Alta hanya menghela napas panjang setelah mendapat omelan panjang dari orang tuanya. Bukan masalah lamarannya digantung, bukan. Tapi soal ucapan Sabia sebelum pergi tadi. Bahkan sang mama sampai memasang wajah kecewa berat karena sudah melakukan hal seperti itu dengan calon menantunya. Duh, nyonya besar satu ini, padahal belum tentu Sabia menerima lamarannya, masih saja disebut calon menantu.
“Pokoknya mama tidak mau tahu, kamu tebus semua kesalahan dan kebodohan kamu ke Sabia! Awas saja kalau sampai Sabia menolak lamaran kamu!” ancam sang mama
Alta pusing, Alta bingung dan Alta dilema. Dia sungguhan lupa soal itu, soal bagaimana terlukanya Sabia atas tindakannya selama ini. Jika dijelaskan sebenarnya memang pertemanan mereka sama sekali tidak sehat. Alta menjadikan Sabia pelampiasannya ketika sedang bertengkar dengan pacar-pacarnya dahulu. Tidak jarang pula pacar-pacarnya menyalahkan Sabia yang seolah mengganggu hubungan mereka.
“Pak? Anda baik-baik saja?”
Lamunan Alta buyar saat suara sekretarisnya di balik kemudi terdengar oleh rungunya. “Saya baik” ucap Alta sedikit tidak minat. Bohong jika Alta sedang memikirkan sesuatu yang tidak diketahui oleh sekretarisnya. Tapi sang sekretaris memilih diam dan fokus pada kemudi, “Oh iya pak. Hari ini apakah anda ingin mengunjungi anak perusahaan lagi?” tanya sekretaris saat mereka berhenti di lampu merah. Alta terdiam sebentar, hampir saja mulutnya berkata ‘iya’ jika saja bayangan wajah kecewa Sabia terlintas di benaknya.
Dia pasti masih marah
“Kita langsung ke kantor saja, ada berkas yang ingin saya koreksi”
“Baik pak” ucap sang sekretaris.
Bohong.
Alta berbohong soal berkas yang ingin di koreksi, nyatanya dia malah sibuk memikirkan rencana untuk memperbaiki hubungannya dengan Sabia. Bagaimanapun dia ingin kembali seperti saat dulu, dimana dia yang jatuh cinta lebih dulu. Dimana dia yang sangat menyukai keberadaan Sabia meski mereka hanya sebatas teman saja. Tapi Alta sungguh menginginkan momen itu kembali hadir, momen tawa dan tangis yang dibagi bersama tanpa ada rahasia apapun. Tapi apa sungguh mereka berbagi segalanya saat itu, Alta kembali termenung. Dia merasa bahwa hanya dirinyalah yang berbagi perasaan itu, sementara Sabia sebagai pendengar yang baik.
Ya, benar. Hanya dirinya saja yang berbagi.
Oke, mulai sekarang Alta akan menggunakan rencananya untuk mendapatkan kembali hati Sabia. Caranya? Tentu saja dengan membuat Sabia kembali jatuh cinta padanya. Sudahlah biarkan saja direktur itu berpikir rencananya. Toh belum tentu berhasil juga, eh.
126Please respect copyright.PENANASlnGzzKrHG
126Please respect copyright.PENANAxr72NKBfoo
126Please respect copyright.PENANAnEForRNgEw
126Please respect copyright.PENANA8VruEjHklX
126Please respect copyright.PENANAnVduP5LWex
126Please respect copyright.PENANAuNaSsrXRRx
126Please respect copyright.PENANA6qlhE0N7RN
Sabia menggerutu, sejak Alta datang ke kantornya semua orang menjadi sungkan dan menyebalkan padanya. Mereka tidak segan untuk mencari muka atau bahkan menggosipkan dirinya dengan direktur mereka. Tahu begini apa sebaiknya aku keluar saja ya, pikir Sabia yang sudah muak dengan sikap semua orang kantor terhadapnya. Tapi tidak, Sabia masih butuh uang untuk hidupnya. Untuk dirinya.
Hal itu membuat Sabia memilih untuk tidak ingin memikirkan lamaran direkturnya itu. Dia memilih untuk menyibukkan diri dengan tugas kantor yang cukup menumpuk dan menyita waktunya. Hingga tanpa sadar waktu pulang kerja tiba, Sabia yang masih sibuk dengan pekerjaannya mengabaikan beberapa panggilan yang terlewat di ponselnya,
“Loh mbak Sabia belum pulang?”
Sebuah suara menginterupsi kegiatan Sabia, membuatnya menoleh cepat dan menemukan petugas kebersihan menatapnya sama terkejutnya. Sabia baru menyadari jika ia telah melewatkan jam pulang kantor tiga jam yang lalu. Sambil terkekeh kikuk Sabia segera membereskan pekerjaannya, mematikan komputer dan memasukkan barang-barang miliknya ke dalam tas.
“Maaf pak, saya pulang dulu” ucap Sabia
Belum sempat mendengar jawaban, Sabia sudah berjalan lebih jauh menuju keluar kantor. Dan ternyata kejutan lain telah menunggunya di luar pintu masuk kantor. Alta yang masih dengan setelan jasnya bersandar di pintu mobilnya, menatapnya dengan wajah ceria bahkan sempat mengangkat tangannya, gestur menyapa. Bukannya berlalu, Sabia malah berjalan mendekati Alta “Sedang apa?” tanyanya.
Dan Sabia tidak bodoh untuk tidak mengerti maksud dan tujuan Alta menunggunya di depan kantor. “Ehm, mau aku antar pulang” ujar Alta sambil mengusap tengkuknya yang terasa dingin, entah kenapa rasa percaya dirinya langsung lenyap begitu berhadapan dengan Sabia. Terdengar helaan napas berat yang membuat Alta kembali menatap Sabia, sang empu hanya menatapnya datar seakan ajakannya hanya angin lalu.
“Aku tidak bisa menolaknya kan?”
Alta bingung, Alta heran dan Alta merasa semua hanya mimpi. Saat ini keduanya tengah berada di dalam mobil menuju rumah Sabia. Sudah lebih dari sepuluh menit keduanya saling diam membisu, suasana canggung begitu kental terasa, bahkan ketika mereka telah sampai di depan rumah Sabia. Alta yang hendak berbicara mendapati Sabia yang sudah bersiap keluar.
Membuatnya reflek menarik pergelangan tangan Sabia membuatnya berbalik dengan wajah keduanya berdekatan. “Aku serius Bi” ucap Alta kemudian membuat kedua mata bulat Sabia bertambah bulat, Sabia sendiri berusaha melepaskan genggaman Alta itu, “Lepas Al!” ucapnya kesal. Tapi keduanya tetap berada dalam posisi itu cukup lama, “Aku sungguh serius Bi” ulang Alta sekali lagi.
“Terus apa?” Sabia menjawab ketus
“Kamu masih berpikiran untuk menghapus semua?!”
Alta menggeleng.
“Kamu masih saja berpikiran jelek ya” ucapnya
“Aku ingin memulai dari awal, memulai untuk mencintaimu Bia”
ns 15.158.61.39da2