Dumb #17
Mengapa disini banyak sekali orang? Mengapa mereka tidak duduk di atribun? Kenapa harus berkeliaran seperti ini? Aku mempercepat langkahku ke tempat Garren walaupun aku merasa hampir pingsan. Langkahku tidak stabil tetapi aku berusaha memaksakan diri hingga akhirnya beberapa langkah lagi sampai ke tempat Garren.
“Garrenn!!!” panggilku dengan suara sedikit keras.
Garren menoleh dan menatapku dengan wajah bingung karena aku tersenyum sumringah. Tentu saja, aku senang karena aku tidak perlu dua kali untuk memanggilnya karena sungguh memanggil satu kali saja sudah membuat kerongkonganku sakit.
Setelah itu kesenanganku langsung berakhir sebab aku merasa di senggol lagi dari belakang saat sedang berjalan. Akibatnya aku linglung sehingga aku kehilangan keseimbangan. Aku sekuat hati mempertahankan tubuhku tetapi pada akhirnya aku terjatuh.
Aku terjatuh dengan kedua lutut yang menyentuh lantai. Rasanya sakit sekali sampai-sampai kepalaku juga ikut sakit. Tuhan, kenapa disaat-saat seperti ini aku selemah ini. Aku tidak sanggup berdiri. Lututku sangat nyeri belum lagi kepalaku yang terus berdenging. Rasanya kepalaku mau meledak.
Sampai aku tidak sadar kalau aku mengeluarkan air mata.
“Heii... Lo baik-baik aja kan?”
Sayup-sayup aku mendengar suara seseorang tetapi aku tidak sanggup untuk mengangkat kepalaku bahkan berpikirpun tidak. Aku terlalu fokus terhadap rasa sakit di kedua bagian tubuhku.
Orang di depanku sepertinya cemas karena ia sekarang memegang tanganku yang tidak beranjak dari kepalaku. Sedangkan aku masih menundukkan kepalaku untuk menyembunyikan fakta bahwa aku menangis.
“Ethellia... lo nangis?”
Suara itu... sekarang aku bisa sedikit fokus hanya untuk mengenali suara itu. Lelaki itu menjauhkan tanganku dari kepalaku kemudian mengangkat kepalaku. Akhirnya setelah beberapa lama aku dapat melihat lelaki itu.
Air mataku semakin bercucuran. Lelaki itu keblablakan sembari menatap sekeliling yang sepertinya orang-orang di sekitar menonton kami berdua. Ia mengacak rambutnya frustasi.
Ia melirikku kembali. “Lo lebih baik berdiri sekarang. Orang-orang pada liatin lo.”
Aku menggelengkan kepalaku pelan, langsung saja kepalaku berdenyut sakit. Aku meringis di saat bersamaan air mataku terus berjatuhan walaupun aku tidak mengeluarkan suara.
“Gue.... lutut gue sakit... kepala gue sakit... gue... gue ga bisa berdiri..” kataku dengan suara yang serak sembari berusaha menahan agar isakanku tidak keluar akibatnya aku menggigit bibirku kuat.
Aku mencengkeram lengannya. “Gue.... sebenarnyaa mma-mau ijinn... ke... UKS..” kataku dengan suara yang sangat pelan.
Lelaki di depanku mendesah kemudian tanpa aba-aba ia menggendongku. Aku tidak sempat merespon sebab perlahan-lahan kesadaranku terkikis walau aku berusaha mengedip-ngedipkan mataku.
Tetapi pada akhirnya mataku menutup perlahan-lahan di sela-sela aku masih berada di gendongannya.
**
Aku bermimpi.
Mimpi yang mampu membuatku terperangah saking tidak memercayainya. Mimpi itu kabur tapi satu hal yang dapat aku pastikan bahwa aku dapat melihat dengan jelas lelaki dalam mimpiku itu.
Hingga membuatku terbangun.
Aku membuka mataku lebar-lebar yang langsung saja membuatku mengumpat karena kepalaku langsung pusing dan mataku berkunang-kunang. Aku mendudukkan diriku dengan perlahan-lahan lalu langsung mengernyit ketika kerongkonganku terasa sangat kering. Serius deh, tanganku bergetar karena berusaha menggapai gelas yang terletak di samping tempat tidurku.
Sembari aku minum, kesadaranku sepenuhnya terjaga hingga membuatku mampu mengenali tempat dimana aku sekarang.
“Hehh??!”
Aku meletakkan gelasku dengan tergesa-gesa karena aku melihat ruangan serba putih dan beberapa obat-obatan di lemari. Tadi rasanya aku di sekolah, di lapangan basket outdoor lalu...
Oh astaga. Jadi itu bukan MIMPI?
“Untuk orang yang baru bangun dari pingsan, suara lo oke juga.”
Aku menolehkan kepalaku ke samping sangat cepat lalu membuka mulutku lebar-lebar tidak percaya akan apa yang aku lihat sekarang ini.
“Apanya yang bukan mimpi? Teriakan lo itu mengganggu ritual gue, tau gak?!” sambungnya kemudian.
“Andrava?????” kataku penuh tanda tanya.
Andrava menaikkan salah satu alisnya melihatku. Ia lalu mengusap tengkuknya sepertinya ia kelihatan bingung. Ia membuka lalu menutup mulutnya berulang kali ingin mengatakan sesuatu tetapi tidak jadi.
Aku termangu. Otakku memroses segala informasi yang baru aku dapatkan setelah bangun tidur dan mengacuhkan Andrava.
“Andravaaa... Jangan bilang kalau gue pingsan saat di lapangan basket indoor?” tanyaku dengan suara yang pelan serta ragu-ragu.
“Mmmm....” gumam Andrava sembari menatapku penasaran. “Gue denger sih begitu.”
Aku menatapnya kebingungan. Lelaki itu jelas saja juga baru bangun dari tidur karena rambutnya acak-acakan.
“Apa maksud lo?”
Andrava mengangkat bahunya tak acuh. “Ya gitu deh. Pas gue tidur di sini, tiba-tiba pintu UKS dibuka dengan paksa membuat gue terbangun. Lalu setelah itu gue menyaksikan elo terkapar tidak berdaya di kasur atau istilah kerennya lo pingsan.”
Aku berkeringat dingin. Berarti yang tadi itu benar-benar bukan mimpi melainkan ingatanku sebelum aku pingsan. Aku menatap kedua tanganku yang terkulai lemas di atas pahaku yang tertutupi selimut putih. Rasanya rohku sudah melayang entah kemana.
Gue bener-bener idiot.
“Tetapi tumben ya.. Tadi itu lo bener-bener seperti orang sekarat. Brenda seperti orang kesurupan mencari-cari penjaga UKS,” sambung Andrava dengan menatapku penuh minat.
Aku tidak menjawab perkataannya itu melainkan masih menatap kedua tanganku. Lalu aku mengangkat tangan kananku untuk meraba pipiku dan benar saja, aku merasakan bekas air mata yang mengering di pipiku.
Celaka.
Tadi itu benar-benar bukan mimpi Saudara-Saudara.
ns 15.158.61.5da2