Dumb #14
Garren tidak ada dimana-mana. Sepertinya lelaki itu terlalu kaget sehingga ia bersikap dingin padaku dan meninggalkanku sendirian. Tentu saja, semua orang juga tahu bahwa Garren paling anti disentuh-sentuh sama cewek tak terkecuali aku. Tetapi yang tadi itu sungguh aku hanya berniat membersihkan wajahnya. Malahan aku tidak pernah berniat sedikitpun untuk melakukannya.
“Ya sudahlah apa boleh buat,” ucapku pasrah.
Sorak-sorakan terdengar olehku yang seketika langsung aku sadari jika aku berdiri tidak jauh dari lapangan basket tempat dimana anak-anak cheersleader sedang latihan. Aku menatap anak-anak itu dengan wajah bengong sehingga salah seorang anak tidak sengaja melirikku dan menatapku lama.
Aku terkejut dan segera membalikkan badan karena aku sadar bahwa orang yang menatapku tadi adalah Seril.
“Tunggu!” suara melengkingnya membuatku meratapi nasibku yang malang ini.
Aku mengeluh dalam hati kenapa gadis itu muncul di saat yang tidak tepat.
Seril telah tiba dihadapanku dengan pakaian cheerleadernya yang ketat serta aroma parfum yang menyengat. Membuatku yakin sebanyak apapun gadis ini berkeringat pasti tidak akan tercium karena parfumnya itu.
“Lo cewek yang deket sama si Kembar Juan, kan?” kata Seril dengan nada mencemooh. Sialan cewek ini.
Aku menatapnya jengah dan berdecak untuk menginyaratkan bahwa aku malas sekali untuk mengeluarkan sepatah katapun untuknya.
Mungkin gadis itu bebal sebab ia sekarang menatapku dengan wajah mengejek yang jelas sekali. Cewek ini bahkan menyeringai. “Gue ga tau kenapa Garren dan Brenda betah temenan sama lo padahal lo biasa banget,” ucap Brenda sangsi dengan tampang memberengutnya.
“Gue gak tau kenapa elo repot-repot mengomentarin hidup gue tapi asal lo tau ya, isi perut gue udah di kerongkongan nih karena parfum busuk lo itu.”
Perkataanku sukses membuat Seril menatapku tajam. “Lo! Dasar cewek aneh!”
Aku membalas umpatan Seril dengan tatapan menantang tetapi cewek itu segera meredam amarahnya.
“Gue ga peduli lo temenan sama Garren karena gue tau Garren gak akan pernah ngelirik elo tapi lo seharusnya sadar diri dong jangan sok-sok kegenitan sama Andrava!”
“Setelah dicampakkan Garren sekarang lo alihkan etensi lo sama anak baru yang jelas-jelas adik kelas lo?” kataku penuh dengan cemooh sembari memasang wajah mengernyit.
Seril jelas saja tidak peduli karena dia mengibaskan rambutnya yang panjang itu dengan pongah. Tanganku gatal sekali buat menjambak rambut itu.
“Pokoknya kalau lo kedapetan genit sama Andrava, gue gak akan tinggal diam,” ancam Seril final disertai dengan menabrakku saat ia melangkah pergi.
Aku memasang wajah jijik saat gadis bebal itu melenggang pergi menuju tempat kawan-kawannya itu. Aku tidak menyangka saking frustasinya dia setelah direndahkan Garren, dia memilih untuk menjadikan Andrava sebagai targetnya.
Seperti yakin saja kalau Andrava mau sama dia. Iuhh.
Ponselku bergetar sesaat setelah aku keluar dari gerbang sekolah dan mendapati Brenda menelponku. Aku mengangkat panggilan tersebut dan mulai berbicara tetapi Brenda terlebih dahulu berbicara tanpa henti yang membuatku langsung migrain.
“Ethel.... Lo dimana sekarang? Malam ini lo nginap di rumah gue aja ya, gue sekalian mau minjam catatan fisika lo juga. Mau kan, ya? Ya? Harus mau! Gue tunggu. Daahh~”
Setelah mengatakan kalimat sepanjang itu dengan satu tarikan nafas, Brenda menutup telponnya tanpa mendengar pendapatku terlebih dahulu padahal aku berniat menolak permintaannya itu. Tentu saja alasannya adalah Garren. Bagaimana mungkin aku siap menatap wajahnya bahkan berbicara dengannya jika ia masih bersikap dingin padaku seperti tadi?
