Dumb #13:
Aku berjongkok menatap setangkai bunga yang tumbuh di antara rumput-rumput. Heran dengan bunga ini yang bagaimana bisa tumbuh di antara rumput liar yang jelas saja merupakan hama bagi bunga. Tanganku gatal untuk memetiknya tetapi juga tidak ingin merenggut kebebasan yang dimiliki bunga itu. Bagaimana jika bunga itu langsung mati setelah aku memindahkannya?
Aku terdiam beberapa lama sembari terus menatap bunga itu tanpa henti. Sedangkan tanganku maju mundur untuk memetiknya. Seriusan deh.
“Cantik..” suara serak mengintrupsi kegiatanku.
Aku terkesiap dan berdiri. Ketika tubuhku menghadap ke belakang aku tidak menemukan apa- apa. Botol susu tiba-tiba menghantam kepalaku yang berasal dari atas. Aku mendongak kemudian mendapati seseorang yang aku kenal menyeringai menatapku.
Lelaki itu masih betah duduk di atas pohon sembari mengendikkan dagunya ke arah bunga tadi. “Bunga itu cantik. Lo jangan iseng ngecabutinnya.”
“Yeee. Siapa juga yang mau ngebunuh bunga ini. Gue Cuma menyelamatinya tau,” kataku tidak terima difitnah. “Lo ngapain kayak beruk tinggal di pohon?”
Lelaki itu mengernyit. Ia melompat dengan percaya diri dengan kedua kaki yang menapak sempurna di tanah tepat di hadapanku. Wangi parfumnya tak pelak aku cium membuatku kembali deg-degan hanya karena bau parfumnya. Aku mundur menjauhi lelaki itu sebelum aku berperilaku aneh lagi dan lagi.
Lelaki itu, Garren, berjongkok di hadapan bunga itu, memelototi bunga itu dalam waktu 15 detik setelah itu tiba-tiba memetiknya hingga ke akar-akar bunga itu. Aku memekik kaget dan refleks memukul kepalanya. Sekarang gantian Garren yang memelototiku karena sikap kurang ajarku. Aku takut tetapi memberanikan diri merebut bunga itu dari genggamannya yang untung saja tidak patah karena kekuatan maha dahsyatku.
“Tadi lo yang bilang ke gue jangan cabut bunganya sekarang malah elo yang lakuin. Kelakuanlo rada aneh bin ajaib juga ternyata.”
“Apaan sih. Sini balikin bunganya. Biar gue yang letakin bunga itu ke tempat yang lebih layak.”Garren mengulurkan tangannya yang hanya aku balas dengan tatapan sangsi kepadanya.
“Gue ga percaya..” kataku menatapnya ala-ala detektif Conan.
“Gue yang lebih ga percaya sama elo. Cepat balikin bunganya. Lo mau bunganya sama kayak burung yang elo sok-sok an jadi perawat itu?”
Aku memanyunkan bibirku mendengar kenangan masa lalu yang pahit itu dari mulut Garren. Ya ampun, padahal aku sudah melupakannya dan move on setelah 3 tahun meratap. Aku sebenarnya mengiyakan perkataan Garren tetapi tetap saja lelaki dengan bunga agak meragukan gimana gitu.
Garren menatapku tidak sabaran. “Sini cepat balikin bunganya.”
“Oke. Tapi gue juga ikutan lihat. Titik!”
“Terserah elo,” ucap Garren pasrah mendesah lelah sembari menengadah ke langit.
Aku tersenyum lalu memberikannya kepada Garren. Aku menatap bunga itu yang langsung nyaman di genggaman Garren. Tiba-tiba saja aku merasa iri karena bunga itu digandeng sama Garren. Bunga aja digandeng masak aku enggak?
Aduh mikirin apasih. Mana mungkin Garren mau menggandengku. Mimpi.
Sebenarnya jam sekolah sudah habis 30 menit yang lalu dan tumben sekali Garren tidak nyempil ke Brenda seperti biasanya dan memilih bergelantungan kayak beruk di pohon. Dasar lelaki aneh.
Lelaki aneh tapi ganteng. Heheheh.
Kiranya kekehanku yang dalam hati ternyata terdengar di dunia nyata yeorobeun sebab Garren menatapku dengan tatapan aneh. Aku menyengir sendiri.
“Lo jangan ketawa sendiri. Sekolah udah kosong tau.”
“Iya-iya.”
Aku mencibir lelaki itu di belakangnya yang untungnya tidak disadari lelaki itu. Aku melihat punggung Garren yang lebar membuatku terpana. Ia tinggi dan tampan. Gen Om Axel direbut lelaki itu semuanya yang membuatku langsung bersyukur. Andai saja bukan karena phobia anehnya itu pasti aku udah menjalankan aksi pedekate sama Garren. Namun sayang itu Cuma angan-angan.
