Dumb #20
Aku terbangun di dalam kamarku sendiri. Aku membuka mataku lebar-lebar dan sontak terduduk. Aku meraba-raba tubuhku sendiri dalam kebengongan yang maha dahsyat sebab aku tidak bisa menerjemahkan keadaanku sekarang ini.
Ini mimpi. Ini mimpi. Ini mimpi.
INI BUKAN MIMPI!
Aku dapat melihat jelas pakaianku yang terakhir kali aku kenakan. Lengkap dengan jaket yang tersampir indah di pinggangku, jelas saja ini membuktikan bahwa aku.. bahwa Andrava.. kami.. dia melihatku dalam keadaan...
“Gak.. gakk.. gakk..” kataku dengan wajah optimis. “Gue akan buat dia tutup mulut. Pasti! Kalau dia sampai mengolok-olok gue akan gue buat dia menyesal telah mempermainkan gue.”
Aku berdiri dalam sempoyongan dan segera masuk ke kamar mandi.
**
Aku berjalan dengan wajah berseri-seri menuju dapur. Tetapi sebelum itu aku berhenti dengan tidak elitnya. Sebab aku hampir terjerembab ketika melihat seonggok tubuh yang tidak kukenali karena wajahnya ditutupi oleh lengannya sedang berbaring di atas sofa.
Aku mengernyitkan keningku lalu berjalan pelan menghampiri lelaki itu.
“Kak Re?” tanyaku pelan sembari terus melangkah menuju sofa.
Hiikkk...
Aku kembali mengerem mendadak saat menyadari bahwa lelaki yang tidur –atau mungkin pingsan- itu memakai seragam olahraga sekolahku. Tidak mungkinkan itu Kak Re yang ngebet tiba-tiba mau jadi anak SMA lagi? Jangan-jangan itu Andrava?
Aku membuka mulutku lebar-lebar karena tidak percaya kalau lelaki ini masih punya nyali berada disini. Baguslah, aku bisa menarik rambutnya sampai tidak bersisa lagi karena telah menganggu hari-hariku hingga mempermalukanku dengan tidak elite.
Aku bernafas kuat-kuat dengan dada yang naik-turun persis seperti banteng yang siap menyeruduk lawannya dengan beringas. Dalam kehitungan kedua aku mengambil bantal sofa dan memukulkan bantal itu ke tubuh Andrava.
“ANDRAVA! DASAR BOCAH GILA! SARAP! STRES! SINTING, BEGO, KUPRET, SETAN, IBLIS JAHANAM! BERANINYA LO MASIH DISINI, HAH? PERGI GAK! PERGIIIII!!!!” kataku dengan pukulan bertubi-tubi.
Andrava langsung mengerang dan bangun sembari terkejut. Ia berusaha menghalangi tubuhnya dari pukulanku tetapi itu semua sia-sia saja Andrava.
“ARGHHTTT! NENEK SIHIRR! BERHENTIIIIII!!!!”
“HAH?! LO BERANINYA BILANG GUE NENEK SIHIRR???????” amukku yang jelas saja sudah buta.
“ADUHHH LEPASIN GUE! GUE BUKAN ANDRAVA!”
“CUIH! BOHONG!”
Aku terus-terusan memukulnya tanpa henti hingga aku gelap mata. Tetapi tiba-tiba saja kedua pergelangan tanganku ditarik sampai bantal itu lepas dari peganganku. Lalu sebelum aku sempat mengelak, tubuhku sudah di dorong ke depan dan berhenti tepat 5 cm di depan wajahnya.
“Gue. Bukan. Andrava.”
Waktu seakan berhenti ketika aku menyadari bahwa lelaki di depanku ini bukanlah Andrava melainkan Garren yang menatap mataku dalam-dalam dengan suaranya yang menggeram di akhir saat mengatakan pernyataan itu padaku.
Garren menatapku sangat tajam lalu menekan kedua tanganku kuat-kuat. “Mau sampai kapan lo nyebut nama cowoklo di hadapan gue, hah?”
Aku menatap Garren takut –tidak- sangat takut malahan. Aku menarik-narik tanganku dari cengkeramannya tetapi aku terlalu lemah. “Oke gue salah, sorry. But, lo lebih baik lepasin tangan gue, Garr.”
“Lo bahkan gak merasa bersalah, ya?” katanya sarkas. “Lo kabur dari UKS lalu tiba-tiba bocah berengsek itu menelpon gue pake hape lo dan mengumpat-ngumpat tidak jelas ke gue,” kata Garren dengan tatapannya yang sangat menusuk.
Aku menggelengkan kepalaku pelan. “Mungkin dia punya alasan Garren..”
“Alasan?” ucap Garren sinis yang semakin mendorongku maju ke arahnya. “Bocah itu bahkan tidak menjelaskan apa-apa ke gue dan gak sopannya nanya password apartemen lo ke gue. Alasan apa lagi yang lo bilang?”
Aku tersudut. Seharusnya aku juga marah kepada Garren yang saat ini memandangku rendah. Dia bahkan juga masuk ke rumahku dengan tidak sopannya lalu seenak jidatnya menuduhku dengan tatapan menusuk yang membuatku sangat marah. Marah karena sepertinya ia menganggapku cewek murahan yang aku ketahui dengan jelas dari tatapan matanya itu.
