Dumb#5
Aku meneguk ludahku kaku. Ini sih ibarat senjata makan tuan. Setelah acara saling pelototan antara aku dan Garren, akhirnya lelaki itu menyetujui permintaanku untuk bicara empat mata setelah mendesah kelewat dramatis. Hingga saat ini, aku hanya bisa memandang lurus ke mata Garren tanpa tahu berbuat apa. Entah kenapa, aku dapat merasakan kupu-kupu kembali berterbangan di perutku setelah bangun dari masa hibernasinya.
Aku mendesah kelewat keras hingga Garren mencebikkan mulutnya tak suka. “Lo... jangan bilang mau melakukan sesuatu ke gue...”
“Lakuin apa sih? Plis deh jangan mulai ngedramanya,” kataku lelah karena jantungku terus-menerus memompa dengan kencang.
“Gue ga mau tau.. Apapun hal senonoh yang elo lakuin ke gue, gue bakal laporin lo ke KOMNAS HAM,” ucap Garren sungguh-sungguh yang malah membuatku menjambak rambutku.
“Sungguh. Elo itu kenapa sih? Sensi banget sama gue. Emang gue salah apaan sih sampai-sampai lo ngomongnya ga difilter dulu?”
Garren menggerakkan kakinya seperti ingin cepat-cepat beranjak dari tempat ini. Aku diam membisu.
“Woi....”
“Nih anak malah budeg kali, ya?”
Akhirnya setelah beberapa menit meresapi perkataan lelaki itu, aku mendesah lagi. “Nama gue Ethellia Zephyrine Denayara, bukan Woii..” Oh jangan bilang gue kebawa perasaan sama perkataan Garren? “Gue ga tau lo nganggap gue itu apa tapi asal lo tahu gue menganggap lo sama pentingnya sama Brenda.” Kampret, mulut hei mulut berhenti. “Gue kesini cuman bilang lo harus ngomong ke Leo soal yang tadi. Gue ga mau anak itu jadi sesat karena ga tau mana yang bener dan mana yang salah. Lo kan abangnya.”
Ini adalah kalimat terlembut dan terpanjang yang pernah aku katakan ke Garren. Selama ini yang aku lakukan hanya adu mulut dan sumpah serapah yang tidak lebih dan tidak kurang. Sekarang aku berhasil menampakkan sisi terlemahku dan aku pastikan lelaki itu akan semakin menjadi mengejekku. Aku pasrah.
Vertigoku mendadak kumat. Lagi, lagi, dan lagi.
Garren tidak menjawab. Sepertinya dia syok karena aku tiba-tiba melow begini. Aku meringis. Dan untuk pertama kalinya berdua bersamanya aku menatap matanya langsung dengan sungguh-sungguh.
“Gue pamit dulu, setelah ini gue mau ke apartemen.”
Dan setelah beberapa menit mencekam akhirnya Garren angkat suara. “Oh. Tumben.”
Aku mengendikkan bahu. “Yahh, gue lupa kalau buku peer gue ketinggalan. Besok harus dikumpulin. Tugasnya Buk Rissa.”
Garren mengangguk-ngangguk dan aku bernafas lega ketika akhirnya lelaki itu terlalu bebal bahwa tadi aku hampir saja ketahuan kalau aku su-.. Ya sudahlah, untuk kali ini aku tidak mau mengatakannya.
“Bye..” kataku yang masih sempat-sempatnya melambaikan tangan ke Garren.
Ketika aku mengambil tas di kamar lalu turun lagi. Aku yang sedang mencari-cari Tante Yuna akhirnya bersua juga dengannya di dapur. “Tantee...”
Tante Yuna yang manis itu menatapku dengan senyum meneduhkan. “Ehh Thelliaaa.. Kenapa Sayang? Butuh sesuatu?”
Aku terdiam sebentar. Sudah lama sekali aku tidak mendengar panggilan itu lagi. Setelah mendengarnya aku menjadi rindu.
“Tidak ada Tante. Aku cuma mau ngasih tahu bahwa hari ini aku mau pulang ke apartemen.”
“Kok mendadak gitu..”
“Biasa Tante, aku lupa kalau besok ada peer dan aku meninggalkan bukuku di apartemen..” kataku sembari tertawa kecil.
Tante Yuna menggelengkan kepalanya. “Kan bisa buat lagi disini...”
Aku membalas gelengan Tante Yuna dengan gelengan juga. “Lagi pula ada barang yang harus aku ambil di apartemen Tante. Tadi sepulang sekolah langsung kesini soalnya.”
Tante Yuna nampak berat hati namun akhirnya mengangguk menyetujui. Aku bersyukur dalam hati. “Baiklah, tetapi harus diantarin ya sama Garren.”
Aku lagi-lagi mengelak. “Tante tahu kan kalau Garren paling anti ngantarin aku..”
“Kalau Tante memaksa, ia pasti nurut.”
“Beneran Tante, ga pa-pa. Lagipula kasihan dia tadi habis pulang ekskul..”
Setelah perdebatan panjang. Akhirnya Tante Yuna menyetujui permintaanku dengan syarat mutlak diantarin oleh supir. Untuk yang satu ini aku tidak bisa menolak dan dengan senyuman lemah serta pelukan hangat aku pamit ke Tante Yuna.
“Udah kasih tau Brenda?” tanya Tante Yuna yang aku balas dengan anggukan samar.
Leo yang masih betah di ruang keluarga memanggilku tiba-tiba. “Kok Kakak pulang?”
Entah setan apa yang merasukiku, aku merengkuh bocah itu. “Kak Ethel ada bisnis besar jadi ga bisa ditinggal..” kataku dengan wajah sumringah.
Aku berlalu dengan cepat tanpa mendengarkan respon Leo. Aku hanya ingin cepat-cepat pergi sembari menghilangkan sesak yang semakin menumpuk di hatiku.
Di umurku yang ke 17. Hal yang aku rasakan terhadap perasaan pertamaku hanyalah rasa pahit.
Menyebalkan.
ns 15.158.61.6da2