Dumb #12
Aku melamun saat menatap rintik-rintik hujan yang jatuh hingga menciptakan kubangan-kubangan kecil di sekitar halte. Hujan yang turun sangat deras ini sukses membuatku lesu dan lemah tak berdaya karena aku tidak bisa kemana-mana. Kemana payung yang selalu aku bawa itu? Kenapa saat aku membawa payung langit tersenyum cerah sedangkan saat aku mendadak menjadi pelupa langit menumpahkan air begitu banyak tepat saat aku keluar dari sekolah?
Demi jigongnya Aw-Karin ironi banget hidup gue.
Malangnya lagi Brenda meninggalkanku untuk pergi entah kemana sedangkan Garren, sekali lagi apa sih yang aku bisa harapkan dari seorang Garren?
Entah kenapa aku ingin sekali berteriak dan mengumpati siswa-siswi yang tidak terlalu jauh berjalan sambil memegang payung seakan mengejekku. Tidak ada seorangpun yang bisa aku mintai tolong untuk menjemput sedangkan untuk mencari taksi aku terlalu malas hanya untuk sekedar mengijinkan satu titik hujan mengenai tubuhku.
Soalnya aku takut kalau bajuku tembus pandang dan aku hanya mengijinkan Garren untuk melihatnya seorang.
“Argghhhttt kok gue mesum banget sih?!”
“Wah si Mesum Putri Fiona.”
Aku berhenti menampar pipiku saat suara seseorang yang sangat menjengkelkan memasuki indra pendengaranku. Suara itu, wajah itu, ingin rasanya aku menendang selakangannya itu agar ia berhenti mengusik kehidupanku yang sudah terlanjur rumit ini.
Andrava tidak memerdulikan wajahku yang sangat seram dan seenaknya duduk di sampingku sembari mengibas-ngibaskan jaketnya yang basah dan juga tubuhnya. Andrava menatapku setelah meletakkan jaketnya. Ia memandangku dengan wajah mengejek yang sangat aku benci.
“Apaan sih liat-liat?” kataku emosi.
Ia tidak menjawab dan menatap ke depan. Aku bingung dan juga ikut menatap ke depan dan mendapati motornya diparkir dan basah diguyur hujan. Ternyata dia disini untuk berteduh juga ternyata.
Saat aku kembali menatapnya aku mendapati Andrava menggigil kedinginan. Pantas saja soalnya bajunya basah semua.
Aku menghela nafas karena sisi kemanusiaanku mendadak muncul dalam situasi dan kepada orang yang tidak tepat. Aku merogoh tasku dan mengeluarkan jaket kemudian menyodorkannya kepada lelaki itu.
“Nih,” kataku membuat Andrava menoleh. “Gue akan menyesali ini jadi cepat bungkus tubuh lo dengan ini.”
Andrava tersenyum misterius. “Kenapa ga buat lo aja?” katanya seakan bersikap gentle tetapi tangannya berkata lain dan langsung membungkus tubuhnya dengan jaketku.
Jaketku yang malang.
“Gue kering,” ucapku sembari mengendikkan bahu. “Gue ga mau liat elo pingsan di sini dan membuat gue menjadi repot sendiri. Ogah.”
“Oh. Bilang aja napa kalau lo suka sama gue.”
Nih anak, boleh sih ganteng tapi pedenya kok bikin aku muntah, sih?
“No way! Ga sudi dan ga pernah niat cowok masih bau kencur setengah matang kayak elo jadi orang yang gue suka atau sekedar jadi crush gue. Ew.”
“Kita Cuma beda setahun kali,” kata Andrava yang memutar bola matanya.
Aku tak mau kalah. “Sorry. Kisah percintaan gue ga semenyedihkan itu hingga harus suka ama berondong kayak elo walaupun lo lumayanlah ganteng. Njir, gue bukan tante-tante.”
Andrava tertawa yang aku hadiahi pelototan. “Lo... Kenapa hidup lo ribet banget sih. Seharusnya beruntung dong orang kayak gue ngedekatin elo. Lo ga tau siapa gue, ya?”
Orang ini percaya dirinya di atas normal. Aku mendecih. “Lo tipe playboy, gue ga ada niat buat sekedar deket sama playboy.”
“Wah sayang dong. Padahal lo bisa jadi pacar ke 81 gue.”
Anak ini selain sinting juga gila. Apa dia hanya sekolah buat mencari cewek? Duh, parah banget.
Aku memukul kepalanya kesal. “Lo ya Poop! Emang lo pikir cewek itu berbie apa? bisa lo mainin sepuas hatilo trus lo campakin saat lo bosen? Mau gue pukul lo, hah?”
“Aduh! Ga salah gue. Mereka yang ngejar gue, asal lo tau ya kalau cowok itu dikasih dia gak akan menolak.”
Aku terdiam lalu menatap ke depan. Tidak membalas perkataan Andrava yang sedikit menusuk hatiku. Aku kepikiran Garren, apa iya semua lelaki seperti itu? Termasuk Garren?
Lamunanku terhenti ketika suara klakson terdengar di sela-sela lamunanku. Aku berdiri untuk memastikan dan saat kaca mobil turun, aku melihat Garren menatapku dengan wajah masam.
Aku bersiap menerobos hujan untuk menghampirinya tetapi dicegat oleh Andrava. Aku menatap Andrava kesal. “Kenapa?”
“Lo gak liat hujan? Tunggu aja dia yang kemari, bego.”
“Gue ga bego, kupret. Mana sopan santun lo sama kakak kelas sih.”
Andrava mengendikkan bahu dan kembali duduk santai sedangkan aku menatap Garren yang menghampiriku sembari membawa payung. Dia masih memasang wajah masam. Aku tahu pasti dia habis dipaksa sama Brenda buat menjemputku.
Aku tersenyum ke arahnya. “Garren..”
“Ck. Lo sih nyusahin aja.”
“Ya sorry deh, Kanjeng Mas Garren.”
Garren memberikan payung yang lain kepadaku dan aku mengikutinya menuju mobil. Tapi langkahku terhenti ketika mengingat sesuatu.
“Andarava...” panggilku membuat lelaki itu menaikkan salah satu alisnya. “Jangan lupa jaket gue dicuci trus balikkin. Jangan sampe jadi harta pusaka lo ya. Gue pergi.”
“Yee... Gue kirain buat gue,” katanya tak senang.
Aku melotot lama kepadanya sehingga ia pasrah dan mengangguk. Aku menyengir kemenangan. Tetapi senyum itu langsung lenyap ketika Garren menatapku dengan penuh selidik. Aku bergidik takut.
Garren mulai menjalankan mobilnya dalam suasana hening. Sadar bahwa moodnya buruk aku memilih bungkam tetapi pada dasarnya aku cerewet, mulutku gatal sekali ingin berbincang-bincang dengan dia. Akhirnya setelah mengakhiri masa dilema aku memilih mengalihkan perhatianku ke rintik-rintik hujan.
Entah kenapa aku bersyukur hujan datang hari ini walaupun tadi sedikit mengalami kesialan bertemu curut ababil yang satu itu.
ns 18.68.41.175da2