Dumb #7
Aku tersedak dan buru-buru menelan nasi bulat-bulat saat mendengar pertanyaan kelewat pernyataan oleh Brenda. Lalu Garren yang baik hatinya kambuh menyodorkan segelas air di tanganku dan aku tanpa banyak gaya menelan habis semua air itu tanpa bersisa. Setitik pun tidak.
“Iya kan Thel? Kalau gak salah memang Kak Tion kan namanya?”
Aku mengangguk kaku dan terpaksa menelan bulat-bulat untuk mengejek Garren yang tumben sekali menolongku. Biasanya kan dia yang paling bahagia membuatku menderita.
Aku melanjutkan makananku sembari mengendikkan bahu. “Yap. Gue ngasih kue itu sebagai ucapan terima kasih ke Kak Tion karena udah nolongin gue.”
“Nolongin bolos gak jadi itu maksud lo?” ucap Garren kelewat tepat hingga membuatku menyengir. Ia masih menyantap makanannya dengan table manner yang sungguh membuat dia tambah memesona.
Brenda bersemangat sekali saat menceritakan Kak Tion dan kueku lalu berkata, “Semua orang kaget lohh pas lihat elo ngasih kue itu terang-terangan ke Kak Tion. Padahal kan Kak Tion terkenal banget di SMP, udah ganteng, baik, kalem, ramah lagi,” ucap Brenda yang melirik Garren dan aku mengangguk setuju. “Trus sejak itu elo digosipin terus pacaran sama Kak Tion dan gilanya elo santai bener malahan sedang main layangan di lapangan saat Kak Tion datang menemui elo.”
Aku meringis dan mendapati Garren menyeringai menang. Brenda masih menyerocos. “Dan yang paling gila itu waktu Kak Tion mau ngajak lo dansa pas acara perpisahan dan elo dengan pedenya nolak dia. Sinting banget deh.” Aku mengangguk melangsa saat itu.
“Ya gimana lagii, gue kan emang ga ada rasa apa-apa sama Kak Tion. Behh, Cuma ngasih kue doang orang pada ribut se kampung. Padahal kan gue ngasihnya emang bener-bener tulus ngucapin terima kasih ditambah ia bentar lagi neghadapin ujian nasional.”
Brenda dengan wajah masam masih saja tidak menerima alasanku. Serius deh, memangnya kenapa kalau tidak suka sama Kak Tion? Banyak kok lelaki ganteng di dunia ini contohnya aja di depanku.
“Salahin elo yang terlambat puber. Masa udah 17 tahun masih ngikut main kelereng di lapangan deket kompleks rumah gue..”
Aku mengangguk kencang. “Kalau dipikir-pikir tentang puber. Andai puber gue cepet datangnya pasti Kak Tion udah jadi first crush gue.”
“Berarti elo udah punya first crush dong? Kan lo udah puber,” ucap Brenda kelewat jelas yang membuatku malu. Lagi pula siapa yang tidak malu udah dideketin cowok ganteng tapi karena belum puber dan baru puber di umur 17 tahun. Miris.
“Entahlah, ga yakin gue. Lagipula siapa yang suka ama gue coba..”
“Karma buat lo karena nolak cogan kayak Kak Tion. Harusnya walau belum puber waktu itu elo sadar. Elo yang gak cantik dan kekanakan itu mau disukai sama orang kayak Kak Tion yang bagaikan langit dan bumi sama elo.”
Aku memelototi Brenda dan juga Garren ketika lelaki itu juga ikut tersenyum mengejek.
“Gue udah siap. Lo berdua jangan lupa cuci piring,” ucap Garren seperti perintah.
“Iya Bik,” kataku dengan seringai.
“Ngomong-ngomong soal kue. Lo gak pernah deh ngasih gue ataupun Garren kue spesial kayak gitu, pilih kasih banget lo sama kami.”
Brenda mencerocos lagi. Dasar gadis tengik, aku yang mendengarnya capek. Lagi-lagi aku menghela nafas sembari meminum air. Saat minum, diam-diam mataku melirik punggung Garren yang sedang mencuci piring.
