Dumb# 27
Ujian nasional tinggal tiga minggu lagi. Semua siswa semakin sibuk. Brenda terlihat serius dan aku lega perihal UN mengalihkan fokusnya dariku. Aku tersenyum simpul menatapnya melahap kertas-kertas soal-soal dengan tekun namun itu juga membuatku mau tak mau menatap seseorang yang duduk di depannya.
Garren masih sama. Dia ganteng dan menawan seolah merebut semua keindahan dunia ke arahnya. Sesekali ia akan mengerutkan kening karena kesal ketika Brenda merecokinya dengan soal yang tidak ia mengerti namun walau sudah dijelaskan Garren, Brenda masih bingung. Atau Garren akan sesekali tersenyum simpul ketika teman-temannya bercanda entah apa membuatku linglung. Mungkin karena aku terlalu lama menatapnya, ia mengarahkan padangannya ke arahku dan pandangan kami bertemu selama dua detik sebelum aku menundukkan kepalaku.
Walaupun dua detik, jantungku masih berdetak cepat.
**
Ujian Nasional telah datang. Selama empat hari semua orang bertempur. Aku bisa mendengar siswa-siswa mengeluh waktu terlalu cepat berlalu. Ada yang senang karena sebentar lagi bisa menjadi mahasiswa ada juga yang bersikap acuh.
Guru-guru penuh semangat memberi wejangan yang bisa membuat gendang telingamu membengkak. Aku menggelengkan kepala saat beberapa siswa malah tertidur saat mendengarnya. Saat kami dibagikan kartu ujian, Brenda datang menemuiku.
“Yah sepertinya kita ga berada di ruangan yang sama, Thel”
Aku tersenyum lemah dan mengangguk. “Lo harus berusaha sebaik-baiknya dalam ujian.”
Brenda terkikik menatapku. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan untuk itu kan ada Garren.”
Aku tidak menjawab dan enggan menatap Garren. Saat itu kami bertiga berpisah.
Selama 4 hari itu kami tidak sekalipun bertemu. Aku juga tidak berusaha menemui mereka. Aku memutuskan untuk pulang diam-diam di hari terakhir ujian.
Hingga hari kelulusan tiba. Semua orang bersorak gembira. Aku menatap puas dengan nilai-nilaiku dan Kak Rewyn tersenyum kepadaku.
“Selamat Ethellia. Sepertinya dengan nilai ini kamu bisa mendapatkannya.”
Aku menganggukkan kepalaku saat menatap Kak Re sembari tersenyum.
Sorenya, aku mendapatkan telpon dari Tante Yuna, seperti tersambar petir aku tertegun untuk sementara waktu.
“Ethellia sayang, kamu jangan lupa datang ke rumah Tante ya malam ini. Kita akan ngadain pesta barbekyu bersama teman sekelas kalian.”
Suara Tante Yuna yang ramah tidak bisa membuatku tenang. “Pesta Barbekyu?” tanyaku gugup.
“Iya. Jangan-jangan kamu baru tahu ya, Sayang?”jeda di telpon itu membuatku semakin gugup. “Mungkin Brenda lupa kasih tahu kamu. Tetapi kamu tetap datang, kan?”
Aku berusaha memasang senyum walaupun Tante Yuna tidak dapat melihatnya. “Tante maafkan aku.”
“Ethellia, Tante sudah lama ga lihat kamu.”
Suara Tante Yuna yang melankolis membuat hatiku runtuh.
Untuk sekali ini saja aku mungkin akan datang ke pesta itu.
Aku sengaja datang terlambat namun tidak memungkiri kalau Tante Yuna tidak menemukanku pada akhirnya. Ia menatapku dengan sungguh-sungguh berusaha menemukan sesuatu yang salah. Aku berpura-pura bingung menatapnya namun akhirnya ia mendesah lega seperti mengkonfirmasi sesuatu. Aku tidak berusaha bertanya.
“Tante pikir ada sesuatu yang salah antara kalian bertiga hanya saja Brenda tidak terlihat seperti bertengkar dengan kamu. Mungkin Tante saja yang kelewat cemas, ya?” tanya Tante Yuna tertawa kecil.
Tante tebakanmu 100% benar. Ada sesuatu yang salah dan pusat kesalahan itu adalah aku sendiri. Aku berbincang dengan Tante Yuna selama yang aku bisa. Aku berusaha tidak bertemu dengan Brenda atau Garren. Untung saja suasana yang meriah sedang berlangsung di taman belakang dan Tante Yuna masih tidak menyadari maksudku ingin menghindari sesuatu dan malahan bersuka cita saat berbincang denganku. Melihat betapa semangatnya Tante Yuna, aku sadar bahwa aku tidak pernah ke rumah ini hampir setengah tahun.
“Aduh! Tante sepertinya menahanmu terlalu lama sebaiknya kamu cepet-cepet bergabung ke pesta.”
