Dumb #18
Aku ingin mengubur diriku hidup-hidup.
Aku malu sekali membuatku tidak ingin terbangun lagi dari tidurku. Setelah acara bincang-bincang sebentar dengan Andrava, aku langsung merebahkan tubuhku dan menutupnya dengan selimut sampai ke kepala. Aku bahkan mengindahkan panggilan Andrava yang mungkin menatapku aneh karena bersikap tidak biasa. Aku berusaha untuk tidur atau setidaknya berpura-pura tidur hingga Andrava menyerah dan sepertinya telah meninggalkanku di UKS sendirian. Syukurlah.
Bagaimana respon orang-orang saat melihatku seperti itu saat di lapangan tadi? Apa mereka sudah bergosip? Oh ya ampun, mau dimana aku letakkan mukaku kalau begini. Rasanya aku ingin punya kekuatan teleportasi lalu menghilang selama beberapa hari. Tapi itu mustahil karena aku tidak bisa berteleportasi.
Aku ingin menangis lagi. Bukan karena sakit tetapi karena malu.
Aku mendengar pintu terbuka yang membuatku bersigap untuk pura-pura tidur walaupun aku yakin siapapun itu tidak bisa melihatku karena ditutupi selimut. Tetapi aku rasa ini semakin aneh. Mana ada orang pingsan ditutupi selimut sampai ke kepala?
Oleh karena itu aku perlahan-lahan membuka selimutku.
“AAAAAAAAAAHHHHHHH!!!! JANTUNG GUE!”
Aku berteriak sangat nyaring lalu membuat kerongkonganku kering kembali menyebabkan aku batuk-batuk hebat. Aku terkejut ketika melihat seseorang sudah berdiri di samping tempat tidurku saat aku membuka selimut.
Orang itu berdecak dan memberikan segelas air kepadaku yang langsung aku sambut dan meneguk airnya sampai habis. Setelahnya aku mendesah lega.
“Lo sebelum dan sesudah pingsan tetap aja membuat orang susah,” kata lelaki itu ketika sudah duduk bersilang kaki di sampingku.
Aku mengalihkan tatapanku darinya. “Ya sorry. Siapa juga yang mau kayak gini...”
Dia sekali lagi berdecak kesal dan mengeluarkan ponselnya dari saku baju. Ia mengetik-ngetik sesuatu yang tidak aku ketahui lalu menempelkannya ke telinganya. Oh menelpon.
“Dia sudah sadar..” katanya datar sembari melirikku lalu menutup ponselnya. Hanya satu kalimat itu?
Setelah itu kami berdua terdiam dengan dia yang terus melirikku dengan ekor matanya sedangkan aku menundukkan kepalaku. Aku tidak berniat membuka pembicaraan sehingga suasana sangat canggung begini.
“ETHELLLIIAAAA~~~”
Ini syok kedua yang aku rasakan menyebabkan aku memegang dadaku refleks. Brenda yang berlinang air mata berlari menghampiriku dan menubrukkan tubuhnya kepadaku. Gadis itu terisak-isak dan aku mengelus punggungnya.
“I’m well...”
“Baik apaan. Dasar idiot! Makanya jangan paksakan diri lo!” kata Brenda marah sembari mengacak pinggangnya.
Aku menolehkan kepalaku ke samping dengan wajah meringis karena ia juga mengataiku idiot sama dengan diriku sendiri.
Aku menatap Brenda kembali dengan senyum yang dipaksakan. “Gue juga ga mau peristiwa kayak tadi terjadi tapi yahh....”
Aku tidak sanggup mengatakannya karena itu sungguh memalukan.
“Gue.... lutut gue sakit... kepala gue sakit... gue... gue ga bisa berdiri..”
Bulu kudukku merinding ketika salah satu adegan melewati ingatanku. Sumpah, itu menggelikan banget.
“Untung aja lo berada di dekat Garren kalo gak....” imbuh Brenda sembari menatapku tajam.
Benar, lelaki yang menolongku adalah Garren. Lelaki yang tidak pernah aku sangka akan berani menggendongku ala bridal style seperti itu.
Jantungku berdetak tidak karuan. Aku kembali memegang dadaku tidak sadar lalu melirik Garren. Lelaki itu sedang mengambil satu kursi lagi setelah Brenda menduduki kursi yang ditempati Garren sebelumnya. Maka saat ia berbalik, mata kami saling bertubrukan. Aku yang pertama melepas kontak mataku dengannya lalu beralih menatap Brenda yang sedang membuka tutup kotak makanan.
Aku memanas.
“Nihhh... Buka mulut lo...” kata Brenda ketika tiba-tiba saja sendok yang berisikan bubur sudah berada di depan wajahku.
Aku mengerut tidak suka. “Yuck.. No bubur.”
Brenda menatapku tajam yang membuatku menciut. Ia terus saja menodongkan sendok ke depan mulutku tetapi aku menutup mulutku rapat-rapat.
“Brenda.... gue udah baikann.. please jangan bubur...” kataku dengan wajah memelas.
Muka Brenda semakin menakutkan dengan sendok yang masih di depan mulutku. “Makan atau lo mau Garren yang menyuapi lo??” ucap Brenda menantang.
Blush.
Wajahku memanas dan langsung menggelengkan kepala kuat-kuat beserta tangan yang juga bergerak-gerak pertanda menolak.
“Kalau gitu. Makan,” paksa Brenda tersenyum kemenangan.
Aku mendesah lelah lalu mengambil sendok bubur mengisyaratkan kepada Brenda biar aku makan sendiri. Aku berusaha menahan mual saat bubur itu masuk ke kerongkonganku. Makanan ini bahkan tidak membuatku tambah sehat. Satu sendok saja sudah membuatku tidak sanggup untuk memakannya lagi.
Saat sendok kedua, aku menghentikannya di depan mulutku. Aku menatap Brenda dengan wajah mengiba ala puppy. Brenda memutar bola matanya kesal. Saat aku pikir aku tidak usah melanjutkan memakan bubur sialan ini. Tanganku bergerak sendiri dan langsung masuk ke dalam mulutku karena aku ternganga.
Garren menatapku dengan wajah kesalnya saat tangannya memegang tanganku untuk mendorong sendok masuk ke dalam mulutku.
“Lo mau gue yang suapin lo?”
Perkataan Garren membuatku kembali memanas. Aku menggeleng cepat dan kembali melanjutkan makanan dalam diam.
“Kalian berdua kejam...” kataku di sela-sela makanku.
Apalagi lo Garren.
ns 15.158.61.8da2