Hah, merepotkan sekali.
Aku asyik mengotak-atik meja belajarku untuk mengambil buku fisika sedangkan tangan kiriku sibuk memegang ponsel untuk menghubungi Kak Re yang masih bekerja.
“Halo?”
Aku tersenyum saat mendapati catatan fisikaku telah ketemu lalu mengalihkan etensiku kepada suara Kak Re yang terdengar serak sekali.
“Kak, jangan bilang kalau Kakak gak sempat istirahat tadi?” tanyaku mengintimidasi.
“Eum, gimana lagi..” jawab Kak Re ambigu.
Aku memutar bola mataku jengah akan sikap Kak Re yang ceroboh ini padahal dia tahu tidak ada yang memerhatikan dia selain aku.
“Setidaknya minum air yang banyak dan dalam frekuensi yang sesuai jika Kak Re tidak ingin pingsan gara-gara dehidrasi. Sudah berapa kali aku bilang sama Kakak? Bebal banget sih..”
Aku mendengar Kak Re yang terbatuk-batuk di seberang telpon. Entah karena gugup atau memang karena tenggorokannya yang kering. Lelaki itu tidak kunjung membalas perkataanku sehingga aku memutuskan untuk menyambung kembali nasihat panjang lebarku.
“Kak, lebih baik Kakak cari pacar atau gak istri deh. Umur Kakak kan sudah matang buat menikah.”
“....”
Respon buruk Kak Re membuatku naik pitam. Lelaki ini!
“Kalau begitu dengarkan nasihat adikmu ini. Kamu selalu pulang larut bahkan jarang pulang, gimana aku bisa memerhatikan Kakak dengan baik? Atau Kakak mau aku buat blind date untuk Kakak sampai Kakak kapok?”
Kak Re mendesah sehingga aku menggelengkan kepala tidak mengerti akan sikapnya yang kekanakan.
“Iya deh iya... BTW kamu nelpon Kakak Cuma untuk ini nih?”
Oh iya. Aku sampai lupa dikarenakan sudah marah-marah gara-gara Kak Re yang kurang jaga kesehatannya. “Aku cuma mau bilang malam ini aku nginap di rumah Brenda.”
Kak Re menggumam yang aku rasa dia mengangguk-angguk paham mendengar perkataanku. “Baiklah hati-hati.”
Sambungan telpon itupun diputuskan Kak Re secara sepihak sehingga membuatku kesal tetapi aku menghela nafas pasrah karena aku juga salah menelponnya panjang lebar padahal dia lagi sibuk.
Dia memang selalu sibuk sih.
Aku meraih totte bagku dan menyampirkannya ke bahu sedangkan aku langsung menutup apartemen dan bergegas keluar untuk mencari taksi. Sebenarnya jarak rumah Brenda dengan apartemenku lumayan jauh tetapi aku heran saja karena sedari dulu aku sudah sering menginap di rumah sahabatku itu dengan berbagai alasan.
Aku melewati baliho tempat biasanya aku berteduh dari teriknya cuaca panas saat aku malas-malas di apartemen dan memilih keluar untuk sekedar beli eskrim. Kemudian aku akan menunggu di bawah baliho sampai eskrimku habis atau cuaca yang tidak lagi panas dikarenakan malas untuk kembali ke apartemen panas-panasan. Aku teringat, terkahir kali aku disana, Brenda langsung salah paham padaku dengan menyangka bahwa aku kehilangan tempat tinggalku dan menjadi gelandangan.
Mengingat kejadian itu kembali membuatku ingin sekali memukul Brenda saat ini juga.
“Tetapi bagaimana dengan Garren? Gue belum siap buat ngobrol sama dia,” kataku bermonolog.
Kepalaku mendadak sakit ketika memaksa memikirkan cara atau siasat segera setelah aku sampai di rumah Brenda.
“Aihh, ya sudahlah. Liat aja perkembangannya nanti.”
ns 15.158.61.8da2