Innallaaha ma’ana.
“Nu?”
“Kenapa, Ma?”
Mendengar suara sang mama, Wisnu langsung menutup buku yang tengah ia baca dan melepas kacamata yang bertengger tampan di hidungnya.
“Kemarin nikahannya Tasya gimana?”
“Lancar, Ma. Alhamdulillah. Jojo juga udah nikah. Ayahnya Nadia meninggal.”
“Innalillahiwainailaihiraajiun ..”
“Tumben, Mama ke kamar Wisnu. Kenapa?”
“Emang nggak boleh?” Ucap Dewi dengan wajah cemberut yang dibuat-buat.
“Kan Wisnu cuma tanya, Ma.”
“Kamu masih akrab sama temen SMA kamu, kan?”
“Terus?”
“Kemarin Alysha ke butik Mama.”
“Iya. Terus?”
“Cantik, ya?”
Wisnu terlalu pintar untuk tidak tahu apa yang mamanya berusaha sampaikan.
“Punyanya Syafril itu.”
“Seriusan?!” Jawab Dewi terkejut.
“Iya, coba aja. Paling nggak lama lagi jadi.”
“Gitu, ya. Kalo Sheana?”
Dewi sebenarnya sudah malas membahas tentang gadis-gadis dengan putra semata wayangnya itu. Tapi, setelah bertemu dengan Alysha dan Sheana ia menjadi bersemangat lagi.
“Kok Mama kenal Sheana?” Tanya Wisnu dengan sedikit terkejut mengetahui mamanya mengenal Sheana.
“Kenal, lah. Alysha ke butik sama Sheana. Dia juga cantik, Nu.”
“Iya, tau.”
“Mama suka. Kamu gimana?”
“Suka juga. Eh?”
“Eh?”
“Harus ke kantor. Assalamualaikum.” Wisnu mencium punggung tangan Dewi cepat dan langsung berlari keluar rumah menghampiri motor kesayangannya.
“Oalah, Sheana, ta?” Ucap Dewi dengan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dewi mengambil ponselnya di atas meja dan mulai menghubungi nomor sahabatnya.
“Assalamualaikum.”
“...”
“Nanti jadi ke butik? Ada yang mau aku obrolin.”
“...”
“Iya. Jangan kesorean. Biar waktunya banyak juga.”
“...”
“Waalaikumsalam.”
Dewi mengakhiri telfon itu dengan wajahnya yang sumringah.
Wisnu melajukan motornya ke kantor Syaf. Belum sempat ia turun, ia melihat Syaf keluar dari kantor dan menuju parkiran.
“Syaf!”
“Woy, Nu. Ngapain?”
“Mau pulang?”
“Udah beres semua. Yuk ke rumah gue. Udah bertahun-tahun kan, nggak main ke rumah.”
“Lo terlalu sibuk, si. Mentok-mentoknya juga biasa kumpul di caffe.”
“Iya, sorry. Yuk, buruan.”
Syaf melajukan mobilnya dan Wisnu mengikutinya dari belakang.
Sampai di halaman rumah, Syaf dan Wisnu memarkirkan kendaraan mereka masing-masing.
“Lho, siapa ini, Syaf? Kok ganteng?” Tanya Fida dengan ceria. Fida memang mudah bergaul dengan siapa saja. Bahkan, dengan yang umurnya jauh di bawah.
“Wisnu, Tante.” Ucap Wisnu dengan menganggukkan kepalanya sopan.
“Udah lama nggak main ke sini. Ke mana aja?”
“Sibuk, Bu. Pebisnis sukses mah, gitu.” Bukan Wisnu, tapi Syaf yang menyahutnya.
“Alhamdulillah kalo kamu udah sukses. Tapi jangan sampe lupa nikah kayak yang di sebelah kamu, tuh.” Ucap Fida pada Wisnu.
Syaf mendengus mendengarnya dan Wisnu hanya meringis karena terlibat dalam konflik ibu dan anak ini.
“Masuk, gih! Ibu mau ke butik Tante Dewi, sama Ayah. Sheana ada di dapur, lagi buat kue. Minta dia buatin minum. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Jawab Syaf dan Wisnu serempak.
“Langsung ke kamar gue aja, ya.”
Sampai di kamar Syaf, Wisnu mulai mengamati sekitarnya.
“Nggak banyak berubah, Syaf.”
“Menurut gue nggak ada yang perlu diubah. Udah bagus gini.”
Wisnu berjalan menghampiri meja di kamar Syaf berniat untuk memainkan game di komputer yang ada di meja itu.
“Main game, Syaf.”
“Oke! Gue ke bawah dulu, bentar.”
Wisnu hanya mengangguk. Setelah duduk di kursi meja tadi, pandangan Syaf justru lebih tertarik pada bingkai-bingkai foto kecil yang ada di meja itu.
Bingkai pertama yang disentuhnya, adalah bingkai dengan foto Syaf semasa SMA. Tak hanya sendiri, ada Wisnu, Jojo, Alysha, dan Zivanna juga dengan pose-pose yang tidak karuan.
Bingkai kedua, ada foto keluarga Syaf. Lengkap, berempat. Bingkai ketiga, ada foto seorang gadis. Manis sekali, kata-kata yang melintas begitu saja di otaknya.
“Itu Sheana sendiri yang naruh fotonya di situ. Narsis, emang. Masa katanya biar gue nggak pernah lupain dia pas gue sibuk kerja.” Ucap Syaf dengan terkekeh.
Wisnu juga tak bisa menyembunyikan senyumnya.
