Dumb #22
“Kenapa kalian menyetujui kegiatan itu tanpa memberitahu gue dulu?” kataku memaksa dengan wajah kesal.
Sekarang ini di malam sebelum keberangkatanku dan OSIS sekolahku esoknya, aku berada di rumah Brenda. Aku memutuskan untuk menginap di rumahnya dua hari terakhir untuk membahas kegiatan Management Organisation Ropes dengan berkas masing-masing di tanganku, Brenda, dan Garren. Dengan sikap masih tidak menerima semua ini.
“Heh, Ethtel. Kita udah membahas ini berulang kali dan sudah terlambat untuk mengeluh karena besok kita berangkat!” bentak Brenda tak suka.
Aku menatapnya kesal lalu kembali membaca data-data yang dikirimkan Erik lewat e-mail. Iya, Brenda benar. Aku sudah menanyakan ini berulang kali kepada mereka. Di waktu pertama kali aku menghubungi Brenda, aku berkata marah-marah terhadap sikap Brenda yang seenaknya tanpa memperhitungkan aku terlebih dahulu padahal akulah korban utamanya. Aku bahkan juga memarahi Garren dengan mempertanyakan kemana sikapnya yang netral itu. Saat itu aku sangat membenci hal itu.
Namun, nasi sudah jadi bubur. Aku juga menerima ini disaat akhir perbincanganku dengan Erik.
Aku juga melirik Garren yang lebih pendiam akhir-akhir ini. Baguslah ia tidak berniat mengejekku karena akan kupastikan jika hal itu terjadi aku akan kabur dan tidak akan mengikuti kegiatan sialan itu.
“Seperti yang Erik katakan, Thel. Tugas kita tidaklah berat soalnya Green M itu yang akan mengurus semuanya,” ucap Brenda pelan saat memasukkan berkas-berkas ke dalam ranselnya.
“Tanggung jawabnya yang berat. Gue yakin kita juga akan bagi tugas dengan Green M itu. Secara langsung kita juga meng-handle acara ini bersama-sama. Ingat itu.”
Brenda berkata iya-iya tak minat. Aku kemudian menatap layar laptopku untuk mengidentifikasi masing-masing pembina dari Green M. Aku tentu saja akan bersikap profesional dan tidak akan memalukan diriku sendiri di hadapan Green M itu.
Setelah itu suasana menjadi hening. Aku kemudian tanpa sadar melirik Garren yang asyik mengunyah informasi dari berkas-berkas yang diberikan Erik tanpa bergerak sedikitpun. Sebenarnya aku sama sekali belum bicara dengan Garren selain percakapan diskusi. Terakhir kali adalah waktu kesalahpahaman di apartemenku waktu itu. Faktor lainnya adalah karena kami jarang ketemu sejak saat itu.
Aku masih melirik Garren dengan wajah datar tetapi mataku menyipit. Seperti yang aku katakan sebelumnya, Garren sejak saat itu menjadi sedikit pendiam atau lebih tepatnya dingin. Aku tidak tahu masalahnya apa. Harus aku akui, aku agak menyayangkan sikapnya itu sebab aku tentu saja masih menyukainya sampai sekarang ini.
Dan tiba-tiba saja, Garren balas melirikku dengan raut dingin. Matanya menatap dalam kepadaku. Aku ingin mengalihkan pandanganku tetapi aku juga marah dengannya. Aku secara sadar mengirimkan tatapan penuh arti kepada Garren baru setelah itu memutuskan kontak mata kami secara sepihak.
Brenda memberengut ketika mendapati aku dan Garren saling tatap-tatapan. Ia berdecak keras-keras. Aku beralih memandanginya dengan sangsi lalu melengos pergi menuju kulkas di ruang dapur sekedar membasahi kerongkonganku yang sangat kering. Di depan kulkas, aku mengambil air dingin dan meminumnya tanpa jeda lalu mendudukkan diriku di meja makan dengan tubuh lesu seolah jiwaku sudah pergi entah kemana.
Lalu muncullah Leo dengan wajah kecutnya menatapku heran tapi tidak berkomentar apa-apa kepadaku. Ia juga mengikuti jejakku (memimun air dengan sekali tandas). Aku pikir ia akan segera pergi, nyatanya ia sekarang menatapku dengan tatapan menusuk yang membuatku meringis. Seandainya matanya itu pisau pasti aku sudah tercacah-cacah menjadi beberapa bagian.
“Kenapa Leo?” kataku tak bergairah.
