Serahkan segala sesuatu hanya kepada Allah. Karena dia yang Maha Berkehendak atas segalanya.
Tok tok
“Dek?”
“Masuk aja, Bang. Nggak dikunci.”
Syaf membuka pintu kamar Sheana pelan. Takut mengganggu aktivitas adik kesayangannya itu.
“Lagi sibuk, Dek?” Tanya Syaf dengan suara rendah, melihat Sheana yang terlihat sedang sibuk dengan laptop dan ponselnya.
“Nggak, Bang. Tumbenan ke sini. Ada apa?” Jawab Shea dengan menaik-turunkan kedua alisnya setelah meletakkan laptop dan ponselnya di atas nakas.
“Loh, udah selese?”
“Belum. Tapi dikit lagi selese, kok. Nyusun ulang schedule aja.”
Melihat Syaf masih berdiri di pintu kamarnya, She hanya tertawa kecil. Baru kali ini ia melihat abangnya berwajah gugup.
“Sini, Bang. Mau di pintu terus?” Ucap Shea dengan menepuk-nepuk bagian kasur di samping tempatnya duduk.
“Ehm.” Syaf berdehem sebelum masuk ke kamar Shea.
“Idih! Ada apa, si?”
“Anu …”
“Apa?”
“Mau tanya.”
“Bentar, ada yang telfon.”
Syaf menghela nafas lega setelah telfon Sheana berbunyi.
“Assalamualaikum, Alysha.”
“...”
“Buku yang mana?”
Saat Sheana sedang larut dalam percakapannya di telfon, Salman datang dan mengisyaratkan kepada Syaf bahwa Fida memanggil Shea untuk ke dapur, membantu Fida yang sedang menyiapkan makan malam.152Please respect copyright.PENANAiAsCmF2Q5I
Setelahnya, Salman langsung pergi dari kamar Shea.
Shea yang tak menyadari kehadiran Salman masih terus bercakap dengan Alysha lewat ponsel.
Syaf mengurungkan niatnya sejenak setelah mendengar ada nama Diki dalam percakapan dua perempuan itu.
“Ha? Diki? Cie cie ..” Ucap Shea dengan tertawa.
“She!” Panggil Syaf pelan.
“Bentar, Lysh.” Shea sedikit menjauhkan ponselnya.
“Apa, Bang?!” Tanya Sheana sedikit kesal.
“Tadi Ayah ke sini. Kamu disuruh ke bawah sama Ibu, bantuin masak.”
“Oh, oke. Nih, tolong ngomong dulu sama Alysha. Sama nanyain buku yang mana. Terus kalo bisa Abang cariin sekalian di rak.”
Shea dengan seenaknya menggenggamkan ponselnya pada tangan Syaf. Setelah mengumpulkan segenap keberanian Syaf baru mendekatkan ponsel Shea ke telinganya.
“Halo, Alysha?”
“Eh, halo, Syaf. She mana, ya?”
Keduanya berusaha menutupi kegugupan masing-masing.
“Ada, di bawah. Tadi dipanggil Ibu.”
“Oh, gitu.”
Percakapan terasa kaku. Hening beberapa saat, hingga Syaf mulai bersuara lagi.
“Buku yang mana?”
”Ha?”
“Aku disuruh She, buat nanya ke kamu, buku yang mana?”
“Harry Potter dan Batu Bertuah. Sampulnya cokelat.” Ucap Alysha.
Tanpa menjawab, Syaf langsung bangkit dari duduknya dan menuju rak buku Sheana untuk mencari buku yang Alysha sebutkan.
Sedangkan di seberang sana, Alysha masih setia menunggu ada suara lagi dari sambungan telfonnya. Gadis itu kembali menyibukkan diri dengan aktivitas dapurnya, memotong wortel.
“Menikah?” Suara Syaf sukses membuat pergerakan tangan Alysha terhenti. Syaf memang masih menempelkan ponsel Sheana di telinganya. Belum sempat Alysha bersuara, suara Syaf terdengar lagi.