“Kalo foto yang ini?” Tanya Wisnu dengan menunjukkan foto zaman SMA mereka itu.
“Itu baru gue bingkai beberapa hari lalu. Belum ada yang liat selain lo sama gue.” Ucap Syaf.
“Kita dulu lucu, ya.” Ucap Wisnu.
“Lo aja kali. Gue mah cool. Gue mandi dulu.”
Tak berselang lama setelah Syaf ke kamar mandi, kegiatan Wisnu bermain game kembali tertunda karena kedatangan seseorang.
“Bang --”
Sheana diam, Wisnu juga.
“Syaf lagi mandi.”
“Oh, gitu.” Ucap Sheana dengan meletakkan nampan berisi dua gelas teh hangat dan dua toples makanan ringan.
“Tidak perlu repot-repot.”
Sheana memandang sekilas Wisnu yang sedang tersenyum.
Jangan senyum. Jangan senyum. Jangan senyum.
“Silahkan diminum, Mas Wisnu.” Ucap Sheana.
“Terima kasih.”
Sheana hanya mengangguk sebagai jawaban dan melangkah keluar dari kamar Syaf.
Wisnu kembali melanjutkan game-nya. Tangan dan matanya ada pada komputer di depannya. Tapi tidak dengan pikirannya.
“Kok tadi dia pipinya tiba-tiba merah gitu, ya? Apa dia sakit?”
Seketika ia ingat dengan perkataaan Nadia di caffe.
“Perempuan kalau pipinya merah mendadak, padahal dia nggak sakit, biasanya dia malu.”
Wisnu geleng-geleng sendiri karena ingatannya yang satu itu.
“Malu?” Ia tertawa kecil.
Selesai mandi, Syaf dan Wisnu pergi ke masjid untuk salat jamaah.
“Lo ngajakin gue ke rumah lo pasti ada alesan khusus, kan?” Tanya Wisnu saat perjalanan pulang dari masjid.
“Ntaran, deh. Kalo udah sampe rumah, gue cerita.”
Sampai di kamar Syaf, kedua pria itu duduk di sofa yang ada di sana.
“Nu?”
“Hm?”
“Soal Alysha.”
“Kenapa lagi?”
“Beberapa hari lalu, gue ketemu dia di rumah sakit.”
Syaf memulai ceritanya. Wisnu menyimak dengan seksama sambil sesekali memakan cemilan dari toples yang dipegangnya.
“Sebenernya dia telfon Sheana. Tapi She tidur, gue nggak tega bangunin. Gue angkat, dong. Dia nangis gitu, panik. Dia bilang dia sendirian, takut.”
“Emangnya siapa yang di rumah sakit?”
“Nah, lo inget nggak ada sodaranya Alysha yang namanya Azzam?”
“Nggak ada, seinget gue.”
“Alysha bilang, Azzam anggota keluarga baru. Azzam istimewa.”
“Ngomong gitu?”
“Iya. Terus dia bilang mau ngenalin gue sama si Azzam Azzam itu.”
Wisnu gemas sendiri dengan kelakuan sahabatnya itu. Entah mau Syaf itu apa. Kadang terlihat siap melepaskan, kadang nampak tak ada niat pergi.
Wisnu langsung menarik Syaf keluar dari rumah dan memaksa Syaf masuk ke mobilnya sendiri setelah meminta paksa kunci mobil Syaf.
“Eh, Nu. Gue mau dibawa ke mana, si? Psikopat lo, ya?”
Wisnu memutar bola matanya malas. Ia melajukan mobil Syaf dengan kecepatan normal.
“Nu, gue ada salah apa sama lo?” Tanya Syaf dengan nada was-was.
“Drama, lo. Diem aja, bentar lagi sampe.”
Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sebuah rumah dengan halaman yang begitu asri.
“Lo mau bunuh gue di sini? Jurang, kek.” Ucap Syaf dengan nada kesal.
“Masuk, sana!” Perintah Wisnu dengan mendorong Syaf.
“Apaan? Rumah siapa sih, ini? Main nyuruh gue masuk aja, lo.”
“Rumah Alysha.”
Syaf menatap Wisnu kaget dan menatapnya tak percaya.
“Tau dari mana, lo?”
“Tanya Abigail tadi.”
“Nggak! Gue mau pulang.” Ucap Syaf sambil berjalan menuju mobilnya.
Wisnu menarik paksa lengan baju Syaf hingga mereka berdua sampai di depan pintu rumah Alysha.
“Assalamualaikum.” Ucap Wisnu setelah mengetuk pintu beberapa kali.
Tangan kiri Wisnu memegang lengan kanan Syaf kuat.
“Tega lo, Nu. Tega!”
Wisnu tak menghiraukan ucapan Syaf.
Tak berapa lama, terdengar suara Alysha dari dalam rumah.
“Sebentar, sayang. Ada tamu. Kamu ke kamar dulu, ya.”
Ada yang patah, tapi bukan pensil.
“Waalaikumsalam.” Alysha membuka pintu dengan raut wajah terkejutnya.
“Hay, Alysha.” Sapa Wisnu basa-basi. “Ayah kamu ada?”
“Ada. Silahkan masuk.”
Alysha masih kebingungan dengan dua pria yang tiba-tiba datang ke rumahnya. Terlebih, wajah Syaf yang terlihat enggan dan terpaksa ada di sini.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilahkan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.175Please respect copyright.PENANAp9Brep6SPj
(Ali bin Abi Thalib)
175Please respect copyright.PENANATW4iHoBEeo