Dumb #15
“Hai Leo...” sapaku sembari tersenyum ketika Leo yang membukakan pintu untukku.
Leo menatapku bosan dan melenggang pergi setelah aku menyapanya. Anak itu pasti sudah sadar jika pernyataan cintanya yang lampau itu sangat salah terutama orangnya. Aku meringis meratapi diri ketika menyadari bahwa anak kecilpun langsung sadar betapa tidak menariknya Ethellia Zephiryn Denayara ini.
Aku melangkah masuk saat sadar bahwa aku melamun di depan pintu dan tergesa-gesa masuk rumah setelah menutup pintu. Di dalam aku hanya melihat Leo yang asyik menonton teve sembari makan camilan sedangkan Tante Yuna tidak nampak olehku yang biasanya berada di ruang tengah dan menyapaku dengan senyum manisnya yang mirip sekali dengan Garren. Namun sayang aku hanya pernah sekali melihat cowok itu tersenyum tulus sedangkan sisanya lagi adalah sarkasme, seringai, dan ejekan. Menjengkelkan.
Aku segera naik ke lantai atas menuju kamarnya Brenda. Di sana, aku melirik sebentar ke arah kamar Garren tetapi aku tidak merasakan sedikitpun hawa keberadaan lelaki itu. Entahlah, dia sukar sekali ditebak jalan pikirannya menyebabkan aku sering kepayahan sendiri karena terlalu memikirkan lelaki itu. lama-lama jadi gila juga aku.
“Oh...” respon Brenda setelah aku membuka pintu kamarnya. Gadis itu sedang memanikur kukunya. “Hai Ethel, masuk-masuk lo gak lupa bawa catatan fisikalo kan?”
Aku berjalan hati-hati saat menyebarangi karpet tempat Brenda berada bersama anak-anaknya (sebut saja berbagai macam peralatan manikur yang baunya minta ampun) karena jika cat kukunya berserakan di lantai, percayalah dia lebih seperti nenek sihir dibandingkan aku.
Aku meletakkan totte bagku di atas meja dan menjatuhkan diri ke atas kasur. Aku menatap langit-langit kamar yang berwarna merah muda dengan wajah memberengut. Aku menimbang-nimbang apakah aku perlu menanyakan keberadaan Garren kepada Brenda atau tidak sebab aku takut gadis itu kelewat curiga.
“Gue tau lo pasti ga bawa cemilan makanya gue suruh Garren buat beliin cemilan saat perjalanan pulang tadi.”
Aku langsung duduk saat mendengar pernyataan Brenda. Aku menatapnya dengan kagum karena gadis itu tau saja informasi yang paling aku butuhkan.
Brenda telah selesai dengan acara mengecat kukunya dengan warna pink muda. Gadis itu meletakkan perlengkapan manikurnya dengan hati-hati ke dalam lemari yang penuh sekali dengan berbagai macam aksesoris. Aku bahkan sangsi lemari di kamarku hanya berupa rangsel, totte bag, dan sejenisnya.
“Tapi anak itu kenapa lama sekali, sih? Sudah dari tadi gue memintanya,” sambung Brenda dengan wajah cemberut.
Aku melipat tanganku. “Mungkin ada keperluan lain kali. Tunggu aja ah.”
Brenda semakin memperdalam kerutan di dahinya dan bergabung denganku untuk duduk di kasurnya. Sekarang anak itu menatapku dengan wajah antusias yang membuatku curiga karena biasanya wajah seperti itu menampilkan hal-hal di luar nalar. Aku mengeluarkan sikap defensif dengan menaikkan salah satu alisku.
“Kenapa?” tanyaku dengan tatapan penasaran.
“Thel, gimana hubungan lo sama Andrava-Andrava itu? Udah jalanin kencan berapa kali? Udah ciuman gak?”
Heehhhh?
Apa yang diucapkan anak sinting ini kepadaku?
Brenda seperti singa kelaparan karena tidak sabar menunggu responku yang kelewat lelet ini soalnya dia sekarang memegang tanganku sangat erat.
“Lo kan pacaran sama dia. Nah udah ngapain aja sama dia?”
“Idiiihhhh... Apa maksud lo dengan ngapain-ngapain?” tanyaku dengan wajah mau muntah.
“Yeeee... Maksud gue udah apa saja yang kalian lakuin sebagai kencan kalian? Lo neg-think banget ya?” jawab Brenda sambil memutar bola matanya yang membuatku semakin jengkel.
“Gimana gue ga neg-think. Tadi lo nanya apa gue udah ciuman sama Andrava. Lo sinting deh!”
“Gimanaa lagi... Andrava tipe-tipe badboy sih.”
Ucapan Brenda yang santai itu membuatku menepuk lengan atasnya kuat sehingga ia merintih kesakitan.
“Dengar ya Brendaaaa, gue sama Andrava gak pacaran jadi hilangin fantasi novel lo ke gue. Ngerti?!”
“Kenapaaaaaa?????” tanya Brenda dengan suara melengking yang sangat mirip dengan suara kuda mau kentut. Aku semakin takut saat gadis itu mengguncang-guncang tubuhku membuat rohku seperti melayang ke luar.
