x
Sudut Pandang Pertama
Sudah 1 minggu lebih, tepatnya 10 hari sudah berlalu. Aku yang sudah diselematkan oleh pak tua Korna harus berisitirahat untuk menyembuhkan luka-luka ku. Sebenarnya mau saja aku lari dari tempat ini, namun pak tua Korna itu selalu siaga dengan pistolnya, bahkan ketika membaca buku atau makan.
Selama waktu itu, aku hanya duduk dan berjalan sedikit di sekitar kamar pada seminggu pertama. Luka ku lebih parah dari yang kubayangkan, ketika jatuh, sepertinya kepalaku terbentur sesuatu dan kaki kananku tertembak. Tapi beruntungnnya, aku masih selamat dan Pak Tua Korna menyelamatkan ku.
Setelah 1 minggu, aku sudah dapat berlari, walau tidak secepat dulu. Namun ada hal yang sangat mengganggu ketika menginap dirumah Pak Tua Korna. Sebeumnya dia bilang dia adalah lelaki biasa, namun dia selalu membaca buku, menulis buku ketika malam, dan berlatih seperti berlari dan mengangkat beban ketika pagi hari.
“Lelaki biasa yang aneh”
Mungkin itu kalimat yang tepat untuknya, tapi pernah suatu ketika. Ketika aku berjalan-jalan dirumahnya yang lumayan besar itu. Terdapat ruang perpustakaan miliknya. Aku tak pernah melihat buku sebanyak itu sebelumnya selama hidupku.
Sebagai Bocah berumur 12, aku pasti memiiki rasa penasaran dan ingin melihat kamar pribadinya yang selalu dia kunci, jadi di pagi itu, aku menyelinap mengambil kunci di jasnya setelah dia pulang memancing dan membuka kamarnya, yang kulihat di kamarnya banyak foto-foto militer dan bendera Roxalia terpampang jelas. Namun, sebelum aku masuk lebih jauh, Pak Tua Korna menghentikan ku dan melemparku keluar ruangan. Pak Tua Korna bertelanjang dada menghampiriku. Walau kelihatannya sudah berumur 50 tahun, dia memiliki tenaga yang besar. Badannya tidak kelihatan tua seperti umurnya, kekar, bahkan banyak bekas luka sayatan dan lubang peluru. Dan ppaling terutama, kacamata hitam yang selalu dia pakai sedang tidak dipakai, terlihat jelas mata kirinya tertutup karena bekas luka tertusuk benda tajam.
Setelah kejadian itu, Pak Tua Korna lebih memperhatikanku, dan ketika kutanya apa yang terjadi di masa lalunya, dia tidak menjawab.
Setelah hari ke 12 aku dan pak tua Korna berlatih pagi bersama dan ikut memancing, aku tak ingin terkurung dirumah seperti hewan dikandang. Ternyata desa Roxanda ini tidak memiliki warga sebanyak desa Magna, dan emiliki banyak ladang rumput. Tidak disangkan, latihan pagi Pak Tua tua itu sangat tidak wajar, aku hanya bisa mengikutinya berlari seperempat jalan.
Setelah berlatih dan memancing, aku dan Pak Tua Korna berbincang dan bercanda. Sepertinya hubunganku dengan dia semakin membaik, dan aku mula percaya padanya untuk menceritakan nama dan tempat tinggalku.
Pagi itu, hari ke 13, aku bercerita semua hal tentang diriku dan apa yang terjadi. Pak Tua Korna Sontak berdiri.
“ada desa di Hutan itu!? Dan desa itu diserang oleh tentara!? Apakh kau mengetahui ciri-ciri mereka bagaimana Jusup!?”
Pak tua Korna mengenggam lenganku dengan kuat, dan aku memberikan lencana Mecov yang ada dikantungku kepadanya.
“Lencana ini… SIAL!”
