Dumb #24
Dulu, ketika aku masih di sekolah menengah pertama, aku mempunyai sosok yang kugami sepenuh hati. Dia muncul di saat aku membutuhkan pahlawan yang datang untuk melindungiku dari keterpurukan. Aku yang masih naifnya pernah berkhayal bahwa pasti membahagiakan sekali jika mempunyai sosok suami yang lembut dan perhatian seperti pahlawanku itu.
Walaupun begitu, kekagumanku bukan berarti aku juga menyukainya. Perasaan suka itu dulu adalah sesuatu yang asing bagiku. Lagipula aku juga menganggapnya tidak lebih seperti superhero di komik-komik yang menyelamatkan rakyat jelata yang diserang monster. Yeah, kadang-kadang pernah berpikir sih aku jadi beauty pendamping superhero di komik-komik itu.
Hingga aku sendiri yang memutuskan untuk tidak melangkah jauh dan menarik diri dari lingkungannya. Sejak saat itu kami tidak pernah berkomunikasi satu sama lain.
Dan superhero itu sekarang anehnya bertemu denganku lagi di tempat tak terduga.
Aku pengin kabur untuk menghindari bertemu dengannya di tempat ini. Hanya saja kakiku seperti menancap di tanah dengan erat. Tubuhku gemetar karena gugup. Demi kolornya superman, aku benar-benar tidak ingin dia menemukanku di sini. Akhirnya, aku mampu mengendalikan diriku yang kacau dan tergesa-gesa berlari sehingga aku tersandung akar pohon.
“Ya Tuhan!”
Aku pasrah jika aku jatuh tetapi ada seseorang yang memegang tanganku dan menariknya supaya aku bisa berdiri dengan benar. Sentuhannya membuat jantungku gemetar, aku jelas sekali sadar ketika mencium parfumnya yang familiar.
“G..Garren...” kataku menatapnya tercengang.
Garren masih memegang tanganku ketika ia menatapku dengan mata hitam pekatnya itu. Aku meneguk ludahku sedikit sebelum melepaskan genggamannya yang terasa aman bagiku.
Di belakang Garren, Brenda muncul. “Loh Thel. Gue cariin dari tadi kiranya di sini.”
Ketika melihat Brenda, aku langsung memegang kedua tangannya erat-erat. “Brenda.. Dia.. Dia..”
Brenda menaikkan alisnya tidak mengerti melihat sikap bodohku. “Ada apa? Kok Lo gugup gitu?”
Aku ingin mengatakan sesuatu tetapi karena terlalu terkejut aku sampai tergagap-gagap. Aku sebenarnya tidak mengerti kenapa aku harus setakut ini. Namun, ketika aku melirik Garren yang sedang menatapku. Aku tahu bahwa mungkin sesuatu yang buruk akan terjadi.
“Ethellia...”
Panggilan yang lembut itu menghentikan pergerakanku. Aku menggigit bibirku saat menatap orang yang sudah berdiri di depanku menatapku dengan tatapan ramah. Brenda membulatkan matanya tidak percaya sedangkan Garren karena dia di belakangku jadi aku tidak tahu ia akan membuat ekspresi seperti apa.
Dia, yang berada di depanku adalah superheroku dulu, melangkah lebih dekat ke arahku dan tanpa permisi menggosok kepalaku di depan banyak orang.
“Lama tidak berjumpa. Kamu tidak melupakanku, kan?”
Aku tersenyum kaku. “Hahaha, Kak Tion. Sudah beberapa tahun tidak bertemu, aku gak nyangka kita kebetulan ketemu di sini.”
Kak Tion menaikkan salah satu alisnya. “Ini bukan kebetulan. Aku disini karena kamu.”
Sesaat, semua orang terdiam seperti meragukan perkataan Kak Tion sebelumnya.
Aku menatap kosong Kak Tion yang tersenyum ke arahku mengalihkan topik. “Jangan-jangan, Kakak yang jadi ketua penggantinya, ya?”
Kak Tion menjauhkan tangannya dari kepalaku dan mengangguk pelan. “Yah, selama beberapa hari ini, mohon kerja samanya ya Ethellia.”
Panggilan yang sama, suara yang sama, dan sikap yang sama. Inilah Kak Tion yang aku kenal dan pernah menjadi superheroku.
Kak Tion selanjutnya menatap ke arah Brenda dan Garren. “Kalian bertiga sampai sekarang selalu bersama, Brenda, Garren.”
Brenda telah sadar sejak lama tersenyum genit. “Kak Tion, jarang bertemu makin ganteng aja.”
“Kamu juga makin cantik.”
