Dumb #8
“Ethellia... dipanggil ke ruangan kepala sekolah.”
Aku bergidik ngeri ketika salah seorang siswa mengetuk pintu kelasku dan mengatakan hal sehorror itu. Ya iyalah, ruangan kepala sekolah itu adalah ruangan keramat yang jarang dimasuki orang. Dulu sih ada sekali dua kali berhubungan dengan OSIS tapi kebanyakan bersama pembina OSIS untuk membicarakan masalah OSIS. Dan sekarang aku bukan anggota OSIS lagi.
Jangan bilang aku dihukum karena dituduh menyelundupkan narkoba? Jaman sekarang ini orang bisa melakukan apa saja dengan menjadikan orang lain kambing hitam tapi...
“Ethelliaa mau sampai kapan kamu bengong sambil berdiri begitu? Cepat ke ruangan kepala sekolah sana,” kata guru Biologiku dengan wajah jengah.
“Duh. Iya Buk.”
Aku berjalan seperti siput sambil menatap ke arah Brenda yang mengepalkan tangannya bermaksud menyemangatiku lalu beralih ke arah Garren yang sialnya mengejekku.
‘Mampus lo.”
Sekiranya itu yang dapat aku tangkap dari gerakan mulutnya. Sialan tuh anak, untung cakep.
Aku menghembuskan nafasku lalu mengepalkan tangan. Ya ampun, kalau benar soal narkoba aku tidak bisa membayangkan Kak Re membawaku ke penjara bawah tanah.
Tok. Tok. Tok.
“Permisi, Pak.”
Aku mendapati Pak Kepsek beserta seorang murid laki-laki menatapku dengan tatapan datar. Jangan bilang yang tadi itu tipuan?
“Eh Pak, Apa Bapak memanggil saya?”
“Ya. Kemarilah, ada yang ingin saya bicarakan.”
Aku berjalan dengan langkah tak ihklas lalu duduk di samping murid laki-laki yang menatapku dengan seringaian jail. Aku curiga ketika ia bersikap aneh seperti itu. Sedangkan Pak Kepsek masih menatap berkas yang tidak aku ketahui.
“Hmm,, Andrava berhubung kamu masih baru disini, kamu bisa mengenal lingkungan sekolah ini bersama Ethellia.”
Loh?
“Eum, anu Pak. Kenapa saya ya?”
Pak Kepsek menatapku dengan wajah ‘apa-kamu-bodoh’nya itu.
“Tentu saja, kamu kan ketua OSIS sekolah ini.”
Buset dah. Ini bapak pikun ya?
“Baiklah Pak.”
“Oke, sekarang kamu antarkan dia ke kelas 11-1. Kalian boleh pergi.”
Aku mengangguk kaku lalu pamit meninggalkan ruangan itu. Aku mengerang jengkel. Sesampainya di depan aku menjongkok putus asa sambil mengusap wajahku. Niatnya sih ingin memberitahu bapak itu kalau Ketua OSIS sudah berganti. Tapi nanti malah aku yang digampar karena berani mempermalukan bapak itu.
“Eh. Lo kok bengong sih. Cepat gih antarin gue ke kelas.”
“Hah? Apa lo bilang? Ga sopan banget lo ya?”
Lelaki itu mengernyitkan keningnya dengan wajah yang persis seperti bapak tadi. “Nah lo kan ketos, berarti lo kelas 11 atau ga kelas 10 kan? Aneh deh lo.”
“Sorry ya dek. Gue ini kakak kelas elo, bego. Ga lihat pangkat kita beda?”
“Oh.” Ia menyeringai mengejek. “Niat banget lo jadi ketos sampe udah kelas 12 masih aja.”
Aku memberengut dan menatapnya dengan tatapan laser. “Bukan gue. Kepsek lo noh yang pikun atau demen ama gue hingga gue yang diinget.”
“Kepsek lo juga kali.”
Lelaki yang bernama Andrava ini mencebik sembari berjalan mendahuluiku. Benar-benar minta dihajar anak itu.
“Woii...” kataku hingga membuat ia berbalik badan. “Kelas lo di lantai dua setelah perpustakaan. Bisa sendiri kan? Bukan bayi juga.”
Aku berlalu tanpa berniat mendengar ucapan anak itu. Maaf ya, aku itu cukup disegani jadi anak tidak sopan kayak dia pengin banget aku jitak hingga benjolan. Aku berjalan dengan wajah sebal hingga bunyi perut membuyarkan fantasi psikopatku.
Aku memegang perutku dengan tampang nelangsa. “Ya ampun kenapa harus sekarang?”
Tiba-tiba saja seserang mengcrengkam tanganku dengan kuat. Aku langsung bersiaga ketika mendapati Andrava menatapku dengan tatapan tajamnya.
“Lo ga denger apa yang diamanatin Pak Kepsek sama lo?”
Aku meringis sembari menyentak tangannya. Aku memegang pergelangan tanganku yang sialnya memerah lalu beralih ke lelaki itu sekali lagi.
Oh no! He’s completely awesome dan aku baru menyadarinya sekarang setelah melihat wajahnya dari dekat.
“Lo ganteng juga, ya.”
Omaigat. Tadi itu adalah perkataan paling konyol yang pernah aku ucapkan selama 17 tahun hidupku. Aku berniat untuk berlari tetapi lelaki itu mencekalku sekali lagi. Apa maunya sih?
Andrava menatapku dengan tatapan menilai dan sekarang aku mulai takut. Apapun yang akan dia perbuat aku tidak akan segan-segan menendang benda berharganya itu. Namun dia malah menahan tawa.
“Ga nyangka ketemu Putri Fiona di sekolah ini. Gue kira Cuma di film Shreck aja.”
Oke. Aku yakin Putri Fiona yang dia maksud itu bukan yang versi normalnya. Aku yakin banget. “Terserah apa kata lo ya. Mau Fiona mau Cinderella, gue ga mau ketemu ama lo lagi. Menjauh lo POOP!!!!!!!” teriakku emosional sehingga membuatnya syok. Syukur deh setidaknya dia benar-benar berniat menjauh dariku. Menurutku.
Aku tidak melewatkan kesempatan untuk kabur walaupun harus tersandung dulu.
“Ketiban sial dari mana sih gue?” kataku emosi.
ns 15.158.61.12da2