Aku meletakkan gelas lalu menatap Brenda dalam. “Alasan gue ngasih Kak Tion kue dibanding hal lain karena itu gue anggap sebagai hadiah perpisahan. Sedangkan elo berdua...” aku terdiam saat kenangan kembali memasuki kepalaku kemudian menatap punggung Garren penuh arti. “Kita bertiga masih bersama-sama dan selama itu juga gue gak akan ngasih kue itu ke kalian. Gak sebelum gue ngasih kue itu cuman untuk satu alasan..”
Aku melihat Garren berhenti sebentar dari mencuci piringnya namun hanya seperkian detik hingga kembali melanjutkan aktifitasnya. Aku kurang yakin tetapi karena mungkin dia sedikit tersentuh.
Aku berdiri sembari mengangkat piringku hingga kursi berdecit.
“Kalau gue sama elo berdua akan berpisah,” lanjutku dengan santai.
Setelah mengatakan itu keadaan menjadi hening. Akupun bersyukur mereka tidak banyak tanya karena sungguh karena perkataan itu aku jadi teringat sebuah memori.
Memori yang sangat menyakitkan.
Aku meringis ketika satu per satu kenangan buruk itu masuk tanpa permisi ke otakku. “Lagi pula impossible banget kalo Kak Tion itu suka ke gue. Dulu gue kan gendut walaupun gak over sih. Gue yakin Kak Tion baik banget ke gue karena kasihan atau gak tega liat gue dibully terus walaupun setelah itu gue tambah dibully sih.”
Aku yakin kalau Garren sekarang benar-benar berhenti melakukan kegiatannya dan Brenda yang tersedak minumannya. Atmosfer disini benar-benar terasa canggung dan mau tak mau aku merutuki mulutku yang seenaknya menyerocos tanpa henti.
Aku berjalan menuju Garren dan mengambil alih spon dan melanjutkan pekerjaannya yang hampir selesai. Aku melirik Garren yang menatapku kasihan. “Ya elah ga usah lebay deh. Itukan masa lalu lagipula sumpah ini suasana awkward banget.”
“Thel, lo ga apa-apa, kan? Sorry banget buat yang tadi,” ucap Brenda lesu. Ya ampun keluar deh ngedramanya.
“Ya ampun. Seriously gue fine banget. Emangnya lo pernah liat gue nangis karena dibully? Ga kan,” kataku sembari memutar bola mataku.
“Lo pernah nangis...”
Aku terdiam lalu mengumpat dalam hati. Kenapa cowok ini semakin memperkeruh suasana? “Masak sih.”
“Pas cewek-cewek itu menabrak elo dengan sengaja di lorong hingga membuat coklat panas di tangan lo tumpah ke baju lo.”
Oh. Yang itu.
Aku sudah selesai mencuci piring lalu berbalik menatap Garren yang sepertinya menuntut penjelasan dariku dan Brenda juga ikut-ikutan menatapku dari meja makan.
“Duh itu sih gue nangis karena coklat. Kan coklat itu Kak Re beli sewaktu pulang dari Belgia mana itu stok terakhir lagi..”
Aku melihat Brenda membuang nafas lega, syukur deh suasananya kembali normal tapi tinggal yang satu ini.
“Trus yang waktu it- Auw!”
Aku menjambak rambut Garren dengan tangan yang masih basah. Masa bodoh.
“Lo itu cerewet banget kayak nenek sihir. Jangan nambah suasana makin awkward ya sableng.”
Setelah itu aku berlalu meninggalkan mereka berdua menuju ruang televisi. Makin gawat kalau Garren tiba-tiba berbicara hal-hal aneh lagi yang dapat aku pastikan membuatku bungkam seribu bahasa.
Anak itu walaupun menyebalkan dan cerewet, dia dapat menjadi tukang pembuat orang bungkam dengan kalimat sarkasnya kalau ia lagi sedang penasaran banget sama sesuatu. Kayak tadi.
Masa lalu ya masa lalu. Untuk apa diungkit lagi? Apalagi yang menyakitkan kayak gitu. Tidak ada gunanya.
