Dumb# 26
Aku membuka mataku dari tidurku saat mengingat kembali kenangan-kenangan itu dari tiga bulan yang lalu. Green M, Kak Tion, dan cintaku yang tidak tertolong lagi, aku mengingat semuanya seolah-olah kejadian itu terjadi tepat di depan mataku. Aku ingat dengan sosok yang aku cintai menatapku apatis saat aku dengan berani mengungkapkan perasaanku seperti air tumpah. Aku juga ingat dengan jelas di malam terakhir aku melihat sosok itu yang bersungguh-sungguh dengan perasaannya terhadapku bisa membuat hatiku bergetar sampai tidak bisa tertolong lagi.
Tetapi pada akhirnya, seperti seorang pengecut, aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Mungkin, suatu hari ketika aku telah berubah menjadi seorang dewasa akan menyayangkan melepaskan seseorang yang pernah menyukaiku dengan tulus hanya karena keragu-raguanku.
Yeah, bagaimanapun, semuanya telah berlalu.
Setelah acara itu selesai, kami menikmati sisa liburan dengan tenang. Hingga semester genap telah tiba, semuanya telah berubah. Garren dan aku telah sepenuhnya menjadi orang asing. Awalnya Brenda tidak terlalu peduli akan hal itu tetapi berminggu-minggu berlalu setelah menyadari bahwa aku dan Garren tidak sedikitpun berinteraksi, ia merasa ada yang salah.
Brenda bertanya padaku apa yang terjadi dan aku hanya berkata dengan tingkah konyol dipaksakan.
“Brenda, loe sepertinya kebanyakan nonton drama. Gue dan Garren baik-baik aja tuh.”
Kata-kata semacam itu yang sering aku lontarkan awalnya membuat Brenda percaya. Aku menjadi semakin bersalah. Brenda adalah sahabatku namun aku bahkan tidak mampu untuk menceritakan masalah ini padanya. Akibatnya aku juga perlahan-lahan menghindarinya. Setiap hari aku akan pergi ke perpustakaan saat jam istirahat dan sepulang sekolah aku akan langsung pulang serta menolak segala ajakan Brenda untuk bermain ke rumahnya. Brenda memang lemot tetapi pasti ia juga merasakan sesuatu yang aneh terjadi padaku. Ia kembali bertanya kepadaku apa yang salah dan aku hanya bisa menjawab alasan paling logis yang aku temui.
“Ujian Nasional dan perguruan tinggi hanya tinggal tiga-empat bulan lagi. Jadi, gue tidak bisa memikirkan hal lain selain belajar sungguh-sungguh. Lo sebaiknya mulai rajin belajar juga, Brenda.”
Brenda mempercayaiku begitu saja dan aku semakin tidak berdaya.
Ahhh. Brenda sayang, kamu memang naif.
Tetapi aku lebih buruk lagi. Aku seorang pengecut. Suatu hari mungkin Brenda datang ke arahku dengan tatapan benci ketika telah mengetahui segalanya. Persahabatan ini bisa saja menjadi retak.
Aku membenci diriku. Aku membiarkan perasaan konyol ini tumbuh semakin besar. Aku juga menyembunyikan perasaan ini dari sahabatku. Aku telah kehilangan teman yang telah bersamaku beberapa tahun ini dan aku juga berusaha menjauh dari sahabatku tanpa ia sadari. Dan aku juga menyakiti perasaan seseorang lelaki yang tulus kepadaku.
Karma ini, bagaimana aku bisa menebusnya?
“Oh jadi disini Putri Fiona bersembunyi?”
Saat aku mendengar suaranya, aku tidak berusaha untuk meresponnya. Aku bahkan tidak berusaha bangun dari baringanku. Suara menjengkelkan itu aku anggap hanya angin lalu.
Andrava mengomel tidak jelas sebelum ia duduk di sampingku. Ia merenggangkan tubuhnya yang berkeringat lalu menatap langit yang cerah. Kami berdua diam di bawah pohon besar di suatu taman sekolah. Aku tadi melarikan diri dari Brenda dan Garren sehingga aku bersembunyi di sini dan memutuskan untuk berbaring sembari menutup mata. Sampai Andrava menemukanku disini.