Leo mendengus disertai dengan tangan yang terlipat di depan dada. “Kamu ngapain masih disini?”
Perkataan sarkastik Leo membuatku ingin memasukkan Leo ke dalam karung lalu membuangnya ke Antartika. Mulut pedas menusuknya masih tidak hilang padahal aku jauh lebih tua beberapa tahun darinya. Setelah dipikir-pikir aku hanya pernah mendengar anak buntelan ini memanggilku kakak saat dia melamarku tiba-tiba tempo hari. Sekilas ingatan itu datang menghampiri kepalaku yang membuat aku mendengus sangat keras.
“Kok ngomongnya gitu sih, Leo? Kan sebagai calon istrimu di masa depan, aku harus sering mampir ke rumah mertua, dong.”
Katakan aku sinting. Aku tidak repot-repot memikirkan apakah Leo mengerti kalimat sembrautan yang barusan aku katakan kepadanya. Tetapi hanya itu satu-satunya cara memuaskan hatiku sebab aku tidak akan mungkin memasukkan Leo ke dalam karung saat ini juga. Lagipula aku sebenarnya agak kelewatan mengatakan hal aneh kepada anak yang masih duduk di kelas 4 SD.
Leo mengembungkan pipinya. Ia melirikku judes tanpa berkata apa-apa dan pergi meninggalkanku. Aku tersenyum senang, setidaknya kami satu sama. Sebenarnya aku pengin menari dengan hulahoop hanya saja situasinya tidak memungkinkan begini. Kalau sampai Om Axel atau Tante Yuna lihat, mungkin mereka tidak akan pernah berniat walau sekedar memikirkan menjadikanku sebagai mantunya. Ya, tentu saja menantu dengan Garren.
Aku melangkah menuju ruang tengah ke tempat Brenda dan Garren tetapi aku hanya mendapati raga Brenda di sana sedangkan Garren entah berada dimana. Aku kemudian mendudukkan diri setelah itu membereskan barang-barangku dan memasukkannya ke dalam ransel.
“Hei, Ethel. Sini deh, gue mau ngomong,” sahut Brenda tiba-tiba.
“Ya elah, ngomong aja, kan Cuma kita berdua di sini.”
“Ish, lihat gue makanya,” imbuh Brenda dengan bibir mengerucut sebal. Aku mengalah dengan membalikkan badanku dan menatapnya dengan malas. Brenda sepertinya puas soalnya matanya menjadi berbinar. Aku selalu curiga dengan sikap Brenda yang seperti ini sebab dia akan selalu ngelantur seperti yang dahulu kala itu.
“Lo ngapain sampai buat Garren jadi menyeramkan begitu?” tanya Brenda langsung membuatku terkesiap.
Aku membuka tutup mulutku enggan menjawab. Sepertinya Brenda membicarakan kejadian di apartemenku waktu itu (kejadian memalukan kesekian dalam hidupku).
“Ethel, lo dengerin gak sih gue nanya?”
“Mungkin soal kejadian di apartemen pas hari-”
“Waktu lo sakit dan lo kabur dari UKS kemudian jreng! Lo sudah berada di apartemen lo dengan Garren di dalamnya, kan?” tebak Brenda mulus memotong ucapanku.
Aku ingin memarahinya karena memotong perkataanku. Aku jadi mengurungkan niatku itu ketika Brenda menebaknya dengan tepat padahal aku tidak pernah memberitahukannya soal ini. Aku mengangguk untuk mengiyakan hipotesisnya itu.
“Kesimpulannya, lo bertengkar dengan Garren dan berakhir dengan Garren yang cemberut sesampainya di rumah waktu itu,” sambung Brenda menatapku menyelidik dengan dahi yang berkerut.
Aku mengangkat tanganku pasrah. “Masalahnya dia itu menyebalkan banget! Cowok itu asal nuduh gue dan bersikap sok tahu. Ya iyalah gue marah. Terus kenapa dia tiba-tiba ada di apartemen gue coba?”
Brenda memutar bola matanya kesal dan bersikap ingin memukulku dengan gulungan kertas tapi tak jadi. “Gue beri tahu ya, Ethellia dahling. Saat lo yang tiba-tiba pingsan, si Andrava panik dan menelpon Garren. Andrava itu berteriak tidak jelas sambil menanyakan alamat elo kepada Garren. Gue dan Garren langsung heran dan akhirnya sadar elo kabur.”
Aku terdiam masih tidak mengerti arah pembicaraan ini.