“Sejak kapan Shea baca buku nikah-nikah gini, sih?” Syaf berbicara pada dirinya sendiri. Seolah tak ada orang lain yang bisa mendengarnya.
Alysha tertawa kecil mendengar perkataan Syaf. Ia menertawakan keterkejutannya sendiri. ‘Kamu mikirnya kejauhan, Lysh.’
“Telfon sama siapa? Kok seru banget? ” Tanya Hamdan dengan setengah berbisik.
“Telfon Sheana, tapi tadi Sheana dipanggil Ibunya. Jadi, sekarang yang pegang telfonnya Sheana, Syafril.” Jawab Alysha tak kalah berbisik.
“Syafril temen SMA kamu itu? Anaknya Salman?”
“Iya, Ayah.” Jawab Alysha gemas melihat wajah antusias ayahnya itu.
“Ayah mau ngomong, bentar.”
“Eh, ngomong apa? Jangan aneh-aneh, deh, Ayah.” Ucap Alysha denagn menjauhkan ponselnya.
“Apanya yang aneh? Urusan lelaki ini. Siniin ponselnya.”
Dengan berat hati, Alysha pun menyerahkan ponselnya.
“Jangan aneh-aneh, loh, Yah.” Ucap Alysha denagn nada khawatir.
“Nih, Ayah nyalalin speaker-nya.” Hamdan pun menyerah dengan putri semata wayangnya itu.
“Assalamualaikum, Syaf?”
“Waalaikumsalam. Om Hamdan, bukan?”
“Tau aja kamu, Syaf.”
“Tau dong, Om. Kenapa, Om?”
“Gimana kabar kamu sekeluarga?”
“Baik, Om. Alhamdulillah. Om sama tante apa kabar?”
“Baik juga, kok. Alhamdulillah. Nggak nanya kabar Alysha?”
“Kayaknya dia baik-baik aja. Di telfon juga baik-baik aja.” Syaf terkekeh dengan ucapannya sendiri.
Merasa dari tadi terus ditatap Alysha, Hamdan akhirnya menyudahi perbincangan yang benar-benar singkat itu.
“Udah dulu ya, Syaf. Dari tadi diliatin mulu sama yang punya ponsel, takut Om ngomong macem-macem katanya. Assalamualaikum.”
“Oh, iya, Om. Waalaikumsalam.”
Setelah mendengar jawaban salam dari Syaf, Hamdan langsung pergi meninggalkan Alysha. Ia pun tak lupa menggoda Alysha dengan gerakkan alisnya yang dinaik-turunkan.
“Syaf, kalo bukunya belum ketemu, nggak apa-apa. Nggak usah dicari lagi.” Ucap Alysha.
“Iya, ini nggak ada di rak. Di tempat lain kayaknya, deh.”
“Ya udah, nggak apa-apa. Makasih dan maaf ngerepotin. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Setelah sambungan telfon terputus, Alysha kembali melanjutkan kegiatannya memotong wortel. Sedangkan Syaf masih menatap ponsel Sheana dengan tatapan tak percaya.
“Telfonan sama ayah mertua.” Ucapnya pelan dan ia pun tertawa mendengar ucapannya sendiri.
Ketika Syaf sedang menidurkan dirinya di kasur Sheana sambil menatap langit-langit kamar Sheana, Sheana masuk.
“Bang, disuruh turun, makan.”
Syaf mendudukkan dirinya kemudian beranjak keluar kamar Sheana.
“Kamu ngapain masih di situ? Ayo!” Ucap Syaf.
“Ponsel She, mana?”
“Itu, di atas nakas.”
“Telfonnya udahan?”
“Udah. Bukunya nggak ada di rak. Harry Potter dan Batu Bertuah.”
“Oh, ntar She cari lagi. Tadi Abang mau ngomong apa?”
“Jadi gini …”
Syaf berkata dengan raut wajah yang amat serius dan Shea pun mendengarkannya dengan tak kalah serius.