Aku akhirnya meliriknya dengan tenang. “Sampaikan apa yang perlu lo katakan ke gue.”
Andrava menatapku dengan pandangan menantang sebelum tertawa terbahak-bahak. Bocah sinting ini pasti salah makan obat sebelum kemari. Ia tertawa cukup lama sebelum ia berhenti dengan raut muka serius. Aku tidak bisa membantu tetapi ikut penasaran juga.
“Katakanlah Putri Fiona, ada seseorang yang gue kenal. Dia bertindak bodoh dan kepengecutannya membuat gue pengin sekali memukulnya.”
“Pukul aja kalau lo pengin. Tidak perlu membual,” kataku skeptis. Tentu saja aku tahu siapa yang tengah disindir Andrava.
Andrava berpura-pura tuli mendengar sindiranku dan ia melanjutkan sindirannya kepadaku. “Pengecut itu sakit hati karena perasaannya ditolak dan juga menyesal karena menyakiti hati seseorang sekarang berusaha menghindar dari sahabatnya. Katakan Putri Fiona, bukankah ini juga membuat lo pengin memukulnya juga?”
“Gue?” kataku sembari mengangkat alis, menolak menatapnya dan malah menutup mata. “Perlukah gue repot-repot mikirin urusan orang. Bukankah lebih baik ngurus urusan sendiri.”
Jawabanku dibalas keheningan. Tidak tahu bagaiamana raut wajah Andrava saat mendengarnya tetapi aku sudah kehilangan energi untuk marah-marah jadi hanya pandai melontarkan kata-kata tajam.
“Tapi sepertinya loe tahu banyak urusan seseorang itu. Tidak tahu darimana lo mengetahuinya. Apakah bagus menguping pembicaraan orang lain?” lanjutku sarkas.
“Jadi memangnya kenapa kalau gue menguping? Lo berdua aja yang bego membicarakan hal itu di tempat semua orang bisa lewat. Sepertinya lo harus bersyukur karena Cuma gue yang denger.”
Akhirnya aku membuka mata dan berdiri. Aku menatap mata Andrava dengan kesal. Aku sudah banyak pikiran tetapi dia bahkan menambah minyak ke dalam api.
“Andrava. Loe melakukan apapun sesuka lo, gue ga ngelarang. Tapi, sebaiknya lo ga usah berlebihan mencampurin urusan gue. Lo mau kesel kek, marah, ataupun pengin pukul gue, lebih baik lo pikirin sendiri. Jangan ganggu gue.”
Andrava berdiri menghadang jalanku. Aku melotot marah, dia kembali berbicara, “Hehe, Ethellia. Bagaimana kalau gue bilang gue berhak mencampuri urusan lo karena gue suka lo.”
Aku terdiam namun kemudian tertawa kencang. Aku terus tertawa sampai perutku terasa sakit. Ketika aku bisa menahan tawaku, aku menghapus mataku yang berair dan menatap Andrava sinis.
“Andrava, jangan berpikir kalau gue ga tahu lo berbohong. Selama ini, lo itu suka sama Brenda.”
Andrava seperti yang diharapkan tertawa dan bertepuk tangan. “Putri Fiona bukan seorang idiot ternyata.”
Idiot atau bukan. Bagaimana kamu bisa percaya begitu saja perkataan seseorang yang mengatakan bahwa ia menyukaimu dengan cara yang tidak tulus seperti itu? Bukankah ia terlalu meremehkan aku? Jika itu dulu, aku akan memukul tulang keringnya atau mengumpat tepat di depan wajahnya hingga air liurku muncrat ke wajah Andrava.
Aku menatap sikapnya yang meremehkan dengan pandangan meredup.
“Andrava stop playing, don’t be such a childish.”
Aku berbalik meninggalkan Andrava dan berjalan tanpa terburu-buru menuju gedung sekolah. Aku seolah-olah bisa mendengar suara Andrava yang terdengar jelas di telingaku.
“Ethellia, sikap lo seperti ini benar-benar pengecut.”
ns 15.158.61.46da2