Aku mengangguk lemah saat Tante Yuna menghilang. Aku berdiri dengan linglung di ruang tamu. Aku berpikir sebentar sebelum memutuskan bahwa aku sebaiknya pulang ke apartemen. Setidaknya Tante Yuna telah melihatku dan ia pasti tidak akan pernah berpikir bahwa aku sudah pulang tanpa bertemu dengan anak-anaknya.
Aku berjalan tergesa-gesa. Ketika aku sampai di pintu depan, aku menjadi lega. Tanpa menunda waktu, aku berjalan keluar dari gerbang.
Hanya saja, di gerbang itulah aku bertemu dengan Brenda. Aku tertegun di tempat. Aku gelisah saat melihat bayangan seorang lelaki di depannya. Takut itu adalah Garren namun akhirnya lega saat melihat bahwa itu adalah Andrava.
Andrava menatapku dengan senyuman sinis dan aku membalas dengan senyuman tipis.
“Ethell!!!!!!!” ucap Brenda menjatuhkan barang bawaannya ke tanah dan menghambur ke pelukanku. “Lo sialan. Lo terus menghilang padahal udah selesai ujian. Gue pikir lo udah dikubur di tanah.”
“Lo mengutuk gue buat mati. Memang berani ya,” ucapku berusaha bercanda.
Brenda menatapku lama. “Gue udah menunggu lo dari tadi sore. Biasanya lo udah langsung melesat ke rumah gue. Gue udah nyuruh Garren ngasih tahu lo ikut pesta barbekyu. Tapi lo ga datang-datang jadi gue cemas.”
Hatiku sedih namun berusaha bersikap teguh dan berbohong. “Garren ngasih tau gue kok tapi tadi gue ngerayain kelulusan gue sama Kak Re bentar sebelum kesini.”
Brenda mengangguk paham. “Kalau gitu ayo masuk.”
Aku menghentikan Brenda yang menarikku. “Brenda..”
Brenda berhenti dan menatapku bingung. Andrava juga berhenti di belakang Brenda sembari membawa banyak kantung belanjaan. Kami bertiga berhadapan di depan gerbang di malam hari. Aku merasa jantungku berdetak cemas. Perasaan bersalah terus mengalir keluar. Aku akhirnya tidak bisa menahannya lagi.
“Brenda, lo gak merasa aneh ketika setelah dari acara OSIS enam bulan lalu?”
Aku yakin Brenda pasti merasakan keanehan karena ia menatapku dengan matanya yang membulat. Aku tersenyum lemah.
“Saat itu, Kak Tion bilang kalau ia menyukai gue dan bilang ingin gue menjadi bagian dari hidupnya.”
Brenda tersenyum lebar penuh antusias. Ketika dia hendak membuka mulutnya aku menggelengkan kepala.
“Tapi gue menolaknya.”
Kata-kataku membungkan semangat Brenda saat ia bertanya pelan. “Kenapa?”
“Gue menyukai Garren sudah lama,” ada jeda dalam suaraku sebelum melanjutkan. “Dan Garren tahu.”
Seperti sesuatu menghantam kepalanya, Brenda menatapku linglung. Ia secara tidak sadar mundur selangkah. Andrava juga menatapku terkejut dan terus menatapku tanpa berkedip. Aku tersenyum tidak berdaya.
Brenda yang sebelumnya masih mencerna informasi ini kembali menatapku tajam. “Lo kenapa..?”
“Gue juga ga tahu, Brenda. Gue ga ingin menyembunyikannya tetapi gue sebenarnya hanya ingin menyimpan ini sendiri di dalam hati. Namun, Garren tau! Kak Tion juga tau! Bahkan Andrava juga tau! Gue menolak Kak Tion yang tulus suka sama gue karena gue masih berharap kalau perasaan gue dibalas! Tapi Garren membenci gue, dia bilang dia akan menganggap pengakuan gue ga pernah ada. Gue pengecut Brend, gue merasa bersalah sama lo. Gue ga sanggup ngelihat lo karena gue udah nyembunyiin ini dari sahabat gue.”
Suaraku bergetar berusaha menelan sesuatu yang sesak di ujung tenggorokanku. Brenda menatapku lama sekali sebelum ia meninggalkanku sendirian di gerbang.
“Ethellia, lo emang bego dan gue butuh waktu buat mencerna ini baik-baik.”
Suara Brenda yang dingin menusuk tulangku. Air mata sudah menggenang di mataku dan aku keras kepala menahannya.
Andrava masih berdiri diam di depanku. “Lo..”
Aku menatap Andrava dengan pandangan apatis lalu berkata, “Lo benci pengecut kan? Sekarang gue udah bilang semampu gue.”
Wajah Andrava yang terdiam membuatku tersenyum sinis dan aku meninggalkannya dalam kesendirian.
ns 15.158.61.8da2