Dumb #3
Biar aku ceritakan awal mulanya perasaan kupu-kupu bisa hinggap di perutku. Itu karena seorang Garren Dwi Juan yang kadar gantengnya maksimal dan keseksiannya optimum. Dia, lelaki itu, dengan tidak pekanya membuatku greget. Saat itu –sebenarnya ini memalukan- aku menginap di rumahnya Juan bersaudara. Brenda memintaku (jika tidak mau disebut dengan pemaksaan beserta kekerasan) untuk menginap karena akan mengadakan pesta barbekyu.
Awalnya sih tidak ada yang mencurigakan. Namun, saat aku terbangun dari tidur siangku dan langsung berjalan terseok-seok ke halaman belakang dan menjatuhkan pantatku di kursi. Aku mendengar bunyi jeklikan kamera. Lalu mata yang awalnya hanya 5 watt langsung seterang cahaya lampu Philips.
Di depanku, Leo (adiknya si Kembar yang umurnya baru 8 tahun) sedang mengarahkan ponselnya di depanku. Aku hanya melongo heran hingga untuk kedua kalinya aku dipotret.
Leo tertawa cekikikan. “Kak Ethell, sumpah kakak jelek banget..”
“HAHH??!!”
Aku ingin merebut ponsel namun terhalang ketika mendengar kekehan lainnya. Sontak saja aku menatap Garren yang sejak tadi sudah duduk manis di depanku.
Di depanku, Garren Dwi Juan terkekeh menawan bukannya tertawa mengejek seperti biasanya. Walaupun malam, aku masih dapat melihat matanya yang jernih itu memandangku dengan pandangan geli.
Garren menatapku seolah aku adalah badut. “Lo ngaca deh Ethel. Serius, jelek banget.”
Aku sekali lagi melongo dan segera sadar saat melihat gelagat Leo ingin memotretku. Lagi. Dan saat Leo memperlihatkan mahakaryanya kepadaku. Aku berteriak. Foto itu menampilkan wajahku yang penuh coretan absurd.
“BRENDAAAA IKAAA JUANNN... GADISSS JAHANNAM.. DIMANA LO??!!”
Tawa Leo dan Garren meledak namun aku tak menghiraukannya. Untung saja Tante dan Om Juan sedang tidak di rumah. Bukan, ini jelas saja kerugian buat aku dan keuntungan bagi Brenda suapaya bisa melaksanakan aksinya. Akunya aja yang terlalu sial tertipu mentah-mentah.
Aku berhenti berlari ketika tidak menemukan Brenda dimanapun. “Oh sial.. Kenapa gue merasa ada kupu-kupu di perut gue?” ucapku lalu menggaruk dahiku sambil memelototi perutku yang jelas aja tidak se-hot Miranda Kerr.
Wait? Ngapain juga aku bandingin perutku sama Miranda Kerr?
**
Hari ini aku terkulai lemas di sofa rumah keluarga Juan. Sungguh betapa tragisnya hidupku ini. Kakakku, Rewyn Denayara, seenak jidatnya menyuruhku menginap selama seminggu di rumah Brenda karena dia harus pergi ke luar negri untuk urusan kantor.
Entah aku harus bersyukur atau tidak. Hanya saja aku belum siap untuk bertemu dengan Garren. Tidak, setelah ia menertawaiku tadi pagi. Aku mendengar seseorang turun dari tangga tetapi aku abaikan saja karena tidak mungkin itu Garren.
Di depanku, berdirilah Leo dengan wajah sembrautnya menatapku dengan tatapan datar. Aduh, padahal dia baru 8 tahun namun tingkah lakunya sudah seperti remaja. Ituloh cara dia menatap dan berbicara. Aku mendudukkan diri dan menatapnya sembari tersenyum manis.
“Kenapa Leo? Kok wajahnya udah ditekuk gitu?”
Leo hanya diam membisu dan terus menatapku dengan tatapan elangnya itu. Aku mengernyitkan keningku. Hingga beberapa menit kemudian, aku merasa kami dalam keadaan absurd. Aku menggaruk keningku gugup.