Setelah berbelok, lurus, dan berbelok lagi akhirnya kami berhenti juga. Aku menatap sebentar plang yang ada di depanku dengan tulisan Taman Klub Bunga. Jangan bilang kalau selama ini Garren itu anggota klub ini? Yang benar saja!
“Garren gue ga nyangka kalau lo selama ini.......” kataku menganggtung sembari menatapnya aneh.
Garren hanya memutar bola matanya kepadaku dan langsung manyambar salah satu pot kosong yang cantik. Lelaki itu cekatan memasukkan tanah dan pupuk ke dalam pot setelah itu menanamkan bunga itu disana. Aku hanya berdiam diri kayak orang bego ketika bunga itu sudah berdiri tegak sempurna di pot.
Aku menatap bunga itu dengan pandangan kagum, jujur aku tidak tau jenis apa bunga ini hanya saja warnanya yang cantik membuatku langsung terpikat pada pandangan pertama. Garren menepuk-nepuk tangannya yang berlumuran tanah yang bercampur eek ayam sembari menatap puas bunga tersebut. Aku yang sedetik lalu meliriknya hanya berdiri kaku ketika lelaki itu menatapku.
Aku memecah keheningan yang tercipta selama 10 menit lamanya. “Lo mau biarin bunga ini disini, Gar?”
“Menurut lo?” jawab Garren sinis kepadaku.
Aku sebenarnya pengin sekali menjitak lelaki itu tetapi aku hanya diam saja. Penyebabnya adalah ketika aku menatap pelipis Garren yang ternodai oleh tanah yang tidak ia sadari saat menghapus peluhnya. Tanganku gatal sekali ingin menghapusnya tetapi aku tidak punya nyali buat melakukannya. Garren sepertinya tidak sadar karena lelaki itu malah lebih memilih menyirami bunga itu sedangkan aku sudah beberapa kali mengumpati tanganku yang gemetaran.
Namun aku sadar bahwa diriku selalu membawa saputangan di sakuku yang entah kenapa membuat aku merutuk lagi.
Kalau begini hasratku yang sedari tadi aku susah payah tekan malah membuncah kaya banjir bandang.
“Shit. Gimana lagi,” gumamku.
“Hn?”
Ketika Garren mengalihkan wajahnya saat mendengar gumamanku. Aku memegang pipi kanannya sedangkan tanganku yang lain mengelap noda di pelipisnya dengan saputanganku.
Kejadian itu serasa 1 jam walau hanya beberapa detik saja tetapi mampu membuatku gemetaran hebat yang aku yakini 100% lelaki itu sadari. Aku menyengir lebar setelah aku menurunkan tanganku dari wajahnya. Garren terpaku menatapku, mungkin lelaki itu tidak pernah menyangka akan ada adegan ini seumur hidupnya denganku.
Akupun juga begitu.
“Itu!!” kataku mengedipkan mata berkali-kali. “Gue ga tahan banget sumpah tanah yang bercampur eek ayam nempel di pelipis lo.”
Garren yang terpaku sekarang menatapku dengan tatapan mengintimidasi yang membuaku grogi setengah mati. Aduh, apalagi yang bisa aku katakan sebagai alasan, ya?
Aku berdehem lalu menatapnya lagi setelah akhirnya jantungku sudah lumayan mereda. “Lo jangan natap gue kayak gitu. Gue Cuma takut gue muntah ketika frasa ‘eek ayam’ terus bergema di kepala gue. Mending lo basuh wajah sama tangan lo dengan sabun.”
Aku sungguh mengatakan kalimat itu dalam satu tarikan nafas. Supaya gemetarku tidak terlalu kentara, aku menyibukkan tanganku dengan melipat saputanganku dan meletakkannya kembali ke dalam saku yang pastinya eek ayam tidak mengenai bajuku. Aku yakin mendengar Garren mendesah tetapi aku terlalu takut untuk mendongak sehingga aku seperti orang penderita GPPH karena menggerakkan jariku terus menerus di balik punggungku.
“Makasih.” Suara Garren yang dingin membuatku semakin bersalah. Aku gelisah ketika Garren pergi meninggalkanku di belakang. Aku ingin sekali mengejarnya tetapi bumi seperti menahanku sehingga kakiku tidak mampu bergerak.
Lo emang bego, Ethel.
Aku tahu aku bodoh tetapi tadi itu aku benar-benar tidak sanggup berpura-pura tidak tahu sedangkan tubuhku terus menyorakiku agar aku mau melakukan hal bodoh tadi.
“Haahh~ Sekarang apa yang harus gue perbuat jikalau gue ketemu Garren lagi?” tanyaku seraya menatap bunga itu. “Kenapa serepot ini menyukai orang?”
Iya gimana tidak repot kalau orang yang disukai itu makhluk langka seperti Garren.
ns 15.158.61.5da2