Sudah berhari-hari lamanya sejak kepergian Marsha. Rakka uring-uringan. Ia seperti menyerah pada hidupnya. Setiap hari, ia hanya bersama kelinci berbulu putih itu dan mengobrol dengannya. Ketika Wisnu mengambil kelinci itu. Rakka menjadi sangat marah. Wisnu takut dia akan menjadi gila nanti.
"Iya Tante, ini aku masih sama Rakka di villa, aku akan membujuk Rakka untuk pulang, Tante jangan khawatir, aku akan menjaganya," ucap Wisnu seraya mengakhiri panggilan telepon.
"Rakka! apa ini yang kamu inginkan, jika Marsha melihat keadaanmu yang seperti ini, diapun akan tetap meninggalkanmu," bentak Wisnu.
Rakka diam dan tak menjawab.
Wisnu mendatangi pria itu.
"Apa gunanya Marsha mengorbankan dirinya untukmu, jika kamu menyia-nyiakan hidupmu seperti ini!" bentak Wisnu yang tak kuat melihat temannya uring-uringan setiap hari.
"Tutup mulutmu Wisnu!" Rakka marah dan mencekram kerah baju Wisnu.
"Sadarlah Rakka! Marsha itu sudah tiada, dan kamu masih punya kehidupan lainnya, dan juga orang-orang yang menyayangimu, ingat itu!" Wisnu mendorongnya ke ranjang.
Rakka termenung dan menangis. Ia menjerit dan melempar semua barang yang ada di dekatnya.
Esoknya Rakka memutuskan untuk kembali ke kota. Ia ingat kata-kata Wisnu. Ia tak boleh menyia-nyiakan hidupnya. Marsha sudah rela berkorban untuknya.
"Kenapa kamu harus membawa kelinci itu, kembalikan saja ia ke Raja Hutan," pinta Wisnu.
"Bagiku dia tetaplah Marsha, sampai kapanpun aku akan tetap menjaganya," bantah Rakka.
"Haestt, ya sudahlah, terserah kamu aja."
***
Hari itu mereka pulang ke kota, kedua orangtua Rakka dan Clara dengan senang menyambut mereka. Wisnu tidak bercerita tentang semua hal yang sudah dialami Rakka. Dia hanya bercerita bahwa Rakka baru saja patah hati. Dan kelinci itu pemberian dari mantan pacarnya.
"Kenapa Kakakku yang tampan terlihat sangat mengerikan, ouchhh, apa Kakak belum mandi beberapa hari ini!" celetuk Clara.
"Clara jangan godain Kakakmu," Ibu melerainya.
"Itu kelinci, namanya siapa? kok mirip kayak Marsha?" tanya Clara lagi.
"Ini emang Marsha." Rakka berlalu meninggalkan mereka.
"Loh! berarti itu kelinci punyaku dong!" bentak Clara tak terima.
Rakka berbalik dan menatapnya.
"Jangan pernah kamu sentuh Marsha, Kakak peringatin kamu!" bentak Rakka dan membuat adiknya itu sedikit takut.
"Maaamaaaa!! Kakak kenapa sih, kok marah-marah gitu," isak Clara.
Rakka pergi masuk ke kamar.
"Sayang, dengerin Mama, Kak Rakka sekarang lagi sakit, jadi dia bakal sering marah-marah, dan juga Clara inget ya, jangan deketin itu kelinci, nanti Kak Rakka bisa tambah marah. Kalau Clara mau kelinci nanti Mama sama Papa beliin yang banyak buat Clara, ya kan Pa?"
"Iya Clara dengerin perkataan Mamamu ya, untuk sementara jangan ganggu Kakakmu dulu," timpal ayah.
"Iya Ma, Pa." Clara mengangguk.
Rakka merebahkan dirinya di kasur, lalu membelai tubuh kelinci itu.
"Sha, kita udah sampai, ini rumahku Sha, bukannya dari dulu kamu pengen banget ke sini, aku udah ngabulin permintaan kamu Sha."
Kelinci itu tak bergeming. Rakka duduk menatap hewan berbulu itu. Ia meneteskan air mata. Dadanya begitu sesak, ia masih tak bisa menerima kepergian Marsha.
Rakka menjaga dan merawat kelinci itu dengan sangat baik. Ia membawanya kemanapun. Kadang ia membawanya ke club saat minum-minum bersama temannya. Ia juga membawa kelinci itu nonton bioskop dan membawanya berbelanja. Seperti ia sudah biasa berbicara sendiri dengannya.
***
Satu tahun kemudian.
Rakka dan kelincinya duduk di sebuah taman.
"Lihat lah Sha, udara hari ini indah bukan, makanya aku mau ngajak kamu kencan hari ini, apa kamu menyukainya?" ucap Rakka sambil menggelitiki tubuh kelinci berbulu putih itu.
"Ma, Ma, lihat paman itu, apa dia gila Ma? masak kelinci diajak ngomong Ma," celetuk seorang anak kecil.
"Haest Anakku, diam ya, jangan bikin orang lain marah, ayo kita pergi aja."
Ibu dan anak kecil itu pergi berlalu meninggalkan Rakka.
Rakka mendengar ucapan mereka, dalam hatinya merasa sedih. Ia bisa tersenyum di bibir tapi ia menangis di dalam hatinya. Ia berusaha mati-matian untuk menyembunyikan kesedihan. Maka dari itu ia memutuskan untuk tinggal di klinik dan hanya seminggu sekali pulang ke rumah. Ia ingin menghabiskan waktunya bersama Marsha.
***
Di klinik. Setelah selesai bekerja. Ia menutup klinik, dan meregangkan otot-ototnya. Ia melihat si kelinci yang duduk di sofa.
"Apa kamu puas menonton TV Sha?"
Kelinci itu tak bergeming.
"Kalau sudah puas, aku matikan ya, saatnya kita tidur, besok kan aku libur, aku akan ajak kamu jalan-jalan ke tempat yang indah, kamu pasti suka." Rakka mematikan TV dan mengangkat kelinci itu. Ia membawanya masuk ke kamar.
Ia naik ke ranjang dan menyelimuti kelinci itu. Begitulah setiap harinya. Hari-hari yang dijalani Rakka penuh kekosongan. Ia masih hidup tapi jiwanya entah seperti melayang ke mana. Ia masih menginginkan Marsha kembali. Ia tak bisa menerima wanita lain masuk ke dalam hatinya.
Rasa cinta Rakka pada Marsha masih tersimpan rapi. Dan ia tak bisa membuka hatinya pada siapapun.
383Please respect copyright.PENANAOmJDo2L9dc