“Terus lo mau apa?!” bentakku dengan wajah mengeras saat menatap Garren yang juga tiba-tiba mengeraskan rahangnya. “Oke, gue memang kabur tapi memangnya gue yang pengin Andrava datang? Memangnya gue yang pengin bocah sialan itu lihat gue dalam keadaan begitu? Memangnya gue yang pengin dipermalukan lagi seperti itu???!! JAWAB BERENGSEK!”
Aku berhasil menyentakkan tanganku dari tangan Garren. Aku tidak beranjak sedikitpun dari keadaan semula, kepalaku panas saat berhasil menatap Garren yang malahan tidak berkutik dan memilih diam membisu. Lelaki itu bahkan mengalihkan pandangannya dariku.
Aku menggelengkan kepala tidak mengerti setelah menunggu lelaki itu untuk membalas perkataanku selama beberapa saat. Aku malah mendapati keheningan yang mencengkam. Ini bukan suasana yang aku harapkan.
Aku mendengus sinis sambil berdiri. “Lo bahkan gak sanggup balas perkataan gue. Kemana perginya egolu barusan? Are you kidding me?”
Aku berhasil mengatakan kalimat sarkas itu dengan rasa puas. Aku duduk di sofa berseberangan dengannya dan menyilangkan tanganku di depan dada dengan ekspresi pongah. Aku jengkel tentu saja, memangnya siapa yang mau dituduh yang tidak-tidak oleh orang yang kamu sukai?
“Andrava bukan cowok gue,” kataku tiba-tiba ketika mengingat sesuatu.
Perkataan itu membuat Garren mengalihkan perhatiannya kepadaku. Pandangan lelaki itu tampak kosong kemudian mengerutkan kening tanda tak paham maksudku. Aku melotot kepadanya yang membuatku kembali geram.
“Lo yang tadi bilang kalo Andrava itu cowok gue dengan wajah marah-marah begitu,” ucapku memicingkan mata kepadanya. “Maulo apa sih?”
Garren akhirnya sadar lalu mengusap rambutnya kasar. Dia sepertinya bener-bener bingung sehingga aku semakin heran. Jangan-jangan dia kerasukan? Aku hendak mengatakan sesuatu namun tidak jadi ketika Garren beranjak dari sofa dengan wajah gusar. Aku berdiri dan mencekalnya. Aku melirik jam dinding dan kembali menatap wajah Garren.
“Gue tau niat lo tapi lo sebaiknya makan dulu. Ada banyak hal yang perlu gue tanyain ke elo,” kataku yang tidak membiarkan ia menolak karena aku langsung menariknya menuju meja makan.
Aku meniriskan mie spageti ke dua piring lalu menuangkan saus di atasnya beserta sayur dan sosis yang telah aku goreng. Aku membawa ke dua piring ke meja makan dan menatap Garren sembari menuangkan segelas air kepadanya.
“Waktunya ga akan cukup kalau gue masak. Ini aja gapapa kan?” tanyaku setelah mengambil suapan pertama.
Garren mendesah dan memasukkan suapan mi itu ke dalam mulutnya. Ia memakan itu dengan khidmat dan setelah mengunyah pelan mie itu ia berbicara di tengah-tengah suapan kedua.
“Mau nanya apa?”
Aku terbatuk-batuk pelan dan meminum air. “Kenapa lo bisa ada disini? Rasanya gue tertidur di mobil Andrava,” kataku dengan wajah tak suka sebab ingatanku samar-samar.
“Gue kan udah bilang kalau si Antelope itu nelpon gue.”
“Andrava.”
Garren merengut tak suka. “Pokoknya bocah itu membentak-bentak gue buat nanyain alamat rumahlo dan mendesak-desak gue buat sebutin password apartemen lo..”
Aku menatapnya tidak percaya. “Dia bisa bangunin gue, apa susahnya.”
“Lo ga sadarkan diri bego. Bocah itu pikir lo kehilangan banyak darah.”
“Darah apanya. Gue kan ga kenapa-kenapa..”
“Gue tau cowoklo bego tapi masak dia pikir lo pingsan karena kehilangan banyak darah padahal lo kan sedang...”
Aku segera memotong perkataannya secepat kilat dengan gerakan tanganku. “Iya-iya gue paham. Lo ga usah lanjutin,” erangku jengkel.
Garren mengangkat bahunya tak acuh. “Makanya jadi orang jangan sok.”
“Elo yang jangan sok. Sok tahu. Udah gue bilang kalau Andrava itu bukan cowok gue. Lo ngerti bahasa manusia ga sih?! Heran gue..”
“Pokoknya elo sudah nyusahin gue dua kali hari ini. Lo berhutang budi sama gue,” ucap Garren setelah menandaskan satu piring spageti dan tanpa pamit ia pergi meninggalkan rumahku dengan wajah angkuh.
Lelaki itu, seharusnya aku sudah memberinya satu bogem mentah. Padahal dia yang marah-marah tidak jelas bilang Andrava ini, Andrava itu, dan sekarang dia seenaknya pergi meninggalkan rumahku seakan tidak ada yang terjadi di antara kita.
“Kenapa lelaki itu sebegitu marahnya sama gue? Bukannya marah sama Andrava yang berperilaku tidak sopan padanya?”
Aku menatap piring bekas makan Garren dengan raut wajah tidak mengerti.
“Dan kenapa dia bisa tidur di rumah gue?” sambungku dengan wajah penasaran sekaligus kesal karena tidak sempat menanyakan ini kepadanya.
Ethellia Zehphyrine Denayara mau sampai kapan kamu bego begini?
ns 15.158.61.54da2