Dumb#28
Pesta perpisahan.
Aku berpikir sebaiknya aku tidak menghadirinya ketika aku berpas-pasan dengan Erik di toko buku. Ia mengucapkan selamat kepadaku atas kelulusanku dengan nilai yang memuaskan. Erik bilang bahwa di pesta perpisahan nanti aku akan diminta memberikan pidato sebagai perwakilan angkatan sehingga aku tidak bisa tidak beralasan untuk menolaknya.
Hari berlalu dengan cepat. Kak Re semangat sekali saat menemaniku berbelanja hingga menemaniku ke salon. Aku berusaha menolaknya dengan mengatakan bahwa tidak ada yang perlu diributkan dengan bertindak berlebihan. Kak Re kesal dan bilang setidaknya di hari terakhir aku di bangku SMA, aku harus terlihat cantik dan menujukkan kepada setiap orang bahwa Ethellia juga punya sisi menarik.
Saat itu aku berteriak dengan mengatakan berarti selama ini aku tidak punya pesona atau apalah, Kak Re menyetujuinya dengan mutlak. Aku ingin berdebat lagi namun Kak Re menjadi keras kepala. Aku pun menyerah.
Kak Re bahkan mengantarkanku ke gedung tempat pesta dilaksanakan. Ia sempat bernostalgia sedikit dengan bilang sesuatu yang sentimen membuatku cepat-cepat menyuruhnya pergi.
Saat mobil Kak Re perlahan menghilang, aku masih berdiri diam di depan gedung. Aku merasakan kesepian dan berpikir rasanya sudah lama sekali aku melihat teman-teman seangkatanku. Aku mengenang saat-saat aku masih bersemangat menyukai Garren dan pertemananku dengan Brenda. Aku pikir mungkin ini kali terakhirku bertemu dengan mereka.
Aku berusaha meminimalisir kehadiranku dengan berdiri di pojokan tidak terlihat. Acara berlangsung dengan meriah. Adik-adik OSIS berdedikasi memeriahkan acara. Aku lumayan terhibur dengan mereka semua. Sampai-sampai hapeku berdering dan ada sms dari Erik.
From: Erik
Senior, lo dimana?
___
To: Erik
Gue udah sampai.
__
From: Erik
Senior, sebentar lagi lo berpidato. Senior silahkan datang ke belakang panggung.
___
Aku tidak membalas pesannya setelahnya dan langsung berjalan memutar agar tidak dikenali siapapun menuju belakang panggung. Di sana, aku melihat Erik berbicara dengan beberapa junior sampai ia mengangkat kepalanya dan menyadari kehadiranku. Dia melambaikan tangannya dan tersenyum kepadaku saat aku telah berada di depannya.
“Lama ga ketemu, Senior.”
Aku mengangguk.
Erik mengangkat alisnya saat melihat penampilanku. “Baju yang bagus.”
Aku mengangkat bahuku dengan sikap tenang. “Trims kalau begitu.”
Erik menatapku heran sebelum ia dipanggil ke atas panggung. Ia melirikku dan aku menganggukkan kepala sembari bersiap-siap. Aku tidak tahu apa yang terjadi di depan sana tetapi aku dapat mengetahui bahwa suara-suara berisik berangsur hening. Ada jeda panjang sebelum Erik bersuara.
“Halo. Sebelumnya saya minta maaf telah menganggu acara ini. Perkenalkan nama saya Erik, saya adalah ketua OSIS tahun ini. Sebagai penanggung jawab acara, saya sampaikan terima kasih bahwa banyak partisipan yang hadir. Oleh karena itu, sebagai perwakilan angkatan tahun ini, saya meminta Ethellia Zephyrin Denayara untuk menyampaikan pidatonya. Kepada Ethellia, mohon untuk ke atas panggung.”
Aku gugup. Untuk sesaat aku berpikir sebaiknya aku berlari pergi karena aku tidak ingin berdiri di atas sana. Di atas itu aku kemungkinan bisa melihat Brenda dan Garren, wajah yang sudah lama tidak aku lihat.
“Kak Ehtel..?”
Panggilan seorang siswi di sampingku membangunkanku. Aku tersenyum menenangkan lalu melangkah ke atas panggung berusaha menenangkan jantungku yang berdetak cepat. Aku dan Erik berpas-pasan hanya saja aku yakin kalau tadi aku melihat seringaian di wajahnya.
