Dumb #19
Aku memegang perutku yang kepenuhan sembari berbaring tidak berdaya di atas kasur setelah hampir meregang nyawa saat memakan bubur kematian itu.
Ya, tadi itu masih tidak cukup dijadikan sebagai alasan buatku untuk merasa sekarat karena ada hal yang lebih buruk lagi dari itu.
Garren.
Setelah kejadian memalukan beberapa jam yang lalu, aku masih tidak percaya akan fakta bahwa aku seperti keong lemah yang mengaduh kesakitan tidak berdaya di hadapan Garren. Aku memang menyukainya, tentu saja. Bahkan ia merupakan first crush aku setelah belasan tahun lamanya. Namun tetap saja, sebelum perasaan sentimental itu muncul aku tetaplah gadis yang bernama Ethellia Zephyrin Denayara yang tidak akan bersikap lemah di hadapan siapapun tak terkecuali bagi Garren.
Tetapi karena kekerasan kepalakulah yang membuatku menunjukkan sisi lemah di hadapan orang banyak terutama kepada orang yang kusukai. Seandainya saja aku tidak bersikeras untuk menemuinya dulu sebelum ke UKS, pasti kejadiannya tidak begini. Aku merutuki diriku yang terlalu mengikuti perasaanku dimana logikaku jelas saja berdiktat bahwa ponsel itu diciptakan untuk mempermudah urusan.
“Hahhhhhhh......” aku mendesah kelewat keras.
Aku menatap langit-langit dengan gusar. Aku rasa aku sudah terlalu bertingkah akhir-akhir ini dan hanya tunggu waktu saja sampai Garren menyadari perasaanku yang sebenarnya dan mulai memandangku jijik.
Itu sungguh luar biasa.
***
Aku berjalan terseok-seok di sepanjang lorong di lantai dua. Aku memutuskan untuk kabur dari UKS sebelum Brenda ataupun Garren (yang berpamitan padaku untuk mengikuti kegiatan class meet) menyadari temannya ini telah berniat kabur.
“Duhh...” erangku seraya memegang perutku.
Semestinya aku memang tidak memakan bubur itu! Bubur sialan! Aku tidak bisa menjamin bahwa lantai-lantai ini masih tetap bersih sebelum aku keluar dari gedung sekolah ini. Tunggu sampai Pak Yoyo menggelegar murka ketika mengetahui bahwa lantai yang selalu kinclong ini dinodai oleh sesuatu yang tidak ingin aku sebutkan namanya.
“Sekarang gue harus berjalan terseok-seok seperti ini ke kelas karena harus mengambil tas,” gerutuku tak suka.
Akhirnya setelah perjalanan panjang yang aku syukuri sebab aku hanya mengeluarkan peluh tanpa merasa pusing walau nyeri di lututku kadang muncul saat aku berjalan. Aku mengintip sebentar ke dalam kelas, untungnya tidak ada siapapun karena aku tidak mau menjawab apapun pertanyaan mereka. Aku segera mengambil tasku dan melangkah menuju gerbang sekolah.
Aku berhasil kabur saat melihat tidak ada penjagaan sama sekali. Bagus deh.
Tinn... Tinnn....
“Ya Tuhan..” kataku dengan jantung yang bergebu-gebu yang bahkan aku rasakan dengan jelas di tanganku.
Aku sangat marah. Setelah kejadian yang aku alami, aku benar-benar ingin melampiaskan frustasiku kepada seseorang dan seseorang itu jelas-jelas menawarkan diri secara suka rela kepadaku. Aku melihat ke samping kanan dan mendapati wajah cengengesan yang muncul setelah kaca mobil perlahan turun. Jelas saja itu si tukang rusuh, Andrava.
Aku menatap wajahnya dengan frustasi. Aku pengin sekali meninju wajahnya yang ganteng itu menjadi tak berbentuk lagi.
“Woi, Putri Fiona!”
“Apalagi Curut! Ngapain lo ganggu gue sekarang, hah? Gue lagi gak mau diusik!” usirku kejam menatap wajahnya dengan wajah paling garang.
Lelaki itu hanya merengek takut yang jelas pura-pura. “Duh tambah mirip deh kayak Putri Fiona.”
Darahku naik ke ubun-ubun, aku ingin sekali menendang mobilnya tetapi aku menyadari jika aku melakukannya maka perjuanganku beristirahat tadi menjadi sia-sia.