“Abang laper mau makan!” Ucap Syaf cepat sebelum berlari menuruni tangga menuju meja makan.
“Astaghfirullah … Sabarkanlah hamba, Ya Allah.” Ucap Shea dengan mengelus dadanya dan mulai melangkah mengikuti Syaf diiringi ucapan istighfar.
Selesai makan malam, Sheana dan ibunya membereskan meja makan, sedangkan Syaf dan ayahnya melenggang ke ruang keluarga.
“Yah, tadi Syaf telfonan sama Om Hamdan.”
“Lho, kok bisa? Ayah minta nomornya Om Hamdan sini.”
“Nggak ada. Tadi pake ponselnya Alysha. Pas Syaf lagi telfonan sama Alysha, Om Hamdan ikutan. Dia nanyain kabar keluarga kita.”
“Kamu telfonan sama Alysha?” Tanya Salman dengan senyum yang susah diartikan.
“Disuruh She. Pas Ayah manggil She dia lagi telfonan sama Alysha, terus Syaf disuruh gantiin.”
“Main, yuk. Ke rumah Om Hamdan.”
“Ayah aja sendirian.”
“Yakin nggak mau sekalian?”
“Sekalian apa, sih, Yah?”
“Ya … sekalian. Udah, lah. Ayah mau beresin berkas buat rapat besok.”
Sekarang hanya ada Syaf di ruang keluarga. Ia menyandarkan punggungnya pada sofa dan mulai berdialog sendiri.
“Iya, ke rumah Om Hamdan ntar sekalian, sekalian ngelamar. Gitu, kan, maksud Ayah? Sabar, Yah. Syaf ngurusin Gus Diki dulu.” Syaf terkekeh dengan gumamannya sendiri.
“Bang!”
Suara Sheana membuat Syaf yang hampir terlelap membuka matanya lagi.
“Belum kenyang sampe nambah es krim?”
“Ya kan tadi dessert-nya belum.” Jawab Sheana santai.
“Di kantor kamu ada yang namanya Diki?”
“Ada. Orangnya Alim banget. Abang nggak mungkin kenal. Abang kan jauh dari kata alim.”
“Dia sama Alysha gimana?”
“Cie, kok nanyain mereka berdua?”
“Jawab aja sih, Dek. Mereka kan dulu seangkatan sama Abang. Diki dulu keliatannya suka sama Alysha.”
“Ya terus apa urusannya sama Abang?”
“Ditanya malah balik nanya terus. Jawab, lah, Dek.” Ucap Syaf terdengar memohon.
‘Tumben banget Bang Syaf ngepoin orang.’
“Soal Diki yang suka sama Alysha, itu sih rahasia umum, ya. Soalnya kayak beda banget aja, perlakuan dia ke Alysha. Tapi aku denger-denger, bentar lagi Diki resign. Disuruh ikut ngurus usaha mertuanya juga.”
“Mertua?” Ucap Syaf setengah kaget.
“Iya, Diki udah nikah. Baru beberapa hari. Biasa lah, dijodohin. Tapi, ya, dia kayak masih belum bisa lepasin Alysha gitu aja. Apalagi Alysha kan bener-bener wanita idaman.”
“Jadi, yang ngelamar Alysha siapa?”
“Alysha itu --”
Lagi-lagi ada dialog yang harus terpotong. Fida memanggil Sheana untuk segera menuju dapur.
Syaf langsung mengambil ponsel dari celananya dan membuka aplikasi chat.
Nu, bukan Diki.
Sent
Cintailah kekasihmu (secara) sedang-sedang saja, siapa tahu di suatu hari dia akan menjadi musuhmu; dan bencilah orang yang engkau benci (secara) biasa-biasa saja, siapa tahu di suatu hari dia akan menjadi kecintaanmu.” (HR. At Tirmizi)
152Please respect copyright.PENANAg1CmwxJ30y