Dumb #6
Walaupun aku berjanji ke Tante Yuna bahwa aku akan kembali esoknya, aku menginkar janji. Buktinya setelah pulang sekolah dengan 1001 alasan, aku mengatakan kepada Brenda bahwa aku tiba-tiba harus melakukan sesuatu di apartemenku. Sedangkan Garren, anak itu malahan menatapku seperti maling dan melangkah pergi tanpa mengatakan apa-apa.
Setidaknya minta maaf kek.
“Kalau kayak gini, lebih baik gue ga puber aja sekalian...” kataku sambil memberengut di bawah baliho besar tempat aku bernaung.
Sudah tiga hari semenjak hari ‘itu’ aku masih belum mau kembali ke rumah si Kembar Juan. Alasannya agak alay sih tapi bagaimana lagi namanya juga cewek. Aku masih sakit hati sama perkataan Garren yang menganggap aku itu tidak lebih dari sebutir upil.
“Iuhhhh.”
Aku saja mengerang jijik apalagi Garren? Penginnya sih mau melompat-lompat tidak karuan, tapi aku sadar kalau sekarang aku sedang memakan es Kiko pemberian adik-adik yang menatapku iba karena aku seperti gelandangan di bawah baliho ini. Sialan banget kan? Tapi yang namanya rejeki tidak boleh ditolak. Pamali.
Kubuka ponselku dimana dibelakangnya ada gambar apel digigit. Bukannya sombong sih, ya. Namun ini semacam ponsel couple gitulah sama Brenda dan Garren. Darimana couplenya juga kalau ponsel ini juga dimiliki oleh teman-teman sekelasku? Apalagi kopelennya bukan berdua tapi bertiga.
“Nih anak ya bebal banget pake serius. Masa ga berasa bersalah gitu sih sama gue? Ga ngeLine, ga BBM, ga Whatsapp, ga nelpon, ga sms, misscall pun kagak. Padahal kan gue malu banget pas sok melow-an didepan dia. Dasar kucing garong kutu kupret kolornya Superman!!!!"
“Aaaarrrgggtthhh!!!!”
Karena saking tidak tahan sama situasi gila ini aku memilih untuk berteriak sambil melompat-lompat. Sesekali menendang tembok yang tidak bersalah. Maafkan aku tembok.
“Aduh-duh. Kamvreto!” erangku menahan sakit pake banget saat aku tidak sengaja menendang kaleng dan malahan berakhir terjatuh dengan pantat menyentuh lantai duluan.
“Duh, jangan sampai gue mandul. Kalau mandul kan Garren tambah ga mau sama gue,” kataku sambil merana.
Aku masih mengusap pantatku ketika sebuah suara halus mengusik kegiatanku yang mengusap pantat. “Omaigat! Ethel lo ga malu ya ngusap-ngusap pantat kayak gitu di muka umum?”
“Omaigat!!! Lo tuh ya Berenda. Kalau mau masuk itu ngucapin salam kek. Jangan suka ngagetin orang. Kupret!”
Brenda menganga melihatku dan selanjutnya menatapku iba. “Ethellia, gue ga tau alasan lo kenapa ga jadi nginep di rumah gue. Rupanya gara-gara ini ya?”
“Ma-ma-ma..Maksud lo apa sih?” kataku tergagap. Duh jangan bilang dia mendengar semua curcolanku tadi?
Brenda mengeluarkan saputangannya dan menutup mulutnya. Itu loh yang kayak para bangsawan kalau lagi sedih. Tapi di versinya Brenda malah bikin aku jengkel.
“Ya ampun Ethelliaa.. Seharusnya lo ngomong sama guee.. Kenapa dipendam sendiri? Lihat, lo bahkan menggenaskan banget..”
Jantungku berdetak tidak karuan dan mengguncang bahu Brenda kuat-kuat. “Ke-ke-kenapa lo sampai tau?”
“Ethel.. gue ga tau kenapa lo sampai kehilangan apartemen dan nganggep ini rumah elo dan jadi tunawisma di bawah baliho ini. Tapi gue tetep menganggap lo sahabat gue..”
Hah?
“HHHAAAHHH??!!!!” teriakku empat oktaf lalu menepuk bahunya keras. “Lo pikir gue jatuh miskin apa? Apa? TUNAWISMA??”
Brenda mengangguk polos. “Nah tadi lo bilang ‘kalau mau masuk ngucapin salam’ gimana masuknya coba kalau disini ga ada pintu..Apa lo saking syoknya ya sampai nganggap tempat di bawah baliho ini apartemen lo?”
Aku memilih mengabaikan Brenda dan berjalan dengan langkah lebar-lebar. Bagus Brenda, dia sudah membuat aku mau mendidih!