“Andrava itu ganteng, Thel. Dia kayaknya mau aja tuh jadi ‘cinta satu malam’ sama elo. Setidaknya kalau ada yang nanya apa elo punya pacar setidaknya lo bisa jawab sudah punya mantan yang ganteng. Lo ini ga bisa nangkep peluang deh!” cerocos Brenda tanpa henti membuatku naik pitam saja.
Aku melepaskan cengkramannya di kedua bahuku dengan tenaga Hulk yang aku punya lalu berlari menjauh hingga berhenti di dekat pintu kamarnya Brenda.
“Gue gak mauuuuuuuu. Tau gak lo bilang cinta satu malam sama aja kayak gue denger ‘one night stand’ taukk! Brenda pikiran lo jorok banget, lo bisa-bisanyaa.... bb-bisanyaaa.. mikir gue sama Andravaaaaa... Aaaaaaaaaaaaahhhhh.”
Aku berbalik 180 derajat dengan kecepatan 120km/jam hingga akhirnya aku menabrak sesuatu yang sangat keras. Aku pikir aku menabrak dinding tetapi ternyata aku menabrak sebuah dada! DADA BIDANG MANUSIA!
“YA AMPYUNNNNNNNN!!!!!” teriakku toa.
Aku menatap dada bidang yang ternyata punya Garren dengan wajah gugup. Badanku menjadi kaku. Garren menatapku dengan wajah sangat syok. Saat menatap wajahnya aku kembali terngiang-ngiang kalimat cinta satu malam terus-menerus di benakku.
Aku pusing! Rasanya aku hampir jatuh jika saja Garren tidak memegang tanganku. Aku samar-samar melihat wajah Garren yang sudah kembali normal tetapi penuh tanda tanya saat menatapku yang memanas.
Sial! Aku memang memanas!
Garren menatap Brenda penuh tanya. “Kenapa dia seperti ini?”
Brenda menggelengkan kepala tidak mengerti. “Tau tuh. Tiba-tiba aja dia kayak gitu saat menafsirkan cinta satu malam sama Andrava dengan one night stand.”
Aku menatap Brenda dengan gerakan kepala patah-patah. Gadis ini entah bego atau dasarnya begitu dengan seenaknya bilang hal fatal itu di hadapan Garren.
“Lo one night stand sama Andrava itu?” tanya Garren terperangah.
“Enggak! Creep! Mana mungkin! Aku ga ngapain-ngapain sama cecungut itu. Brenda! Lo jangan harap fantasi lo itu terkabulkan!”
“Gue bisa buat itu jadi kenyataan...” kata Brenda tak acuh sembari menipu kukunya.
Aku berlari dan mendekap mulutnya yang seenaknya itu dengan wajah sangarku. Gadis itu memukul lenganku supaya aku melepaskan peganganku.
“Lo. Jangan. Pernah. Buat. Itu. Jadi. Kenyataan. Paham?” kataku dengan sarat intimidasi yang sangat kuat dengan aura sangat kelam.
Brenda mengangguk-angguk dengan keringat sebesar jagung. Aku pun melepaskannya.
“Bagus,” kataku sembari mengangguk puas.
Garren menggelengkan kepalanya heran melihat tingkah laku kita berdua. Ia berjalan terus masuk ke dalam kamar Brrenda dan seenaknya meletakkan barang belanjaannya di atas pahaku. Setelah itu lelaki itu menatapku terus lalu menyibukkan diri mencari sesuatu di lemari pakaian Brenda sembari melirikku terus.
Anak ini ngapain sejak tadi ngelirik-lirik gue?
Aku menjadi kaku karena sudah beberapa kali aku (atau kami) tertangkap basah saling melirik. Aku bingung tentu saja tetapi yang paling membuatku menjadi tidak enak yaitu saat sikap Garren yang seperti menilaiku atas bawah. Aku takut jika berdiam diri membuatku meliriknya terus maka dari itu aku mengacak-acak plastik di pangkuanku dan melihat beberapa eskrim di dalamnya. Pantas saja dingin.
“Brend, nih,” ucapku sambil memberikan sekotak eskrim kepada gadis itu yang syukurnya ia tidak menyadari acara lirik-lirikan yang Garren dan aku lakukan.
Gadis brunette itu mengambilnya tanpa melihatku sama sekali sebab dia sibuk mengotak-atik ponselnya sedangkan Garren sepertinya masih sibuk mengurus diri di depan lemari Brenda.
“Brenda, dimana lo letakin kemeja gue yang waktu itu?”
Hikkkk.
Aku merinding saat Garren begitu dekat denganku sehingga ketika ia berbicara. Aku bisa merasakan hembusan nafas di kudukku. Atmosfer seperti ini membuatku mati kutu. Aku tidak bisa terus-terusan bertingkah idiot sedari tadi di hadapan Garren. Biasanya aku akan mendorong atau memukulnya bila bersikap seperti ini. Tetapi sekarang aku malahan berdiam kaku tanpa bergerak seinchipun dan sialnya Garren mencondongkan tubuhnya melewati tubuhku untuk mengambil makanan yang terletak di sampingku.
Aku menahan nafasku sebab Garren lagi-lagi melirikku di tengah-tengah badannya yang melewatiku.
Aku pikir inilah cobaan terbesar dalam hidupku.
ns 15.158.61.5da2