Waktu menunjukkan pukul 12 malam. Aku masih asyik menonton kartun di chanel televisi tanpa menyadari bahwa suasana sudah sepi dari tadi. Brenda sudah berlalu menuju kamarnya untuk tidur cantik setelah menemaniku menonton serial televisi tentang drama kesukaannya yang membuatku kesel setengah mati. Kan sayang kartunnya.
Tiba-tiba sofa yang kududuki memberat dan untung saja aku belum melempari toples berisi kue vanila di genggamanku untuk aku lempar. Sedangkan Garren seenaknya mengambil remot dan mengganti siaran menjadi tontonan bola.
“Lo kalo nonton bola nonton di kamar gue sono. Gangguin ritual khusus gue aja.”
Garren mencebik namun pandangannya tetap terpaku pada teve. “Lo sinting. Ngapain gue yang harus ke kamar elo. Kamar elo bau ga sudi gue injak kaki di sana.”
Seharusnya aku benar-benar melempar toples ini tadi. Puber sialan. Garren ganteng banget kalau sedang serius begini jadi tidak tega melihat ada benjolan di kepalanya.
“Lo berhenti deh ngemil tengah malam gini.”
Aku hanya bisa berhah ria menatap Garren. Tumben dia perhatian? Jangan-jangan udah mulai suka sama aku?
“Jangan mikir yang enggak-enggak. Gue gak mau temenan sama cewek jelek dan obesitas. Cukup cewek jelek aja.”
Aku mendengus dan berusaha tidak tertohok ucapan sarkastisnya. “Poop deh. Dulu gue pernah kayak gitu dan lo tetep temenan sama gue tuh sampai sekarang. Ga peduli gue harus dicemooh punya wajah jelek dan gendut sama orang-orang. Cukup dulu gue berusaha diet yang ngebuat gue tersiksa. Gue ga mau nyakitin diri sendiri cuma buat orang ga mandang gue rendah. Muna banget.”
Garren terdiam dengan fokus menonton bola. Nih anak.
“Lagi pula sama aja tuh. Mau kayak dulu atau sekarang gue tetep aja dibilang cewek jelek.”
“Kan ga ada obesitasnya bego.”
“Trus apa? Operasi plastik? Sorry ya, ini kenangan ortu gue. Ga peduli gue walaupun ga akan ada yang suka sama gue selamanya. Ga ada yang namanya pangeran berkuda putih di dunia nyata.”
Garren menatapku sambil menaikkan satu alisnya. “Siapa yang nyuruh elo oplas? Ga ada tuh. Sensi banget.”
“Arggghhhttt.”
Aku speechless. Sontak aku berdiri dan meninggalkan Garren sendirian di ruang tamu. Aku membuka kamarku sedikit keras namun menit selanjutnya meringis sambil mewanti-wanti teriakan Brenda yang untungnya sudah masuk ke alam mimpi. Fiuhh.
Aku menghempaskan tubuh ke kasur. Sambil menatap langit-langit kamar yang dibuat seperti malam berbintang, aku merenung percakapan antara aku dengan Garren.
Apa iya aku akan terus bertahan dibilang cewek jelek?
Dulu aku dengan santai membiarkannya karena yah apalagi alasannya kalau bukan karena belum puber? Walaupun sampai sekarang masih cuek.
Apalagi dengan Garren. Itu sudah masuk ke makanan empat sehat enam sempurna milikku sehingga aku menganggapnya bercanda. Dan aku meyakini kalau Garren pasti tidak serius saat mengatakannya.
Atau serius?
Kalau iya suatu hari persepsi ini kenyataan aku tidak akan bisa membayangkannya.
Apa iya aku tahan jika tidak ada satupun lelaki yang menyukaiku karena aku jelek? Bukannya apa-apa bahkan cowok jelek saja tidak mau pilih cewek jelek.
Di dunia ini memang tidak ada pangeran berkuda putih seperti imajinasiku di dunia wonderland.
Tapi mirisnya aku mengharapkan Garren menjadi pangeran berkuda putihku suatu hari.
Entah kapan harinya aku merasa tidak yakin 100%.
Kupret banget.
ns 15.158.61.20da2