“Shit.. Lihat jalan dong Mas!!” umpatku ketika menabrak punggung seseorang yang lebih tinggi dariku. “Jangan berdiri di tengah jalan elah. Mas kalau mau bunuh diri cari tempat lain atau ke- ELOOO??!!!”
Ketika si Mas-Mas itu berbalik, aku melihat Garren menatapku dengan wajah merah padam. “Apa lo bilang? Mas?”
Bukannya membalas kalimat sarkasnya aku malah semakin tersulut emosi. Hingga akhirnya aku maju selangkah di depannya. Sedetik kemudian aku menjambak rambutnya tanpa rasa kasihan.
“WOIIIIII!!! WOIII!! RAMBUT GUE!! RAMBUT GUE!! SIAPAPUN TOLONGG!! BRENDAAAAAA!!!!”
“MAMPUS LO! MAMPUS! SIAPA SURUH BIKIN GUE KESEL! BOTAK AJA LO POOP!”
Sekarang jalanan itu dipenuhi suara putus asa Garren dan tawa setanku yang menggelegar.
“OMAIGATTTT!!!! ETHELLIAAAA BRENTI!! YA AMPUN DEDEKK!!!”
Dan tentu saja suara bisingnya Brenda.
**
“Ahh lapang juga akhirnya dada gue..” kataku dengan sumringah sembari merenggangkan tubuhku.
Begini, setelah kejadian acara jambak-menjambak oleh Ethellia si gadis Cantik, aku langsung dihentikan oleh Brenda yang heroik banget. Entah darimana dapat kekuatan, ia berhasil menarikku menjauh dari Garren hanya satu sentakan. Kekuatan Hulk tidak ada apa-apanya sama kekuatan gadis brunette itu.
Dengan celana training dan kaos oversize yang aku pakai, aku menyeret kakiku ke dapur ketika menghirup aroma yang sangat wangi. Oh. Aku tahu siapa yang masak.
“Ethell,, sini duduk di samping gue,” sambut Brenda dengan menepuk kursi di sebelahnya.
Yang pastinya sih bukan Brenda.
Aku menyahut riang sambil bersenandung. Kemudian Garren menatapku dengan wajah paling mengerikan sejagat raya (yang sialnya masih ganteng pakai top). Lelaki itu walau sedang masak tetap aja memesona. Kurang apalagi dia coba? Suami idaman banget.
Aku bersiul diiringi cekikan Brenda ketika makanan telah disajikan Garren ke hadapan kami. “Duh Dedek Garren, cute banget deh pakai celemek. Mau Tante bawa pulang..”
Garren menatapku dengan mata yang penuh laser imajiner. Iya Babang tembak aja Dedek.
“Dedek-dedek upil lo...”
Aku tertawa keras dan berhasil dipukul Brenda yang membuatku meringis karena pukulannya tidak main-main permisa. “Lo kalo nabok pakai perhitungan dong. Perlu di rontgen nih..”
“Aduh lo, sering nonton drama sih.”
Brenda kemudian menyendokkan nasi ke piringku lalu ke piring Garren disertai lauk-pauknya. Nih anak walaupun cerewet, lebay, kejam, dan sifat buruk lainnya tetap aja keibuan banget. Plus sayang banget sama Garren dan tidak malu panggil Garren dengan kata ‘Dedek’ yang bikin mual itu. Untung saja dia tidak sampai brother-complex bisa-bisa tambah tidak ada kesempatan.
Aku menepuk tanganku persis seperti anjing laut dan dihadiahi wajah bosan Garren melihat tingkah alayku ini. Maafkan aku Yang, seperti inilah daku.
“Wahh, emang ya kalau masakan Garren paling topcer. Sumpah, gue kangen banget sama masakan elo..”
“Kalau gak gara-gara Mama, gue gak akan datang kesini dan masakin elo. Apalagi elo udah hampir ngebuat gue BO-TAK.”
Aku meringis mendengar sindiran Garren yang pas sekali di ulu hati. “Iya-iya sorry. Elo sih yang bikin gue kesell..”
Garren siap-siap melempariku dengan sendok sayur saat Brenda tiba-tiba menyeletuk. “Walaupun gitu, ga ada yang bisa ngalahin elo kalau udah berhubungan sama makanan yang manis-manis, Thel.”
Aku terdiam, Garren terdiam, dan Brenda tiba-tiba menerawang.
“Oh iya, soal kue, lo pernah kan ngasih Kak Tion kue organik waktu masih SMP kan, Thel?”
“U-HUK!”
Mendengar perkataan Brenda membuatku harus kesedak tulang ikan ini.
Terkutuklah engkau wahai pahlawan eh tulang ikan.
ns 15.158.61.51da2