Akhirnya aku tiba di atas panggung. Di depan mik, aku berusaha melihat ke kerumunan sekilas dan menyadari bahwa selama jarak pandangku, aku tidak melihat mereka. Anehnya, aku merasa lega. Jadi, aku akhirnya bisa tersenyum dengan tulus tanpa gemetar lagi. Seperti sikap yang selama ini aku ambil saat masa-masa menjadi ketua OSIS dulu.
“Selamat malam. Namaku Ethellia,” pembukaan pidatoku sedikit konyol tetapi aku merasa pede dengan itu. “Hari ini malam yang menakjubkan dan akhirnya kita semua bisa menghadapi ujian nasional dengan baik dan kita semua bisa lulus bersama. Pencapaian SMA selama 3 tahun tentu bukan hal yang sia-sia. Kesuksesan, kegagalan, suka, duka, persahabatan, percintaan, dan sebagainya selama menjadi murid SMA haruslah disimpan sebaik-baiknya. Ada yang mengatakan bahwa masa SMA adalah masa yang paling baik. Aku sebenarnya tidak yakin dengan itu tetapi untuk sebagian besar itu mungkin benar. Jadi, marilah kita bertemu lagi di tahun-tahun selanjutnya dengan mengukir jalan masing-masing. Semoga kesuksesan datang bagi kita semua.”
Entah siapa yang memulai, tepuk tangan bergema setelah aku menyelesaikan perkataanku yang konyol tetapi aku tersenyum lebar. Aku bahkan sempat-sempatnya melambaikan tangan sebelum melangkah ke belakang panggung. Erik menungguiku di sana dan bilang itu adalah pidato teraneh yang ia dengar. Aku hanya mendengus dan bilang tidak ada pidato yang sebaik aku. Erik memberengut tetapi tidak membantah. Setelah itu, aku pergi meninggalkan Erik. Suasana hatiku yang sebelumnya bagus menjadi layu. Di bangku taman sekolah, aku menatap langit malam. Sebenarnya, alangkah indahnya jika kami mengakhirinya dengan baik-baik.
“Brenda, lo dimana? Lo bilang mau ketemu gue di taman.”
Aku mendengarnya. Aku mendengar suara Garren di sampingku. Ketika aku menoleh ke kiri, aku menyadari bahwa ia berdiri 10 meter dariku sembari memegang hape di telinganya.
Aku akhirnya melihatnya.
Garren memakai kemeja hitam dengan dasi abu-abu garis dengan setelan jas abu-abu melekat di tubuhnya. Jas itu ia sampirkan ke tangannya dengan dasi yang tiba-tiba ia renggangkan sambil menelpon dengan serius dengan seseorang.
Lelaki yang aku sukai tepat berada di depanku.
Garren menatap telponnya dengan merengut. Ia menatap ke depan untuk beberapa saat. Aku menatapnya tanpa suara walau aku hanya dapat melihat profil sampingnya. Aku berusaha mematri wajah dan tubuhnya dalam ingatanku. Sampai-sampai tenggorokanku tercekat. Aku mungkin tidak bisa lagi melihatnya dalam hidupku.
Aku ingin dia melihatku. Aku ingin berbicara dengannya. Tetapi aku tidak berani. Aku hanya bisa membuka mulut tanpa bersuara hingga satu suara lolos dari bibirku.
“Garren.”
Panggilan itu sebenarnya lemah, sangat lemah. Anehnya, Garren mendengarnya. Ia menegang beberapa detik sebelum mengalihkan tubuhnya ke samping hingga kami tepat berhadapan.
Aku akhirnya melihat wajahnya.
Garren tidak berbicara dan aku pikir ini mungkin kesempatan terakhirku jadi aku tiba-tiba berkata kepadanya dengan suara keras.
“Tunggu. Tolong berdiri di sana. Gue ingin bicara sesuatu.”
Ketika Garren membuka bibirnya, aku panik. Aku berpikir ia menolakku jadi aku cepat-cepat menyelanya.
“Hanya lima menit!” kataku bergegas lalu menambahkan, “Gue hanya akan berdiri disini. Jadi gue mohon lo dengarkan disana, oke?”
Garren akhirnya merapatkan bibirnya. Ia tidak mengangguk tetapi juga tidak pergi. Aku tersenyum lebar menatapnya. Lima menit. Garren, dalam lima menit aku akan mengulang kembali pengakuanku dan aku berharap kamu memaafkanku kali ini.