“Gue tentu saja tidak bisa memercayai Andrava. Kami langsung menemui elo di depan apartemen dengan lo dalam keadaan tak sadar. Garren yang membopong elo dan gue langsung mengusir Andrava itu. Puas?”
“Dan kenapa ia masih di apartemen gue?” kataku masih tidak menerima alasan itu.
“Emangnya lo akan ninggalin orang pingsan yang berdarah sendirian di apartemen?” kata Brenda judes.
Aku mengerucutkan bibirku ketika Brenda menyindirku terang-terangan.
“Sekarang lo tau kan apa yang harus lo lakuin ke Garren?”
“Memukulnya?” jawabku asal.
Brenda kentara sekali sangat kesal sebab dia sekarang mengayunkan gulungan itu ke kepalaku tanpa berniat mengurangi tenaganya.
Aku mendesah pasrah. “Ya, nanti gue bilang minta maaf sama dia..” kataku akhirnya tetapi Brenda masih menatapku lekat-lekat. “Juga terima kasih. Puas Madam?”
Brenda mengangguk-angguk puas.
Aku melangkah ragu menuju kamarnya Garren. Selama beberapa tahun pertemananku dengan Brenda, belum pernah aku memasuki kamar Garren bahkan berniat sedikitpun. Selain dia yang jelas protektif terhadap privasinya, aku juga tidak punya alibi apapun untuk memasuki kamar Garren tersebut. Mana tahu dia ternyata menyimpan banyak hal aneh-aneh dan aku tidak perlu tahu itu.
Setelah beberapa lama termangu sembari menatap lemas pintu kamar Garren, akhirnya aku mengangkat tanganku untuk mengetok-ngetok pintu Garren lambat-lambat. Aku yakin sekali Garren di dalam (Brenda yang mengatakannya). Aku dapat merasakan detak jantungku yang cepat seolah berteriak untuk melepaskan diri dari cengkaram tulang rusukku. Seharusnya aku cepat menyadari bahwa terlalu dekat dengan Garren sangat buruk terhadap kesehatan mentalku.
Pintu terbuka dengan pelan seperti adegan di filem horror. Jujur saja, adegan ini memang horror hanya saja bukan hantu yang membuatku bergidik takut melainkan seseorang nan tampan di balik pintu itu. Garren menatapku dengan pandangan sangsi dan berakhir dengan senyuman jail saat menatapku membeku tanpa berbicara sedikitpun.
“Well?”
Suara Garren yang berat dan serak itu membangunkanku dari lamunan erotis (sebut saja aku mesum tetapi bukan erotis itu yang aku maksud, oke?). aku menatap Garren sekilas tetapi itu hanya bertahan selama 2 detik sebelum pandanganku terfokus pada noda hitam di pintu itu yang anehnya terlihat jelas oleh mataku ini.
Garren mendesah lelah ketika aku tak kunjung bicara. “Wajah jeleklo sangat tidak sedap untuk dipandang deh Thel. Sebelum gue gak jadi pergi besok karena sakit lebih baik lo ngomong apa mau lo.”
Aku berdecak keras-keras. Iya, Garren itu memang ganteng tetapi aku pengin sekali menampar mulut pedasnya itu kuat-kuat. Melihat sikap Garren yang ogah banget ini, membuatku hampir mengurungkan niatku untuk meminta maaf (sekaligus berterima kasih, mungkin). Siapapun pasti akan merubah niat baik mereka jadi niat buruk ketika dihadapan dengan mulut pedas kering milik Garren. Apalagi aku yang terkenal seantero sekolah sebagai nenek sihir.
Hanya saja, aku langsung teringat Brenda yang pasti lebih mengerikan dan bermulut tajam dibanding aku ketika ia tahu aku tidak jadi minta maaf. Lupakan kata terima kasih soalnya aku tidak akan sudi. Daripada begini lebih baik dia berubah jadi Garren yang dingin seperti beberapa hari yang lalu.
Aku mengerucutkan bibirku ketika Garren menjentikkan jarinya di depan mukaku dengan senyum pongah. “Puas melamunnya?”
“Heh. Gue sebenarnya gak sudi banget. BANGET. Kalau saja bukan karena Brenda....” kataku terputus hanya untuk memerhatikan raut Garren yang mupeng. “Gue Cuma mau minta maaf,” kata gue dengan suara yang kecil banget.
