Sabia ingin sekali membenturkan dahinya di meja kubikelnya berulang-kali, ada apa dengan hari ini. Dia harus bertemu kembali dengan direkturnya, padahal tidak ada kunjungan bulanan seperti minggu lalu. “Bagaimana progres laporan bulanannya?” tanya Alta santai membuat Sabia terpaksa tersenyum ramah pada direkturnya itu. “Ini pak, silahkan” ujar Sabia lalu menyerahkan laporan miliknya yang telah diperbaiki dan dibuat ulang. Dari awal.
“Hmmm” Alta hanya bergumam pelan
Meniti setiap inci laporan yang ada di tangannya itu. Tangannya terangkat, gestur meminta pena pada sekretarisnya, yang segera diberikan padanya,
“Saya tunggu siang ini di ruangan yang sama”
Sabia berkedip berulang kali dengan tangannya yang menerima laporannya. Belum sempat berujar Alta sudah berjalan pergi, dilengkapi senyuman teduh yang terlihat menyebalkan di mata Sabia. Seperginya sang direktur Sabia segera membuka laporan yang ada di tangannya itu.
BUAT ULANG YA ❤❤❤
Begitu tulisan yang tertera di lembar yang dibuka Sabia. Jangan lupakan coretan besar dari ujung kertas sebelah kiri bawah sampai ujung kertas sebelah kanan atas. “Apa sih maunya?! Dan apa-apaan tanda hati ini!!” runtuk Sabia sambil meremas kertas laporannya kesal. Dengan setengah enggan Sabia mengerjakan ulang laporan itu hingga waktu makan siang tiba.
“Awas saja jika aku diminta membuatnya ulang, akan kulempar laporan ini ke wajahnya” gumam Sabia sambil menunggu laporannya tercetak
“Ah, jangan deh. Nanti kalau aku dipecat bagaimana”
Sabia menggeleng, dia tidak mau mendapat surat pemecatan sekalipun ide tadi ingin sekali dilakukannya. Jarang-jarang bukan, seorang pegawai biasa melempar wajah direkturnya dengan laporan bulanan yang bahkan entah di bagian mana kesalahannya. Setelah semuanya siap, Sabia segera berjalan menuju ruangan yang diminta direkturnya tadi.
Tok Tok !!
Pintu terbuka saat Sabia hendak membukanya, sang sekretaris tersenyum ramah menyapanya, “Silahkan masuk nona Sabia” ujarnya. Mendapat sambutan hangat seperti itu membuat Sabia tidak berkutik, dirinya sangat terkejut apalagi dirinya dipanggil dengan kata ‘nona’. Wow. Setelah menyadarkan diri Sabia lalu berterimakasih pada sekretaris lalu masuk dengan canggung. Dan keadaan di dalam tidak bisa tidak membuatnya terkejut untuk kedua kalinya.
“Ah, sudah datang? Duduklah” ucap Alta menepuk kursi di sampingnya
Sabia benar-benar kehilangan kewarasannya, bagaimana tidak. Alta tidak hanya datang bersama sekretarisnya. Kali ini ia membawa sang mama bersamanya dan makan siang kali ini dua kali━tidak tiga kali━ bukan berkali-kali lebih banyak dari tempo hari. Ini bukan perjamuan presiden kan?, begitu pikir Sabia melihat semua yang ada di meja penuh dengan berbagai jenis makanan.
“Ah! Akhirnya bisa bertemu sama kamu Sabia!!”
Sabia mengerjap kaget, aneh rasanya melihat seorang wanita begitu antusias melihatnya. Apalagi ini nyonya besar, mama dari direkturnya. Saat mengulurkan tangan untuk berjabat yang ada Sabia dipeluk begitu erat oleh sang mama. “Ya ampun, cantik sekali ternyata kalau dari dekat. Alta tidak salah pilih nih kali ini”, yang dipuji hanya tersenyum menawan. Sabia masih mencoba memproses apa yang terjadi, bahkan mendengar dirinya dipuji cantik membuatnya menciut.
“U-uh ada apa ya pak? Apa kedatangan saya mengganggu?”
Sabia mencoba mengalihkan topik.
“Ah tidak kok Bia, mama hanya terlalu antusias bertemu denganmu” ucap Alta
“Eh?”
“Iya, mama itu tidak sabar melihat calon menantu mama yang cantik dan manis ini”
Ca-calon menantu?!
Sabia masih mencoba mencerna kalimat yang baru saja di dengarnya itu. Ini kali pertama bertemu dan bertatapan langsung dengan mamanya Alta. Bagaimana bisa dirinya menjadi calon menantu keluarga dari direkturnya itu. Lucu sekali. “Ayo duduk sayang” ucap sang mama sambil menarik Sabia untuk segera duduk disebelah Alta. Lupakan soal kesopanan, jika dia harus dipecat itu urusan belakang, Sabia memilih menyikut Alta pelan.
“Kamu sedang mengerjaiku ya?” bisik Sabia
“Tidak kok”
Alta menoleh, menatap Sabia lekat dengan kedua mata teduhnya itu “Soal ajakanku menikah itu sungguhan lho”. Sabia mengerjap beberapa kali, menatap sepasang mata yang nampak bersungguh-sungguh itu. Degup jantungnya yang berdetak tak beraturan membuat logika Sabia goyah, apakah dia harus kembali menyerah pada perasaannya atau tetap berpegang teguh dengan logikanya. “Bercandamu tidak lucu” ujar Sabia setelah menyuap satu suapan besar makan siangnya.
“Bagaimana jika aku sedang tidak bercanda Sabia?”
Sabia meneguk ludahnya kasar, dia bahkan menelan sisa kunyahannya begitu saja. Ehem! sang mama berdehem saat merasa suasana ruangan itu terlihat canggung membuat dua calon pasangan itu kembali sibuk dengan makan siang mereka. “Sabia makan yang banyak ya, Alta bilang kamu suka sekali dengan makanan” Sabia hanya tersenyum kikuk saat menerima sendokan lauk dari mama.
“Tahu kalau ada perempuan manis dan cantik seperti Sabia mama lebih memilih dia jadi calon menantu mama ketimbang mantan pacarmu”
Sabia tidak mau ambil pusing dengan ucapan ‘calon menantu’ yang keluar dari mulut mama direkturnya. Dia memilih untuk menyibukkan diri dengan semua hidangan yang ada. Bahkan tangan dan mulutnya tidak berhenti bergerak, pipi gembilnya yang terus menggelembung membuat siapapun gemas. Tidak terkecuali mamanya Alta, beliau berdehem pelan sebelum melontarkan pertanyaan pada Sabia.
“Sabia mau kan menikah dengan Alta?”
Sabia mengangguk sambil terus mengunyah, “Iya mau” ujarnya
Alta tersedak minumannya sementara Sabia sendiri menghentikan kunyahan di dalam mulutnya. Ikut terkejut mendengar jawabannya sendiri. Mama hanya tersenyum bahkan sampai memekik saking senangnya mendengar jawaban dari sang calon menantunya itu. Diusapnya pipi Sabia lembut lengkap dengan senyum yang masih mengembang, “Jadi kamu mau kapan dilamar?”.
157Please respect copyright.PENANA6ujzMEcBWB