Dumb #10
Aku terkulai lesu di mejaku tanpa berpikir untuk segera beranjak dari sana walau bel telah berbunyi 10 menit yang lalu. Aku kesal dan marah ketika mengingat anak baru yang bertindak seenaknya itu. Padahal aku sudah susah payah menahan diri untuk tidak melihat wajah Garren, takut jika laki-laki itu berprasangka buruk terhadapku.
Tapi, apa sih yang aku harapkan dari seorang Garren?
Kecuali jika lelaki itu juga ikut-ikutan memanggilku Putri Fiona.
“Putri Fiona..”
Nah, kan?
Aku mendongak ketika melihat Garren menatapku dengan wajah bosan.
Garren berbicara sembari memutar-mutar kunci mobilnya. “Mau sampai kapan lo tiduran disini?”
“Bukan urusan lo juga,” kataku kemudian setelah kembali menelungkupkan kedua tanganku.
“Oh gitu, padahal gue mau ngajak lo buat ke supermarket. Nyokap itu ada-ada aja, masa nyuruh gue beli bahan makanan sambil ngajak elo? Males banget.”
Kepalaku langsung terangkat dengan pandangan berbinar. Akhirnya setelah berharap sekian lama, aku bisa berduaan dengan Garren. Dengan semangat yang membara, aku mengambil tas dan berjalan riang keluar kelas. Tentu saja dengan Garren yang menatapku dengan wajah terkejut.
Di dalam mobil aku tidak henti-hentinya menggerakkan kedua kakiku dengan gugup. Sial, dekat dengan Garren dengan suasana hening seperti ini membuatku panas dingin.
Sudah 15 menit aku duduk diam tanpa mengehentikan kakiku yang terus bergetar.
“Duh, ACnya mati ya Gar?” kataku tiba-tiba sembari mengibas-ngisbaskan tangan ke wajah.
“Gar. Gar. Lo pikir gue grapu apa?” kata Garren judes tanpa mengalihkan perhatiannya dari depan.
Aku mendengus. “Terus gue harus manggil lo apa coba? Capek tau manggil Garren mulu. Boros energi nih.”
“Emang lo pernah memakai energi lo selain buat ngomel dan ngomel? Trus lo sejenis sama badak ya? AC sedingin itu ga terasa.”
Aku menganga hebat. Garren memang lelaki paling aneh sedunia dan kampretnya aku menyukai spesies langka kayak dia. Kami telah sampai di supermarket dan turun dari mobil tetapi perdebatan masih saja berlangsung.
Aku memutar mataku jengkel, disaat seperti ini Garren akan berubah menjadi Bunda Garren.
“Lo itu ya Thel, coba deh pikirin masa depan elo. Kerjaan lo itu 98% ga ada gunanya sama sekali,” katanya memulai mengomel setelah mengambil keranjang dengan aku mengekor di belakangnya.
Waduh si Bunda Garren. Siapa tadi yang bilang kerjaan aku Cuma ngomel dan ngomel? Aku diam tak menjawab tetapi mulutku komat-kamit meniru perkataannya.
“Gue ga ngerti kenapa Brenda bisa nemu temen kayak elo walaupun anak itu juga ga beda jauh dari lo sih. Kak Rewyn saja ga pernah melakukan sesuatu yang gak berguna dalam hidupnya. Mau sampai kapan sih elo jadi kebo beranak gini?”
Mulutku berhenti bergerak dan mataku melotot ketika Garren menyebutku ‘kebo beranak’. Perempuan secantik aku dikatakan ‘kebo beranak’ yang tidak ada manis-manisnya?
Aku memutar tubuhku ke arahnya. “Pardon? Kebo beranak? Lo ga sadar lo itu kayak kebo jantan yang suka ngamilin kebo betina trus kabur ke kebo betina lain?”
“What? Kapan ya gue kayak begitu?”
“Lo ga sadar atau pura-pura ga sadar?”
