Jangan perlakukan Allah dengan keraguan. Perlakukan dengan keyakinan.
Suasana ruang makan di rumah Syaf begitu hening. Iya, denting sendok pun tak ada. Padahal, makanan sudah tersaji di sana.
"Ekhem," Syaf mencoba menghangatkan suasana yang sedari tadi begitu mencekam. "Ayo, dimakan! Alysha udah capek masak, lho."
Alysha memandang Syaf, bingung juga dengan situasi yang mereka hadapi saat ini. Dua orang tamu di rumah mereka sedang bertengkar, mungkin. Tapi, lewat hati. Atau dengan diri mereka sendiri barangkali. Sayang, Syaf dan Alysha bukan pembaca hati.
"She, Mbak masak kesukaan kamu ini, lho. Kok nggak dimakan?" Ujar Alysha.
Sheana mengangguk kecil, "Mbak Alysha ambil dulu buat Abang. Abis itu buat She."
Alysha tersenyum senang dan langsung mengambil tumpukan piring kosong di dekatnya.
Ia mulai mengambilkan nasi untuk Syaf dan Sheana.
"Wisnu sekalian," ucap Syaf yang dikuti anggukan kepala Alysha.
"Lauknya ambil sendiri, ya." Ucap Alysha.
"Ayo, Nu. Katanya mau numpang makan," Ucap Syaf dengan nada bercanda.
Sebelum datang, Wisnu memang menelepon Syaf untuk menanyakan alamatnya dan mengutarakan niatnya, yaitu numpang makan. Tentu saja, ia bercanda. Seorang pengusaha mapan seperti dia tidak perlu ke rumah teman untuk minta makan, bukan?
"Iya," Wisnu mulai mengambil lauk dan memakan makanan di hadapannya setelah usaha kerasnya mengesampingkan rasa yang berkecamuk dalam dirinya berhasil.
Syaf, Wisnu, Alysha, dan Sheana, makan dalam suasana yang canggung. Namun, obrolan bisnis Syaf dan Wisnu cukup mampu untuk menguranginya. Bukan Hanya para laki-laki yang asyik bercengkerama, Alysha dan Sheana juga bercakap mengenai kafe baru Sheana dengan suara rendah. Jadi, suara laki-laki itu tetap dominan.
"Sorry, Syaf," Wisnu berbicara setengah berbisik, "waktu itu gue nonjok lo."
Suara rendah Wisnu justru menarik perhatian Alysha dan Sheana yang sekarang sedang menatap Syaf dan Wisnu aneh.
"Ngobrolin itu ntar aja, ada She," Ucap Syaf tak kalah berbisik, "gue juga mau tanya soal Haris."
Wisnu menganggukkan kepalanya sebagai respons.
"Ngomongin apa?" Tanya Alysha.
"Urusan laki-laki, Lysh." Syaf menaik turunkan alisnya.
Aysha memutar bola matanya malas.
"Aku sama Wisnu ke depan dulu," ucap Syaf.
Alysha mengangguk sebagai jawaban.
Seperginya Syaf dan Wisnu, dua wanita itu mulai membereskan meja makan.
"Kok Mbak Alysha nggak bilang Mas Wisnu ada di sini?" Tanya She sambil terus mencuci piring.
"Mbak nggak tau, She. Kamu ngabarin Mbak, Wisnu ngabarin Mas Syaf. Jadi, gini, deh." Alysha mengambil alih aktivitas mencuci piring, "Kenapa? Harusnya nggak masalah, kan?"
"Iya, sih." Sheana mengerucutkan bibirnya, "Tapi, canggung aja, gitu. Keadaannya jadi kaku."
Alysha mengeringkan tangannya. Ia menghela nafas, "Sebenernya, kamu gimana sama Wisnu?"
Sheana mengerutkan kening, "Gimana yang gimana?"
"Kalo Wisnu jadi ngelamar, kamu bakal terima, kan? Alasannya apa?"
"Iya, deh, jujur," Sheana menarik nafas untuk mempersiapkan diri memberitahu Alysha, "Sebelum ada rencana lamaran, aku udah ada hati sama Mas Wisnu."
Alysha mendengarkan dengan seksama, tanpa ada niat menyela.
