Dumb #16
Aku terkapar tidak berdaya di karpet kamar Brenda setelah kelakuan bullshit Garren yang membuatku hampur stroke. Aku kasih tahu ya, setelah acara Garren-condongkan-badan-maskulinnya ke aku, ia seenak jidatnya pergi meninggalkan kamar tanpa berbicara sepatah katapun lalu diikuti oleh Brenda setelah itu. Aku? Dengan mulut terbuka berdiri menatap kepergian mereka berdua lalu setelah itu aku tak sadar bahwa aku sudah bersimpuh tidak berdaya di lantai.
Sekarang langit-langit kamar Brenda menjadi menarik sekali untuk dilihat. Aku tidak tahu alasan Garren bersikap abnormal kepadaku tetapi satu-satunya penyebab ia seperti itu yang terpikirkan olehku adalah ia ingin balas dendam atas sakit hatinya karena aku menyentuhnya tadi di sekolah.
Mengingat alasan itu membuatku terduduk dan mengerutkan keningku tak suka. “Hey gue kan udah minta maaf. Dasar pendendam.”
“Siapa pendendam?”
“Hikk..” tanggapku dengan tiba-tiba sesak. “Le-leo?”
Aku sekali lagi terperanjat kaku ketika mendengar suara yang tiba-tiba muncul. Untung saja itu Leo, jika Garren yang muncul akan aku pastikan aku akan menggali kuburanku sendiri.
Leo menatap aku aneh. “Sejak kapan kamu mengidap penyakit asma?”
Dasar bocah labil korban sinetron, kelakuan kurang ajarnya sama sekali tidak berubah. Asem.
“Hahahahahahha... Gak kokk Leo, ga apa-apa kok.. Eumm betewe ngapain kesini?” tanyaku dengan tawa yang garing sekali.
Leo mengindikkan dagunya ke luar. “Di suruh Kak Brenda turun.”
Asoy, giliran sama Brenda dan Garren dia memanggil mereka kakak.
“Iya-iya, kita barengan-
Leo telah menghilang.
“-aja...”
Lama-lama aku tenggelamkan juga tuh anak.
Sabar-sabar, anggap aja ujian untuk menjadi kakak iparnya nanti.
“Thel sini duduk, kita makan camilan dulu...” ajak Brenda sembari meletakkan beberapa camilan ke piring.
Aku menggaruk kepalaku karena bingung lalu melirik Garren yang asik tanding pees bersama Leo. Raut wajahnya yang serius seakan mempertegas rahangnya yang kokoh. Walaupun dari samping, lelaki itu tampak sempurna.
Deg.
Tunggu dulu? Bukankah tadi Garren melirikku juga sebentar ini?
“Auwwww... Ah sakit..” ucapku karena jariku terantuk kaki meja. Pasti karena aku linglung memikirkan kejadian seperkian detik tadi dalam otakku.
Brenda menggelengkan kepalanya melihatku sedangkan aku cengar-cengir meresponnya dan kembali melirik Garren yang untungnya lelaki itu tidak tertarik akan kejadian tadi.
**
Apa aku harus mengatakannya kepada Brenda? Kalau aku suka sama Garren? Bukankah Brenda suka sekali merecoki kehidupan asmaraku? Bisa jadikan dia menjadi konsultan cintaku nanti bahkan membantuku mendapatkan Garren?
Tapi...
Bagaimana kalau gadis itu malahan merespon sebaliknya? Brenda marah sama aku karena menyukai adiknya padahal aku tau kalau Garren paling anti dengan begituan. Lebih parahnya Brenda menjauhiku karena bisa saja dia beranggapan kalau aku berteman dengannya karena aku berniat jelek. Tapi aku tidak seperti itu.
“Hahhhhh.....”
Aku mendesah lelah saat pemikiran itu memenuhi benakku seperti permen kapas. Akhir-akhir ini aku menjadi melankolis. Sepertinya aku sudah terlalu menanggapi perasaanku ini sehingga membebaniku padahal mau dipikir bagaimanapun, Garren tidak akan peka. Sekalipun peka memangnya apa yang akan ia lakukan?
Bukannya membalas perasaanku malahan mungkin ia akan menguburku hidup-hidup.
“Enggak-enggak. Sudah gak usah dipikirin,” kataku sembari menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya pelan-pelan.
Aku menatap langit yang biru dengan tatapan menerawang. Sesekali awan bergerak pelan sekali. Aku bahkan bisa melihat wajah kakekku di awan itu. Aku duduk dengan menjulurkan kakiku dan menahan beban tubuhku dengan kedua tangannku dengan kepala yang menengadah ke atas.
Ujian semester ganjil sudah lewat beberapa hari yang lalu. Sekarang sekolahku mengadakan kegiatan semacam class meet seperti hari ini dimana kegiatannya berpusat sekitaran olah raga. Karena aku tidak berbakat (juga tidak berniat) dalam hal seperti itu maka aku memilih kabur ke lapangan basket outdoor yang tidak dipakai karena panitia lebih memilih memakai lapangan basket indoor.
“Ahhhh menyebalkan!!!!!” ucapku frustasi sembari mengacak-ngacak rambutku. “Kenapa kelulusan lama sekali?! Kalau begini sampai kapan gue bisa menahan diri??!!!!”
Aku memegang kepalaku yang sakit. Aku terlalu memaksakan diri untuk belajar sebagai persiapan ujian semester kemarin sehingga badanku kurang fit. Aku tidak terlalu banyak istirahat sebab sebagai mantan ketua OSIS, OSIS sekarang banyak meminta bantuanku untuk konsultasi berbagai hal. Sampai sekarang ini, aku sampai mengalami insomnia yang membuatku stress.
Aku menekuk lututku dan menggunakan sebelah tanganku sebagai penyangga tubuh dan satunya lagi untuk memegang kepalaku yang berdenyut-denyut sakit. Seharusnya aku tidak usah memaksakan diri untuk datang ke sekolah tetapi aku juga tidak betah di apartemen sendirian. Aku bahkan tidak sarapan karena nafsu makanku hilang sejak beberapa hari yang lalu.
Apa aku harus ke UKS saja? Bukankah dengan alasan seperti ini aku bisa istirahat sekalian tidak mengikuti kegiatan yang menguras tenaga ini? Sepertinya ini ide bagus. Namun sebelum itu, aku harus menemui ketua kelasku dulu untuk meminta ijin.
Aku berjalan sedikit sempoyongan. Setelah beberapa menit berjalan dalam kepayahan, aku berhasil masuk ke dalam lapangan basket indoor. Saat memasukinya, aku langsung migrain karena banyaknya orang berkumpul disini belum lagi suara-suara yang sangat berisik membuatku tambah pusing saja.
Disana, aku melihat Garren berdiri di antara anak kelasku yang lain. Yap, dialah ketua kelasku. Dia salah satu alasan aku memilih menemuinya daripada menguhubunginya untuk meminta ijin.
“Garr....”
Aku belum menyelesaikan ucapanku saat siswa-siswa yang tak kukenali menabrakku. Bagi mereka tabrakan itu tidak seberapa tetapi bagiku itu mampu membuatku semakin kepayahan. Mataku berkunang-kunang, sepertinya aku menderita dehidrasi ditambah lagi aku kurang beristirahat semakin membuat tubuhku melemah.
“Ck!” decakku tak suka pada diriku sendiri.
ns 15.158.61.5da2