedai, jadi hari ini ada undangan spesial untukmu” ujarnya lalu menarik pergelangan tangan Arlen
“Baiklah, tapi tolong jangan menarikku seperti ini” protes Arlen
Yogi melepasnya, dan baru saja terlepas dia malah memeluk erat salah satu lengan Arlen. Yang dipeluk hanya bisa pasrah, sahabatnya ini memang luar biasa. Luar bisa memalukan maksudnya. Keduanya lalu berjalan menuju mobil yang terparkir di luar gerbang kampus, mobil yang sejak tadi menjadi pusat perhatian para mahasiswa. Mobil yang harganya lebih mahal dari uang kuliah mereka. Sial, mereka jadi iri pada pemilik mobil itu.
“Arlen yang menyetir ya!” dengan santai Yogi melempar kunci mobilnya
Berjalan masuk kearah pintu dan duduk di kursi samping kemudi. Membuat Arlen hanya menggelang heran, dia lalu segera masuk ke dalam mobil dan menjalankannya pergi menjauh dari area kampus. Meninggalkan tatapan iri mahasiswa lainnya. Pintu kedai dibuka dengan begitu semangat, membuat loncengnya berdenting nyaring.
“Miko!! Aku kembali! Yuhu!”
Arlen hanya meringis melihat tingkah sahabatnya itu, apa dia lupa kalau kedai saat ini cukup ramai? Memalukan sekali. Yogi berjalan begitu saja memasuki area dapur yang ada di belakang meja kasir. Tidak peduli jika dia masih menjadi pusat perhatian pengunjung kedai. Sementara Arlen memilih mencari tempat duduk dan menunggu saja. Saat merasakan getaran di saku celananya, Arlen segera melihatnya. Ada sebuah pesan masuk yang terlihat di layar notifikasi ponselnya.
“Anak sinting! Berapa kali kukatakan ini bukan rumah!”
“Adudududuh!”
Arlen menoleh, melihat kedua sahabatnya berjalan kearahnya, Dengan salah satu telinga Yogi yang ditarik oleh Miko, keduanya lalu duduk menghadap Arlen yang masih menatap mereka. “Boleh tidak sih aku memanggang anak manja yang sialnya sahabatmu Ar?” adu Miko kesal, hal itu jelas membuat Yogi mengerucut kesal. “Hei, sudahlah. Jadi kenapa aku diculik kemari?” Arlen memutuskan untuk menengahi. Bagaimanapun kedua sahabatnya itu jika berdebat akan membuang waktu yang sangat banyak. Yogi segera memerikan buku menu khusus pada Arlen raut wajahnya sudah kembali ceria. “Pesanlah apapun yang kau mau, hari ini khusus untukmu” ujar Miko membuat kedua alis Arlen menukik bingung.
“Pesan saja, jangan menolak makanan gratis” ujar Miko
Dengan ragu Arlen menerima buku menu itu lalu memilih makanan atau minuman yang ingin dipesannya. Mereka kemudian larut dalam obrolan lama meski sesekali Miko harus kembali ke meja kasir dan dapur saat ada pengunjung yang memesan. Ketiganya menghabiskan sisa waktu di dalam kedai, bertukar cerita atau tawa mengisi lingkaran kecil persahabatan yang telah terjalin lebih dari 6 tahun itu.
Teruslah baik-baik saja, Arlen. Kami akan selalu ada disini untukmu.
*100Please respect copyright.PENANALBDZZtvLWp
*100Please respect copyright.PENANAymWn7kIM6z
*100Please respect copyright.PENANA5SF52bYbdF
*100Please respect copyright.PENANAZvj1giVHpk
Pintu utama rumah dua lantai itu terbuka pada pukul 8 malam, hal yang tidak biasa terjadi. Arlen masuk dengan begitu santainya, sampai sebuah derap langkah tertangkap indera pendengarannya dan sesuatu menubruk kakinya. Sebuah pelukan hangat melingkari kaki jenjangnya, “Kakak namanya kak Arlen ya?”. Arlen mematung ketika kedua pasang mata itu bertemu, dadanya terasa sesak bukan main. Belum selesai rasa terkejutnya, sebuah suara yang memanggil nama sang anak kecil membuatnya seakan tersambar petir.
“Airen! Kamu dimana sayang?”
“Airen!━” dua pasang mata itu saling bertemu
“Ar-Arlen” ujarnya gugup
Anak kecil yang baru genap 5 tahun itu melepaskan pelukannya pada kaki Arlen lalu berlari menghampiri orang yang memanggilnya, “Mama!” serunya. Arlen sama sekali tidak mengerti, ada ribuan pertanyaan berputar di dalam otaknya dan dia sangat butuh jawaban. “Oh sudah bertemu rupanya” tangan Arlen mengepal, mata elang dengan manik almond itu menatap sang papa berang.
“Lelucon apa ini?” ujarnya menuntut penjelasan
“Mulai hari ini Maya dan Airen akan tinggal bersama kita”
“Atas dasar apa papa bisa memutuskan seenaknya?”
“Jaga bicaramu Arlen! Mereka akan menjadi bagian dari keluarga kita! Dan Airen akan menjadi adikmu”
“Keluarga siapa yang papa maksud?! Keluargaku hanya dia sampai kapanpun!” bentak Arlen
“Arlen!”
Tidak ingin memperpanjang perdebatan Arlen memilih melangkahkan kakinya menuju tangga, melirik sebentar pada wanita yang terpaut usia 15 tahun darinya, tengah memeluk seorang anak kecil. Menatapnya gugup dan penuh rasa bersalah, sementara anak kecil itu menatap Arlen dengan mata almond bulat, ini menjijikan!. Kakinya lalu melangkah menaiki tangga, membuka pintu kamar putih itu lalu menguncinya dari dalam.
Diraupnya oksigen sebanyak-banyaknya hingga membuat kepalanya sakit sambil bersandar dibalik pintu, kedua telapak tangannya bergetar hebat. Jantungnya berdebar tidak beraturan, kilas balik kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu kembali hadir. Dia tidak pernah tahu jika anak kecil itu akan sangat mirip sekali dengan seseorang. Ditatapanya bingkai foto yang ada di nakas samping tempat tidur, air mata itu kembali mengalir. Melepaskan rasa sakit yang tidak pernah hilang, menorehkan kembali pada luka yang tidak pernah disembuhkan.
Setelah beberapa menit Arlen bangkit dan berjalan menuju balkon, membuka pintu kaca dan duduk disana. Kegiatan yang selalu dilakukannya sebelum tidur, Arlen akan duduk disana dalam waktu lama. Membiarkan angin malam yang dingin menyapu kulitnya, tatapan tanpa dosa dari anak kecil tadi tidak pernah hilang dari ingatannya. Bahkan seulas senyum saat tadi memeluk kakinya kembali menyesakkan dadanya. Sungguh ini begitu menyiksanya, seakan takdir tidak pernah puas membuatnya menderita.
Kenapa dia begitu mirip denganmu? Apa kau menghukumku? Kau menghukumku atas dosa yang kuperbuat?100Please respect copyright.PENANAzzjNol1sg4