Brenda cekikikan genit. Aku memutar bola mataku sedikit malu akan tingkahnya. Kak Tion sepertinya ingin mengatakan banyak hal tetapi ia harus memulai sesi pembuka sehingga dia pergi lebih dulu.
Aku menatap kosong punggung Kak Tion yang tegap. Apa maksud Kak Tion kalau pertemuan ini bukanlah suatu kebetulan? Apa ia benar kesini karena aku? Tidak mungkin dia masih sama seperti dulu sebelum perpisahan kami kan?
“Lo melihat Kak Tion sampai segitunya...” ucap Brenda tiba-tiba.
Aku tersentak dan tersenyum canggung. Brenda yang sepertinya tidak peka memutuskan untuk pergi ke tempat pembukaan acara. Sehingga hanya ada aku dan Garren. Saat melihat Garren, aku dilema. Dia menatapku juga dengan wajah tidak acuhnya. Sejujurnya, Garren sedikit berubah. Dulu, dia sesekali bersikap kekanakan dengan mengejekku tetapi sekarang dia menjadi tidak banyak bicara dan bersikap apatis. Ketakutan memenuhi hatiku.
“Lo udah lihat kamar lo?” kataku berani berbicara dengan Garren.
“Lo sengaja, kan?” tanya Garren tiba-tiba.
Aku termangu tidak mengerti. “Apa maksud Lo?”
Garren menyeringai dan menatapku penuh ejekan di matanya. “Lo bersikap seolah-olah menyesal mengikuti acara ini. Ternyata itu Cuma fasad lo saja padahal lo tahu kalau bakalan ketemu sama dia. Seneng kan lo?”
Aku menggelengkan kepala tidak setuju. “Gue beneran ga tau kalau Kak Tion ada di sini. Lo lihat kan seberapa kagetnya gue tadi?!”
“Loe seharusnya jujur saja ke kami. Gak usah bersikap seperti itu,” balas Garren.
“Ini gak seperti yang elo pikirkan!”
“Oohh... Emang apa yang gue pikirkan?” tanya Garren menaikkan satu alisnya.
“Hubungan gue dan dia adalah teman,” ucapku lemah tidak yakin.
Garren menatapku lama sebelum menghela nafasnya. Ia berjalan memunggungiku tanpa membalas apapun.
Aku tidak berdaya menjadi frustasi dan mulai berbicara melantur. “Kenapa lo kayak gini ke gue? Sejak kejadian di taman itu lo semakin menghindari gue! Oke, maafin gue. Gue seharusnya tahu kalau lo paling benci disentuh cewek apalagi sama gue. Saat itu gue Cuma bingung sesaat. Gue gak bermaksud apa-apa.”
Garren berhenti dan membalikkan badannya. Matanya yang jernih membawa jejak misterius. Aku tidak bisa membaca suasana hatinya melalui wajahnya yang sedingin es.
“Ethellia, lo bersikap aneh. Ngapain tiba-tiba berbicara masalah lain, gue ga ngerti sama lo.”
Mataku meredup tetapi masih kukuh menatap Garren. “Garren lo sebenarnya tahu kan?”
Fluktuasi pada mata Garren yang sesaat masih tertangkap di mataku. Aku menjadi yakin akan pemikiran itu.
“Lo sebenarnya pasti nyadar makanya lo ngehindari gue. Garren lo pasti sudah menyadari kalau gue menyimpan niat lain kepada lo! Jawab!”
“Cukup.” Garren menutup matanya sebentar sebelum menatapku dengan ekspresi acuh. “Pembicaraan ini gue anggap ga pernah terjadi,” imbuhnya dan berlalu pergi.
Aku menutup mulutku cepat untuk menelan kembali kata-kata yang sudah di ujung lidah. Begitulah, orang secerdas Garren sudah pasti menyadari sikapku yang aneh. Aku hanya yang begitu naif untuk percaya bahwa aku bisa menyimpan perasaan ini untuk diriku sendiri. Garren pasti menahan dirinya hanya karena dia memberiku wajah sebagai temannya Brenda.
Jantungku berdenyut sakit. Sejak dulu aku sudah mengatakan kepada diriku sendiri bahwa peristiwa ini akan muncul cepat atau lambat. Namun, aku masih belum siap. Aku tidak ingin menyerah tetapi Garren jelas membangun dinding di antara kami. Perintahnya sebelumnya sudah sangat jelas.
Bahwa aku tidak boleh berharap lebih dan tidak boleh membicarakan ini di masa depan.
Garren... Sekarang ini aku harus berbuat apa?
ns 15.158.61.12da2