“Ergghhtt... Lo kalau ga ada urusan sama gue.. Lebih baik lo jangan ganggu gue sekarang atau gue ga akan pernah mengacuhkan lo lagi,” ancamku dengan tatapan membunuh. Aku ingin sekali berlari tetapi perutku yang mendadak nyeri menggagalkan rencana itu.
Aku pergi dalam diam dengan langkah pelan-pelan dan aku tidak peduli apakah bocah itu masih di tempat tadi atau tidak karena aku membelakanginya.
“Auch.. Ishh.. Sakitt...” erangku tertahan.
Aku memegangi perutku sangat erat. Aku berusaha menekan perutku dengan kuat supaya nyeri itu menghilang. Bukannya menghilang sebaliknya nyeri itu semakin menjadi-jadi. Aku tidak bisa berpikir jernih, tentu saja sakit ini bukan karena sakit perut akibat salah makan. aku menatap dengan liar sedangkan bibirku tiada henti aku gigit kuat-kuat. Perut ini sakit sekali hingga membuatku membungkuk.
“Hahhh... Hahhh.. Kumohon.. Jangan.. Se.. karang.. Ughhh..”
Aku linglung. Aku berusaha memegangi pagar sekolah dengan erat. Aku tidak ingin pingsan disini! Aku tidak ingin pingsan dua kali dalam seharian ini! Aku tidak bisa membiarkan diriku tergolek menggenaskan di tempat yang bisa saja orang melihatku aneh!
“Hei,, Putri Fiona! Lo kenapa?” tanya Andrava tiba-tiba.
Lelaki itu tanpa kusadari memegang pundakku dengan kuat sementara dia memandangiku dengan cemas dan bingung mendapatiku mengerang. Aku juga balas mengcengkeram pundaknya dengan sangat erat. Aku yakin kuku-kuku jariku menembus bajunya. Tetapi aku tidak bisa berpikir jernih!
Andrava semakin cemas karena melihat wajahku yang mungkin saja sudah sepucat mayat. Ditambah lagi kondisiku yang tidak semakin membaik karena aku hampir saja meringkuk di jalan karena tidak tahan dengan sakit ini.
“Sakit! Argghtttt... Sakit! Hahhh.. Hahh...” erangku dengan suara terengah-engah.
“Ya ampun, lo ga bisa di sini terus! Ayok kembali ke UKS!” kata Andrava berusaha menarikku berdiri.
“GAK!” kataku tegas lalu menepis pegangannya. “Gue gak mau ke UKS! Erghhtt...”
“Lo keras kepala! Kalau lo gak mau gue tinggal lo disi- Ya ampun! Itu darah?!”
Aku terkejut mendengar pekikan lelaki itu yang menunjuk lantai bekas aku duduki tadi. Mataku membuat sempurna saat melihat darah itu. Akhirnya aku menyadari penyebab rasa nyeriku ini.
Andrava menatapku sangsi. “Jangan-jangan lo....”
Aku mengcengkeram kedua bahunya dengan wajah ganas. “Lo lebih baik berikan jaket gue, SEKARANG!”
“AP- oke-oke tunggu disini!”
Aku kembali memegang perutku yang sangat nyeri dengan tubuh membungkuk. Aku berusaha sadar dan lelaki itu dengan cepat menyodorkan jaket itu padaku. Aku tanpa lama-lama langsung mengikatkan jaket itu pada pinggangku sehingga menutupi pinggulku.
“Sekarang lo ke UKS,” ucap Andrava sembari memegang tanganku.
“Lebih baik lo antar gue pulang sebelumnya kita mampir ke supermarket dulu..” ucapku lemah sembari berjalan menuju mobilnya.
Andrava ingin sekali protes namun tetap bungkam.
Di dalam mobil, aku memegangi perutku sangat erat sembari menyampingkan tubuhku menghadap ke pintu. Aku ingin sekali berbaring tetapi kondisinya sangat tidak memungkinkan. Aku memejamkan mataku berharap nyerinya hilang tetapi tidak berarti apa-apa.
Sialan. Kenapa ini muncul di saat yang tidak tepat? Setelah mempermalukan diriku sendiri di depan Garren sekarang aku mempermalukan diri sendiri di depan bocah ababil ini. Apa salahku sehingga kesialanku datang bertubi-tubi? Oh Dewi Fortuna. Seandainya engkau memang ada, apa salahku sehingga kau tidak ingin melihatku hidup tenang?
Perlahan-lahan aku menutup mataku dan berharap ini semua mimpi yang kelewat nyata.
ns 15.158.61.54da2