Pak Tua Korna langsung berteriak dan lari ke kamarnya. Setelah beberapa saat, dia kembali kepadaku yang masih terduduk bingung.
“Jusup, masala ini lebih besar dari yang kubayangkan, aku akan pergi ke kota Roxus. Aku harus memberitahu mereka mengenai hal ini. Sepertinya yang menyerangmu adalah tentara Madonia, dan mereka akan menyerang Benteng Roxa segera.”
Ucap pak Tua Korna dengan tergesa-gesa, aku masih diam mendengarkan perkataannya, tapi satu kesimpulan pasti yang kudapat, bahwa keadaan Republik Roxalia sedang terancam. Pak Tua Korna mempersiapkan barang-barangnya dan bersiap untuk pergi.
“Bocah, aku kan pergi selama satu minggu, jaga rumah ini baik-bak dan jangan melakukan hal bodoh”
Sebelum dia pergi, aku memeluk kakinya sekuat tenaga.
“Ajak aku Pak Tua!”
“Bodoh! Apa yang bisa dilakukan bocah 12 tahun disana!? Lepaskan kaki ku”
Pak tua Korna terus menendang perutku, namun aku bersikeras untuk ikut,aku arus mencari keluarga ku yang selamat.
“Sial! Baiklah kau akan ikut denganku dan mengikuti kata-kata ku, dan jangan salahkan kalau kau mati”
Pak tua Korna mengepalkan tangannya dab berkata menyetujui aku untuk ikut. Kami berangkat menggunakan kereta kuda menuju ke kota Roxus.
Setelah 2 hari perjalanan, kami sampai ke gerbang kota Roxus. Gerbang besar yang dijaga ketat oleh tentara biru Roxalia menghampiri kami, Pak Tua Korna turun dan menunjukkan sesuatu kepada tentara tersebut. setelah itu mereka mempersilahkan kami untuk masuk.
Sesampainya didalam, wujud kota yang belum pernah kubayangkan, rumah bertingkat ketiga bahkan lebih ada dimana-mana, dan tentara sedang berlari kesana dan kesini. Setelah jalan selama 10 menit, kami sampai ke markas tentara Roxalia.
“Bocah, tunggulah disini, aku akan kembali dalam beberapa menit”
Setelah mengatakan itu, Pak Tua Korna masuk ke markas tentara yang lumayan luas itu, di sisi samping kanan dan kiri markas tersebut berbaris tank-tank dan senjata api lainnya.
Setelah beberapa menit, Pak Tua Korna keluar dari pintu markas tersebut dengan wajah marah sambil memukul diding markas tersebut, aku penasaran apa yang terjadi. setelah beberapa saat, Pak tua Korna mendatangiku.
“Bocah, kita terlambat. Tentara Madonia sudah menyerang benteng Roxa, sekarang kita akan menginap di hotel terdekat, jangan jauh-jauh dari ku”
Setelah sampai di hotel, pak tua Korna kembali keluar gedung dan aku dipaksa berdiam di kamar hotel ini apapun yang terjadi. ketika menunggu sambil melihat keluar jendela, tidak terasa sudah malam dan pak tua Korna tidak kunjung datang. Dan tanpa sadar aku tertidur di tepi jendela.
Paginya aku terbangun, aku bangun dan melihat pak tua Korna sudah duduk tertidur di sofa sambil memegang sebuah Koran. Aku mengambil Koran tersebut dan membacanya. Di bagian sampul terdepan Koran itu tertulis bahwa benteng Roxa sudah jatuh ketangan kerajaan Madonia dari dua arah melalui desa Magna dan menerima kekalahan telak. Aku yang membaca itu terus merinding dan melingkuk di lantai sambl tidak percaya apa yang terjadi. beberapa hari setelah hari itu, aku dan pak tua Korna masih tinggal disana. Setelah beberapa hari, Negara Republik Roxalia mengadakan perjanjian damai dengan kerajaan Madonia dan berhasil. Tapi, tidak ada satupun warga, tentara, maupun Pak Tua Korna yang merayakannya, jika kau melihat isi perjanjiannya, ternyata mudah saja, perjanjiannya ini hanya akan membuat Negara Republik Roxalia ditekan oleh Negara Madonia secara Internal dan eksternal. Namun opiniku tersebut tidak kuutarakan kepada Pak Tua Korna.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk keluar hotel dan berjalan-jalan sebentar, ketka ditaman, terdapat demonstran yang berkumpul di depan markas tentara kemarin. Aku mndekat dan mendengarkan mereka. Lelaki yang kupikir adalah pimpinannya berdiri diatas mobil tentara dan menyeuarakan dengan sangat keras ketidaksukaannya.