Garren mencebikkan mulutnya sembari menatapku dengan wajah jengkel. “Terus kalau iya masalah buat lo? Jikalaupun gue kebo jantan gue ga akan sudi tuh ngehamili kebo betina kayak lo. Yang pasti gue bukan bapak dari anak-anak lo.”
Aku memukul kepala Garren kuat dengan kumpulan daun bawang sehingga ia memekik.
“AAA! Apaan sih Nenek sihir!”
“Lo tega ngatain gue HAMDANI? Lo ga bertanggung jawab banget sih?!” kataku tak sadar dengan suara yang melengking pula.
“Siapa juga yang bilang lo HAMDANI? HAMDANI itu siapa coba?”
Aku sekali lagi memukulnya dengan daun bawang. “HAMIL DI LAUR NIKAH BEGO! Lo tega gak mengakui anak lo sendiri POOP!”
“SIAPA YANG NGEHAMILIN ELO?” kata Garren tak terima.
“SIAPA JUGA YANG BILANG GUE HAMIL?” ucapku tak mau kalah.
“BARUSAN LO BILANG BEGO!”
“KAP..... pannnnn... ouch,” aku tanpa sadar meringis saat sadar bahwa kami sekarang menjadi pusat perhatian. Aduh aku terlalu terbawa emosi hingga tanpa sadar bahwa kami berada di tengah supermarket yang lagi ramai-ramainya.
Garren sepertinya juga menyadarinya karena ia segera berdehem dan melangkah dengan santai meninggalkanku yang sekarang sedang menyengir ke arah pengunjung satu per satu.
Saat aku melewati nenek-nenek yang sedang memilih sayuran, nenek itu menanggilku. “Nak sini sebentar.”
Aku sedikit canggung saat menuruti panggilan nenek itu. Namun nenek itu malahan senyum-senyum tidak jelas saat aku telah berada dalam jangkauannnya.
“Ada apa Nek?” kataku seramah mungkin.
“Cu, dalam berumah tangga bertengkar itu biasa. Apalagi kalian nikah muda. Sama juga kayak Nenek waktu nikah saat umur 15 tahun,” kata Nenek sembari menepukku. “Jadi tetap semangat, ya!”
Aku hanya terdiam saat Nenek itu sudah pergi menjauh. Dia meninggalkanku dalam keadaaan beku selagi otakku memproses perkataan Nenek itu yang sangat absurd.
Hah?
Jadi Nenek itu beranggapan kalau aku dan Garren itu menikah?
“Nek!” teriakku hingga Nenek itu menoleh. “DOAKAN PERNIKAHAN KAMI LANGGENG YA NEK!” teriakku dengan suara toa.
Hebatnya Nenek itu membalas dengan mengacungkan jempolnya kepadaku.
**
“Ngapain sih lo lama banget?” kata Garren saat aku menemuinya di tempat daging.
Aku melihat berbagai macam daging dan memilih daging yang sesuai dengan pesanan Tante Yuna lalu meletakkannya di keranjang yang sedang dibawa Garren.
“Gak ko. Cuma meminta restu aja sama Nenek,” aku tersenyum misterius sembari menatap Garren.
Lelaki itu balas menatapku dengan wajah minat. “Nenek siapa yang sekarang lo bawa-bawa? Minta restu apaan?”
Aku mendekatkan wajahku ke wajahnya hingga lelaki itu menampilkan wajah horror. “Kalau mau tau cium pipi gue.”
“OGAH!” katanya sembari mendorong kepalaku. “Lo kerasukan nih!” lanjutnya yang segera menuju kasir.
“Aw. Garren imut banget sih!” kataku sembari melompat-lompat dari jelas.
“Yes! Akhirnya gue bisa natap wajah Garren dari deket!!” lanjutku tanpa mengindahkan tatapan rombongan gadis yang menatapku aneh.
**
ns 15.158.61.48da2