Acara lamaran itu hanya dihadiri oleh beberapa orang penting saja, seperti keluarga besar dari kedua belah pihak calon, dan teman terdekat. Semua karena Sabia yang meminta saat pembicaraan acara lamaran itu. Sabia tidak ingin acara yang terlalu banyak orang yang bahkan tidak dikenalnya sama sekali. Alta hanya mengangguk saja, lamarannya diterima oleh Sabia sudah cukup membuatnya bersemangat dan senang.
“Tidak ada undangan lebih dari empat ratus orang” sahut Sabia
“Apa maksudmu?!” sang ayah berseru marah
“Kenapa? Kurang? Kalau begitu ayah saja yang menikah”
Alta yang bersiap menengahi dibuat terkejut melihat Sabia yang memilih untuk beranjak dari tempat duduknya. Sementara kru dari penyelenggara pernikahan hanya dibuat terheran dengan sikap klien mereka ini. Mama menyenggol lengan Alta, memintanya untuk mengejar Sabia dengan gestur tatapannya.
“Sabia!” Alta menemukan Sabia yang hendak menuju halaman.
Sabia berbalik, menatap jengah pada Alta yang berjalan menghampirinya. “Kalau kamu masih membahas soal tadi lebih baik kembali saja sana” usir Sabia ketus. Alta menghela napas pelan, dengan lembut menarik Sabia untuk duduk berdua, mengusap kedua punggung tangan Sabia dengan ibu jarinya. “Boleh kasih aku alasan kenapa kamu meminta jumlah tamu undangan seperti itu?” ujar Alta kalem, ini anak adam sabar sekali.
“Aku tidak suka dengan orang asing”
Ah, Alta ingat. Sabia yang awal dikenalnya karena mereka tanpa sengaja memiliki kesamaan dalam menonton film. Pun Sabia orang yang kaku dan canggung saat mereka pertama kali berkenalan. “Oke, kamu sendiri maunya seperti apa?” tanya Alta maklum membuat Sabia cukup terkesiap dengan ucapannya. Dia kira Alta akan seperti ayahnya yang menuntut banyak.
“Ya keluarga saja, teman-teman dekat, intinya orang-orang yang kita kenal saja” ucap Sabia
Alta mengangguk.
“Orang kantor juga ya?” pinta Alta
Sabia hanya mengangguk, toh itu perusahaan Alta sendiri, dia tidak terlalu mempermasalahkan orang kantor. “Lalu untuk pekerjaan bagaimana?” tanya Alta selanjutnya, obrolan seperti ini yang penting dibicarakan sebelum terjadi kesalahpahaman. Sabia terdiam cukup lama, “Soal itu belum kupikirkan, tapi mungkin aku akan tetap bekerja sementara ini” ucapnya final. Alta sih hanya mengangguk, dia tidak ingin membatasi ruang gerak Sabia. Jika semuanya bisa dibicarakan baik-baik kenapa harus berdebat.
“Ada yang mau di tambahkan?” tanya Alta
Keduanya sudah terlibat perbincangan mengenai acara pernikahan mereka dengan santai, setidaknya Alta bisa mengerti arah kemauan Sabia untuk acara mereka yang akan diselenggarakan bulan depan. Iya, acaranya di bulan depan. Secepat itu. Sabia menggeleng, dia cukup puas ketika beberapa permintaannya disanggupi oleh direktur yang akan menjadi calon suaminya ini.
“Oke, nanti aku sampaikan, kamu mau ikut kembali atau bagaimana?”
“Kembali saja”
Keduanya lalu berjalan masuk ke dalam, menuju ruang tamu yang tentunya masih ada orang tua Sabia dan kru penyelenggara pernikahan. Sabia duduk setelah Alta memintanya untuk duduk, lalu mendengarkan ucapan Alta terkait pertimbangan acara pernikahan mereka. Terlihat sang ayah ingin menyela dan membantah ucapan Alta, “Ini pertimbangan kami berdua pak, jika memang ingin mengundang tamu bapak dan ibu mungkin saya bisa menggelar acara khusus di rumah. Untuk semua biaya akan saya tanggung” ucap Alta yang tidak bisa di bantah.
“Sudah yah, tidak apa. Toh ini pernikahan Bia, biar dia saja yang mengatur seperti apa acaranya” ucap sang ibunda
“Kita juga sudah ditawarkan acara di rumah kan?”
Sang ayah hanya terdiam, terlihat tidak ingin berkomentar apapun setelah mendengar ucapan bunda. Hanya sebentar pembicaraan acara pernikahan itu, hingga kru penyelenggara pernikahan pamit pulang setelah mencatat dan berdiskusi terkait acara pernikahan. “Mau makan malam sekalian disini?” tanya Sabia saat Alta hendak beranjak pamit pulang, hal itu tentu saja membuat semua orang terkejut.
“Boleh?” tanya Alta kaku
“Boleh kok” jawab Sabia santai
Dan akhirnya Alta memilih menyetujui untuk ikut makan malam bersama keluarga Sabia, walau terasa canggung. Sabia sendiri lebih sibuk mengunyah makanannya daripada melihat situasi ruang makan yang dibuatnya. Meski awalnya sempat terjadi adu mulut kecil persoalan menyiapkan makanan untuk Alta oleh Sabia. Yah, anggap saja simulasi menjadi istri yang baik bagi suami, menurut orang tua Sabia sih. Sabia sih masih enggan bersikap seperti itu, apalagi dirinya masih menegaskan tentang peraturan tak tertulis mereka berdua. “Terimakasih Bi, untuk tawaran makan malamnya” Sabia mengantar Alta hingga pintu mobilnya. Ibunda yang menyuruhnya. Sementara orang tua Alta sudah berada di dalam mobil lebih dahulu.
“Anggap saja ucapan terimakasih karena tidak menuntut ini-itu di hari pernikahan” ucap Sabia ringan
Alta hanya tersenyum lalu mengusap puncak kepala Sabia.
“Kita sudah kenal cukup lama, Bi. Jadi aku paham kok”
Bohong jika Sabia tidak tersipu mendengar ucapan Alta barusan. Lihat saja kedua pipinya sudah bersemu, walau tidak semerah tomat tetap saja. Sabia malu dan salah tingkah. Takut Alta melihatnya Sabia memilih berdehem, mengusir kegugupannya, “Masuklah, kamu pasti lelah” ucap Sabia setengah mengusir. Alta sih hanya kembali tersenyum, “Kamu juga masuklah, jangan lupa pekerjaanmu” ujar Alta setengah menggoda.
“Sialan” sungut Sabia
Kirain mau mengucapkan kata-kata manis.
Alta terkekeh lalu kemudian berjalan masuk ke dalam mobilnya, menyenangkan juga bisa menggoda Sabia hingga dirinya diumpati. Tanpa menunggu lagi, mobil yang dikendarai Alta dan kedua orang tuanya segera berjalan menjauh. Meninggalkan kediaman Sabia dengan lega dan senang. Yah, setidaknya mereka bisa menjadi satu keluarga.112Please respect copyright.PENANAZGOxAq1m63