Alta dibuat kelimpungan dengan sikap Sabia yang sedikit berubah akhir-akhir ini, meski menyogoknya dengan makanan pun hanya berhasil sebentar. Karena Sabia terlihat tidak ingin membicarakan apapun padanya. Sabia selalu berdalih jika hanya masalah pekerjaan yang membuatnya berubah seperti itu. Yang mau dilihat bagaimana pun bagi Alta itu bukan jawaban yang sesungguhnya.
“Kita ke kantor anak perusahaan lagi”
“Baik. Eh?!”
Sang sekretaris yang berada di balik kemudian terkejut mendengar ucapan Alta baru saja. “Mohon maaf pak, bukankah kita ada agenda pertemuan dengan klien luar negeri?” tanya sang sekretaris. Alta sungguh lupa, dia melupakan agenda hari itu karena pikirannya terus memikirkan sikap Sabia yang lain dari biasanya. “Hanya sebentar” ucap Alta santai yang tentu saja tidak membuat sekretarisnya kembali tenang, justru membuatnya semakin panik. Ini betulan loh, atasannya bersikap seperti ini? Ada apa sebenarnya?
Alta segera bergegas keluar bahkan sebelum mobil terparkir dengan baik, dia bahkan meninggalkan sekretarisnya dan langsung masuk ke dalam gedung. Beberapa orang yang melihat tentu saja terkejut dan langsung memberinya salam. Alta hanya memilih membalas seperlunya dan terus berjalan menuju lift kantor. “Kalau saja dia bukan atasanku sudah kupukul kepalanya” gumam sang sekretaris kesal, bahkan dia sampai tertinggal lift. Langkah kaki Alta terus di percepat menuju ruang kerja tempat kubikel Sabia berada.
“Tidak mungkin” Alta yang baru akan membuka pintu terhenti
“Aku sangat yakin kok Sabia itu menggoda pak direktur”
Alta termanggu mendengar ucapan seperti itu.
“Kamu yakin sekali. Ada buktinya?”
“Coba kamu pikirkan, bagaimana Sabia mengenal pak direktur di hari pertama mereka bertemu kalau bukan karena uang?”
“Kenapa anda berdiri disini?” sang sekretaris sudah datang menyusul
“Kita pergi”
“Hah?”
Sang sekretaris hanya menghela napas panjang sambil memutar kedua bola matanya. Mencoba berpikir untuk tidak mencari di laman internet untuk mencari cara membunuh orang dalam hitungan detik tanpa menggunakan apapun. Keduanya memutuskan untuk kembali ke perusahaan dan melewati kegaiatan hari itu dengan pikiran masing-masing. Ingatkan sang sekretaris untuk tidak menaruh racun di minuman Alta.
Sabia menutup komputernya setelah ponselnya berdering di angka tujuh malam. Dengan sedikit enggan Sabia membereskan peralatannya, dia sungguh tidak ingin pulang ataupun beranjak dari kubilkenya. Setelah memastikan komputer telah mati dan barang-barang di meja telah dibereskan. Sabia lalu segera berjalan menuju pintu , sepanjang langkah kakinya membawanya keluar dari gedung yang sudah empat tahun memberinya lembar baru.
“Ha, sial” gumam Sabia
Dirinya sudah berada di pintu depan gedung kantornya. Tapi hujan deras membuatnya urung untuk pergi. Mungkin Tuhan sedang menghukumku yang menjadi pengkhianat negara di masa lalu, batin Sabia sambil terus mengamati butiran air yang tumpah dari langit. Padahal itu hanya khayalan tak berdasar yang terpikirkan oleh Sabia. Karena terus melamun Sabia tidak menyadari jika Alta sudah berdiri di hadapannya, memegang sebuah payung besar, “Ayo pulang” ajakan itu jelas membuat Sabia tersentak kaget. Dia bahkan nyaris berteriak karena terkejut.
Karena tidak beranjak Alta langsung saja menarik tangan Sabia untuk mendekat padanya. “A-apa sih!” protes Sabia karena mendapat perlakuan mendadak itu. Alta hanya menatap dalam, tanpa bicara lagi dia mendekatkan wajahnya “M-mau apa?!” ujar Sabia setengah berteriak. Kecupan kecil di dahi yang Sabia dapatkan membuatnya membeku.
“Ayo pulang”
Alta menarik tangan Sabia, menggenggamnya erat untuk tetap dalam dekapannya. Berjalan bersama menuju mobil yang terparkir tidak jauh dari sana. Sabia? Dia hanya bisa termangu dengan perlakuan super-manis yang membuat diabetes siapapun dari seorang Altair Kenan Ganendra. Dan Sabia pun juga menjadi salah satunya. Masih dalam keadaan terkejut, Sabia sudah tidak menyadari dirinya telah masuk ke dalam mobil. Begitu pula dengan Alta, yang sudah masuk ke kursi pengemudi. Keduanya saling terdiam sepanjang perjalanan pulang.
“Bia”
Sabia menoleh, dia baru menyadari jika telah sampai di rumah mereka. Sayangnya, saat Sabia akan membuka pintu mobil, yang ada pintu itu masih terkunci. “Buka Al” ucap Sabia yang dijawab gelengan kepala oleh Alta. “Kamu tahu kan aku suamimu sekarang?” ucap Alta lugas, membuat Sabia hanya bisa mengangguk patah-patah. “Apapun yang kamu dengar, itu tidak benar” Sabia mengernyit tidak mengerti.
“Mungkin memang semuanya terlalu cepat sehingga kamu mendengar hal-hal yang tidak seharusnya kamu dengar”
Ah, hal itu rupanya
“Aku tidak peduli kok” dustanya
Alta mendekat, ditangkupnya wajah Sabia dengan pipi gembil yang tidak pernah bosan Alta dibuat gemas untuk mencubitnya. “Maaf ya, kamu jadi harus mendengar hal-hal yang tidak seharusnya diucapkan” ucap Alta lembut. Sabia sendiri masih terdiam bingung, “Tahu kenapa aku memilihmu untuk menjadi istriku?” tanya Alta yang tentunya membuat Sabia bingung dan heran.
Wajah Alta mendekat, juga menarik Sabia ke untuk mendekat padanya. Dan kecupan manis di dahi kembali Sabia dapatkan, namun kali ini berbeda. Alta mengecupnya cukup lama, setelah kecupan dahi Alta melanjutkan mengecup pelan kedua kelopak mata Sabia. Setelah hal-hal manis itu Alta menatap Sabia yang sudah menatapnya sejak tadi,
“Karena itu kamu, Bia. Dari dulu hingga sekarang pun perasaanku sama sekali tidak berubah”
ns 15.158.61.43da2