Dumb #25
Dua hari berlalu, ternyata kegiatan itu berjalan dengan lancar malahan aku bisa dibilang hampir tidak melakukan sesuatu. Disengaja atau tidak, Kak Tion selalu membuat diriku berada dalam jarak pandangnya mengatakan bahwa ia membutuhkanku sebab aku merupakan penanggungjawab peserta. Aku menjadi kikuk dan canggung serta berusaha untuk tidak terlalu banyak berinteraksi dengan Kak Tion. Aku tidak mau Kak Tion menjadi tidak enak padaku dikarenakan pikiranku yang masih kacau ini.
Tentang Garren, dia bersikap sederhana sehingga jika aku tidak tahu hubungan kami sedikit retak aku akan percaya bahwa respon Garren merupakan sesuatu yang normal. Memang ya, sepertinya Dewi Fortuna memang benci padaku. Masak jatuh cinta saja susah beut.
“Ethellia..”
Panggilan Kak Tion mengalihkan perhatianku dari kertas-kertas. Kak Tion berjalan ke arahku.
“Kamu sepertinya kurang fokus. Apa karena aku?” tanya Kak Tion langsung tepat di depanku.
“Kakak salah paham. Apa aku membuat Kakak tidak nyaman?” balasku tanpa mengalihkan etensiku dari kertas-kertas.
Sejenak tidak ada suara lalu tangan Kak Tion memegang tanganku dan menarikku untuk duduk di sebelahnya.
Kak Tion menatapku dengan antisipasi. “Kita belum bicara banyak. Ayo selagi ada waktu mari kita bernostalgia sedikit.”
Ah. Kak Tion kenapa kamu membuatku seperti makan simalakama sih? Bukannya aku tidak mau, ah. Tapi tidak seperti Kakak yang semangat, aku sedang berjuang antara hidup dan mati dengan perasaan ini.
“Ahahaha.. Baiklah Kak.”
“Ethellia.. Aku sebenarnya telah menunggu kesempatan ini sejak lama,” kata Kak Tion menatapku dalam-dalam. “Dulu kamu orang yang sangat baik dan lucu.”
Aku termenung mendengar perkataan Kak Tion. Kak Tion terus berbicara.
“Walaupun kamu merasa terpojok kamu berusaha untuk semangat. Pertemuan pertama kita membuktikan itu. saat itu aku merasa berteman dengan kamu adalah langkah yang tepat namun sayangnya kamu hanya menganggapnya tidak lebih dari itu ya.”
“Kenapa Kakak ngomong gitu? Kakak dulu juga tidak menganggap hubungan kita lebih dari teman, kan? Jangan bilang Kakak lupa kalau dulu Kakak yang mengabaikan fakta bahwa aku kagum sama Kakak.”
Kak Tion menghela nafasnya mendengar balasanku. “Ethellia, mungkin dulu aku masih bingung. Tetapi setelah perpisahan sekolah waktu itu dan kita tidak bertemu lagi akhirnya aku sadar kalau kamu lebih dari itu.”
Aku tertegun. Jangan bilang kalau Kak Tion sekarang ini mau menyatakan cinta sama aku? Demi apa!
“Uhuk. Uhuk. Apa Kakak bilang tadi?”
“Kamu pasti kaget, ya?” tanya Kak Tion dengan senyum simpul.
Aku menatap Kak Tion dengan wajah sedih. Mataku meredup sembari kepalaku tertunduk. Aku tidak ingin menyakiti Kak Tion tetapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa dengan perasaannya.
Kak Tion mengangkat daguku dengan jari telunjuknya sehingga pandangan kami berdua bertemu. Matanya bulat bersih seperti tidak ada sedikitpun kekotoran dunia pernah dilihatnya. Aku terpana dan untuk beberapa saat seperti kehilangan kesadaran.
“Katakan padaku Ethellia, apa karena Garren?”
Benar. Itu semua karena Garren. Bahkan Kak Tion menyadari itu semua, bagaimana mungkin Garren sendiri tidak sadar? Apa aku benar-benar sebegitu naif?
Kak Tion mendesah. “Ethellia, kamu sepertinya sangat naif. Kamu sebegitu lugunya sampai-sampai kamu menyukai Garren sebanyak ini walaupun udah beberapa tahun berlalu. Bagaimana mungkin aku punya kesempatan untuk mendapatkan hatimu tetapi kamu berani bilang padaku bahwa akulah yang sengaja berpura-pura tidak tahu bahwa kamu mengagumiku ‘sebanyak’ itu?”
Aku linglung mendengar perkataan Kak Tion. “Kak, apa maksud Kakak mengatakan kalau aku menyimpan perasaan kepada Garren selama bertahun-tahun? Itu tidak masuk akal!”
Kak Tion menatapku dengan frustasi dan berusaha menjelaskan kepadaku dengan sabar. Hanya saja perkataannya memang bertele-tele.
“Masalah ini bukankah seharusnya kamu bertanya kepada diri sendiri?”
Aku terdiam. Suara yang sunyi di tenda yang hanya kita berdua di dalamnya memang membawa suasana melankolis yang konyol. Aku sudah tidak berniat untuk melihat kertas-kertas di tanganku dan meletakkan dengan sembarangan di sampingku. Kami berdua duduk berdampingan dan sama-sama merenungkan hal yang berbeda.
Akhirnya aku mengangkat suaraku dengan senyuman sedih. “Sebanyak apapun aku berusaha bertanya-tanya. Bagaimanapun perasaan itu tidak akan pernah terbalaskan.”
“Kenapa bergitu pesimis? Apa Garren membenci kamu?”
“Mungkin aku memang bukan orang yang bisa menjadi bagian dari hidupnya.”
Saat aku mengatakan hal itu, Kak Tion memegang tanganku dan mengurungnya dengan tangan besarnya yang hangat. Sembari mengucapkan sesuatu padaku dengan sungguh-sungguh.
“Kamu mungkin tidak bisa menjadi bagian dari hidupnya, tetapi kamu bisa menjadi bagian dari hidupku.”
Saat itu, aku sadar bahwa cahaya yang terpancar dari mata Kak Tion penuh tekad dan revolusi. Sampai-sampai aku berpikir apakah aku lebih baik menyandarkan diriku kepada perasaan Kak Tion yang nyata dibandingkan berdelusi sepanjang waktu bila suatu hari Garren akan menatapku dengan tatapan penuh kasih seperti Kak Tion.
Mungkin aku bisa memilih yang lebih baik.
Ethellia, kamu berhak untuk itu.
ns 18.68.41.141da2