Akhirnya aku berhasil juga mengatakan itu. Garren berkata ‘heh’ dengan suara datar dengan mimik yang datar pula. Aku dapat melihat matanya yang berbinar seolah mendapat jackpot besar. Buktinya, ia menutup pintu kamarnya dan mulai menyandarkan diri di pintu itu seraya melipat tangannya ke dada dengan wajah yang sok keren pula.
Oke, dia memang keren.
“Apa?” ucap Garren bertampang polos seakan tadi tidak mendengar perkataanku.
“Gue minta maaf!” kataku dengan suara keras.
“Ooohhh...” kata Garren lagi masih dengan posisi kerennya itu. “Tumben.”
Baru beberapa menit saja aku berdiri di sini rasanya kakiku sudah kesemutan. Inilah efek Garren, tentu saja. Beserta beberapa hal lainnya. Aku mendengus ketika mendengar kalimat lempengnya itu. Memang benar, aku sama sekali TIDAK PERNAH minta maaf kepada makhluk tampan luar angkasa ini seumur aku mengenalnya. Berhubung yang kemarin itu agak berlebihan makanya aku pasrah saja dipaksa Brenda seperti itu.
“Yah.. lo tau kan kejadian di apartemen gue waktu itu. jadi, gue minta maaf sudah salah paham dan ngerepotin elo. Brenda udah ceritain semuanya.”
Garren mengangguk-angguk kalem hanya saja matanya menyorot dalam seolah menunggu kalimat lain keluar dari mulutku. Aku bersikap lugu seolah tak mengerti maksud.
“Itu aja deh....”
Aku tersenyum puas saat melihat mulut Garren mencebik. Aku hendak pergi dan Garren juga menyadari hal itu sebab dia sekarang memegang tanganku. Aku hampir saja mengeluarkan binar mata bahagia sebelum menyadari aku harus bersikap sok keren.
Aku mengangkat salah satu alisku ketika tangan Garren memegang lenganku dengan wajah penasaran. Garren segera melepaskan pegangannya dan menatapku dengan sorotan menghakimi.
Garren kembali mengubah sikapnya menjadi coldest-guy Garren (maksudnya bersikap dingin itu loh). “Gue gak suka sama si Andrava itu...” katanya tiba-tiba
Aku mengangguk setuju. “Gue juga.”
Garren mengerutkan keningnya tidak percaya. “Bukannya lo deket sama dia.”
Suara Garren yang datar itu menyentakkan diriku kepada khayalan untuk segera memutilasi Andrava ketika aku menemuinya besok.
“Idihh. Dia yang ngedeketin gue.”
“Gue gak mau besok dia ngekorin elo kemana-mana karena gue bermasalah sama anak itu. Kalau lo gak mau sesuatu terjadi besok, lo harus ngelakuin sesuatu sama dia,” ucap Garren dengan nada perintah.
“Gak bisa begitu dong. Kan bukan gue yang minta dia ngegangguin gue. Lo dong yang seharusnya bantuin gue ngusir dia dari gue bukan sebaliknya. Cewek yang mana sih sebenernya?!”
Aku menatap Garren lekat-lekat dengan sikap permusuhan. Garren bahkan membalas tatapan ku dengan sorot mata tajam. Aku mendekap tubuhku sekaligus menatapnya dengan tatapan khasku yang sayangnya tak mempan.
“Gue kan nyuruh lo buat minta maaf sama Garren. Eh malahan lo berdua yang mau ciuman di depan gue...”
Kata-kata yang sangat mustahil terjadi itu keluar begitu saja dengan santai dari mulut Brenda. Maksudku, siapapun dengan waras mengatakan bahwa tadi itu bukan sikap untuk berciuman. Jangan tanya aku tau darimana, salahkan saja drama korea Brenda itu. Aku terkaget sejadi-jadinya sembari berusaha menghapus rona merah di pipiku dengan menggembungkannya lalu menipiskannya secara berturut-turut.
“Kak. Berhenti mengatakan kalimat menjijikkan itu,” kata Garren dengan aura gelap.
“Kenapa? Gue Cuma ngucapin apa yang gue lihat,” kata Brenda cuek.
Garren hendak membuka mulut untuk membalas perkataan Brenda namun ia mengurungkannya dan memilih untuk memasuki kamar dengan suara bedebum keras di pintunya tepat di hadapanku.
Aku mundur hingga terjatuh ke lantai. Bayangkan saja jika pintu itu mengenai hidungku, aku akan langsung memukul Garren tepat pada benda berharganya itu.
ns 15.158.61.20da2