“Seseorang bilang ke gue kalau gue ini pengecut. Dia bahkan pengin memukul gue karena gue telah beraninya menyembunyikan perasaan gue dari sahabat gue sendiri. Gue bahkan beraninya menyukai saudaranya sendiri tetapi ia bahkan tidak tahu itu.”
Aku terdiam sesaat untuk menatap Garren namun ia tidak bereaksi sedikitpun. Hanya saja matanya yang tajam menatap tepat di mataku. Aku tidak berusaha mengalihkan pandanganku dan kembali berbicara. Jarak 10 meter tidak membuatku menurunkan suaraku. Malahan suaraku berusaha untuk terdengar tegas dan mantap.
“Gue bilang padanya untuk tidak mencampuri urusan gue tetapi ia kembali bilang bahwa gue seorang pengecut. Gue memang pengecut. Saat pertama kalinya dalam hidup gue seseorang menyatakan bahwa ia menyukai gue dan bisa membahagiakan gue, gue malahan menyakiti hatinya yang tulus ke gue dengan menolaknya. Padahal gue udah tahu bahwa perasaan gue ini hanya akan menjadi sebuah delusi konyol yang tak akan pernah tercapai.”
“Malam pesta barbekyu, gue bertemu Brenda di depan gerbang rumahlo. Gue bilang padanya kalau gue sengaja menghindarinya karena gue merasa bersalah telah menyembunyikan ini darinya. Gue sahabat yang payah, kembali lagi karena kepengecutan gue, gue tidak mampu meminta maaf dengan benar dan tidak sanggup untuk bertatap muka dengannya lagi.”
Aku berhenti sejenak ketika aku menyadari bahwa suaraku menjadi serak karena ingin menangis. Aku berusaha untuk tidak menangis karena jika aku menangis semua yang ingin aku katakan tidak akan jadi tersampaikan.
“Ketika gue menyadari perasaan kupu-kupu ini dalam perut gue, gue tahu seharusnya ini tidak benar. Karena lo membenci itu. Tapi, itu tetap datang terus-menerus. Bahkan gue masih kekeuh untuk perasaan itu dan berkhayal suatu hari menjadi menantu Tante Yuna dan Om Axel.”
Saat aku selesai mengatakannya aku tersenyum kecil. Pandanganku mengarah ke bunga-bunga di samping Garren.
“Setelah kejadian itu gue sadar. Bahwa seharusnya gue hanya bisa mengubur perasaan itu. Seandainya bisa, mungkin di malam perpisahan ini kita bertiga akan tertawa bahagia bersama. Tapi gue ga menyesal menyukai lo. Garren waktu itu gue ga bisa mengatakannya dengan benar maka hari ini gue akan mengatakannya dengan jelas. Ethellia menyukai Garren dan Ethellia tidak menyesal menyukai Garren. Garren, maafkan gue telah lancang menyukai lo. Seperti yang gue bilang pas pidato gue tadi: kesuksesan, kegagalan, suka, duka, persahabatan, percintaan, dan sebagainya selama menjadi murid SMA haruslah disimpan sebaik-baiknya. Itu memang konyol namun gue akan menyimpannya sebagai kenang-kenangan yang ga akan terlupakan.”
Di penghujung kata-kataku, aku kembali menatap Garren dengan senyum yang lebih lebar lagi. “Oleh karena itu, gue ingin lo menyampaikan terima kasih gue kepada Brenda karena telah menjadi teman terbaik gue. Juga kepada Tante Yuna dan Om Axel karena telah mengijinkan gue makan dan menginap di rumahnya. Sama si kecil Leo karena gue tidak akan mungkin jadi pacarnya juga.”
Aku berdiri dengan mantap lalu aku menatap jam di hapeku. Lima menit telah habis.
“Sudah lebih dari lima menit. Gue akan pergi sekarang,” kataku tidak berani melihat wajah Garren lagi. “Selamat atas kelulusan lo dan selamat tinggal.”
Setelah itu aku berbalik pergi. Aku berlari sejauh mungkin meninggalkan gedung acara dengan wajah yang dipenuhi air mata. Aku membenci diriku yang pengecut namun aku tidak mampu bersikap berani. Garren, sebenarnya aku benci berpisah seperti ini tetapi aku tidak berani untuk sekedar menanyakan pendapatmu tentangku.
ns 15.158.61.23da2