“KAMI WARGA ROXALIA MENUNTUT KEADILAN KEPADA TENTARA YANG KAMI UPAH! JANGAN JADIKAN KAMI BUDAK NEGARA LAIN! JIKA TENTARA ROXALIA TAKUT, KAMI AKAN MAJU MELAWAN MADONIA”
Itu lah yang kudengar dari mereka, setelah beberapa saat, pimpinan tentara keluar dan menjawab pertanyan mereka.
“KAMI TIDAK DAPAT BERBUAT APA-APA. INI SEMUA ADALAH SALAH WARGA DESA MAGNA! MEREKA BERKHIANAT KARENA TIDAK MENGABARKAN KAMI APAPUN!”
Aku yang sontan mendengar hal tersebut berlari ke atas kap mobil tentara di seberang jalan dan mulai berteriak
“ITU SEMUA SALAH! ITU SEMUA SANGAT SALAH”
Para Demonstran dan para tentara melihat kearahku dan mulai mendengarku walaupun aku mendengar mereka bertanya “Siapa bocah itu?” aku pun menjawab dengan lantang.
“AKU ADALAH BOCAH YANG BERASAL DARI DESA MAGNA! SEMUA HAL YANG KALIAN KATAKAN ITU SALAH, KAMI DESA MAGNA TDAK SEPERTI ITU-”
“APA WARGA DESA MAGNA!?”
Cetus memotong dengan lantang pemimpin tentara tersebut
“TENTARA TANGKAP DIA!”
Sambil menunjuk kearahku, aku ditangkap oleh para tetara dan para demontran mulia melempar batu ke arahku.
“Kenapa aku mereke seperti itu? Apa salahku? Kenapa aku selalu seperti ini? SIAL SIAL SIAL SIAL”
Aku berteriak dalam hati dan sekuat tenaga mulai memberontak melarikan diri, namun tengkuk belakang ku dipukul dengan keras dan aku tidak sadarkan diri. Aku bermimpi aku berada di desa Magna bersama dengan semua keluaraga dan warga desa yang kukenal sejak kecil. Aku bertemu kak Sherli yang sedang memabawa beberapa ubi untuk dimasak, dia melihatku sambil tersenyum, dan warga desa begitu juga… hangatnya… walaupun ini mimpi, tolong jangan bangunkan au lagi.
Ketika sadar, aku sudah berada di dalam ruangan yang dingin dan kotor serta ditutup rapat dengan pindu besi. Ya benar, ini adalah penjara, aku hanya bisa duduk disudut ruangan dan menangis sejadi-jadinya. Aku tidak tau berapa waktu berlalu, satu jam, jam, atau mungkiin 1 hari, aku tidak terlalu peduli, aku hanya meliuk di lantai dingin tersebut. namun, beberapa saat aku mendengar seperti suara Pak Tua Korna dari balik pintu bersi tersebut
“Bocah, hei kau mendengarkan ku bocah?”
“Pak Tua? PAK TUA! TOLONG AKU, TOLONG AKU, TOLONG AKU PAK TUA!”
Sambil memukul-mukul pintu besi
613Please respect copyright.PENANAh6y8o94DRw
ns 15.158.61.51da2