Pintu depan terbuka dengan suara berdebum. “ETHELLL... Gue udah pulang nihh.. Lo dimana?”
Aku tadi ingin bertanya lagi kepada Leo namun karena Brenda yang telah tiba, Leo mendengus dan berjalan menuju sofa single di depanku. Kenapa dengan anak itu? Tumben, biasanya dia yang paling sering dan senang mengerjaiku. Atau dia sedang patah hati?
“HAH?!” teriakku refleks ketika pemikiran aneh itu tiba-tiba menyelusup ke dalam otakku.
Benda empuk mendarat di kepalaku. “Apaan ‘hah’ ‘heh’? Lo ga kesambet kan Thel?”
Aku melempar kembali bantal itu ke arah Brenda. “Ga ada apa-apa... Lo bawa cemilan, gak?” tanyaku yang sudah mengotak-atik belanjaan Brenda. Tadi gadis itu pamit sebentar untuk ke supermarket.
Suara berat mengintrupsi obrolanku dengan Brenda. “Sadar dong, Thel. Perut buncit itu mau lo kemanain??”
Aku menatap Garren dengan wajah paling garang. Itu dia, alasanku telat banget menyadari aku suka sama cowok menyebalkan ini. Dia itu sangat jail dan tidak menganggapku sebagai cewek sama sekali. Dulu sih aku biasa saja tapi sekarang entah kenapa aku menjadi sensitif.
Aku menghampiri Garren yang menatapku dengan seringaian seksinya lalu tanpa ampun menarik rambutnya kuat-kuat.
“Aww... Arghhhttt.. Sialan lo.. Rambut gue.. Rambut gue!!!!!!!”
Aku melotot ketika lelaki itu mengumpat di depan Leo. Aku semakin menarik rambutnya tanpa peduli. Aku sudah kerasukan setan untuk yang satu ini. Brenda tertawa keras tanpa berniat membela Garren. Bagus Brenda!
“Apa lo bilang?! BERANINYA LO MENGUMPAT DI DEPAN LEO? MAU CARI MATI, HAH?!”
Setelah puas menjambak lelaki itu, aku menghampiri Leo yang menatap kejadian itu dengan wajah bulatnya yang lucu. Di depannya, aku tersenyum sembari menetralkan deru nafasku.
“Leo, jangan didengerin kata-kata Kak Garren tadi, ya,” kataku lembut lalu merapikan rambutnya yang berantakan.
Anak itu, si Leo lagi-lagi menatapku tanpa berkedip. Ada apa dengannya sih? Apa ada yang salah denganku?
“Leo, ada sesuatu yang aneh di wajah Kakak?”
Leo menggeleng dan tiba-tiba saja memegang tanganku. Loh?
“Kak Ethel... Mau gak pacaran sama Leo? Nanti kalau Leo udah besar, kita menikah.”
Loh?
Aku menatap Leo tanpa berkedip. Leo berkata dengan raut wajah serius dengan tangannya yang masih memegang tanganku. Jangan bilang sikapnya yang aneh tadi disebabkan karena ini? Dan tunggu dulu darimana ia tahu yang kayak gitu?
“HAHHHH??!!!!” itu teriakan Garren.
“YA AMPUNN LEO, KOK KAMU SWEET BANGET!!” itu teriakan Brenda.
Sedangkan aku segera menggendong Leo yang sebentar lagi akan terkena serangan dari kedua kakak kembarnya.
Dan anehnya, Leo yang dulu paling anti aku peluk-peluk begini sekarang malah melingkarkan lengannya di leherku.
Aku memang bercita-cita suatu saat nanti menjadi menantunya keluarga Juan. Namun aku mau sama abangnya bukan sama Leo yang baru berumur 8 tahun!
Bangunkan aku kalau kenyataannya sekarang aku jadi pedofil?
NO WAY!!!
ns 15.158.61.20da2