Sheana melanjutkan, "Aku liat dia pertama kali di jalan depan Kafe Magenta. Waktu itu udah sore, hujan pula. Dia ngasih payung yang dia bawa ke anak kecil, sedangkan dia ke Magenta pake jas buat pelindung. Sampe di kafe, ternyata dia temen Bang Syaf."
Bayangan tentang hujan, senja, dan perasaan yang berhubungan denga pria itu, dengan sopan mulai mengusik ketenangan hati dan pikirannya. Gerak-gerik pria itu, yang semakin dimakan waktu bukan semakin memudar namun senantiasa berpendar layaknya cahaya yang tak pernah diniatkan untuk padam. Sekarang, suasana Kafe Magenta sore itu menguar dari memoarnya yang selalu menolak lupa meski selalu ia coba.
Beginilah, manusia hanya perencana. Hal selanjutnya, biar Allah yang eksekusi saja. Mau dipakasakan sekeras apa pun, jika Allah tidak mengizinkan, maka yang terjadi adalah bentuk perlindungan-Nya.
Sedangkan di teras rumah, Syaf dan Wisnu saling bungkam cukup lama. Mereka memandang halaman depan rumah Syaf yang cukup luas dan banyak jenis bunga di sana, sangat asri.
"Gue seneng lo udah kayak dulu lagi, Wis." Ujar Syaf membuka percakapan mereka.
Wisnu tersenyum, "Alhamdulillah, doa lo juga."
Syaf membenarkan posisi duduknya, "Soal Haris gimana?"
"Nah, sorry buat tonjokkan gue waktu itu."
"Nggak apa-apa. Sakit, sih. Tapi, makasih banget, Nu."
Dua laki-laki itu menghela nafas bersamaan.
"Setelah lo pergi, Haris masih belum bisa diem. Perlu banyak orang buat ngendaliin dia. Nggak berapa lama, emosinya udah balik stabil dan dia cerita ke gue."
Syaf menaikkan alisnya penasaran, "Cerita soal apa?"
"Soal dia, lo, dan Alysha. Dia nganggep lo sebagai orang yang tiba-tiba muncul di tengah hubungan mereka. Haris nggak tau soal lo. Bahkan, dia sempet mau ngelamar Alysha, tapi keduluan. Wallpaper ponsel Haris juga foto dia sama Alysha."
Syaf mengangguk paham, "Sekarang gimana?"
"Dia berencana balik ke luar negeri. Mau menata hati dan emosi. Dia juga minta maaf, ke lo dan Alysha. Dia belum sepenuhnya ikhlas, tapi dia bakal berusaha."
Sore itu, gerimis mulai memberi titik-titik pada bumi. Bulir yang merupakan manifestasi dari 1% air dan 99% kenangan itu, membuat beberapa orang hanya terdiam. Menatap ke luar rumah meski hanya lewat kaca atau jendela. Mereka merenung, tentang apa yang pernah ada. Sebagian berharap yang hilang akan kembali dan sebagian yang lain berharap yang pergi tak akan pernah seenak hati meminta untuk kembali.
Banyak hati yang terlanjur kecewa karena sadar Allah telah mencemburui mereka. Namun, Sang Khalik memang begitu romantis. Dia tetap menyayangi para pendosa, mengasihi hamba yang lupa mengingat-Nya, memberi kejutan setelah ada ujian, dan selalu merindu mereka yang tak pernah meminta kepada-Nya. Ah, apa masih pantas kita disebut sebagai hamba? Terkadang, dengan sesuka hati menyalahkan keputusan-Nya dan meragukan keadilan-Nya.
"Mbak, She mau balik ke kafe." Ucap She setelah membereskan tasnya.
Alysha memandang ke luar lewat kaca, "Masih hujan, tadi ke sini naik apa?"
"Bawa mobil kok, Mbak."
Alysha mengangguk, "Ayo, aku anterin sampe depan."
"Boleh minta tolong nggak, Mbak? Bantu cariin resep cookies baru buat kafe. Mbak Alysha kan pinter masak."
Alysha tersenyum di balik nikabnya, "In Syaa Allah, nanti Mbak bantu."
Alysha dan Sheana berjalan berdampingan sambil terus bercerita mengenai cookies.
"Pamit dulu sana, sama abang kamu."
Sheana mengangguk patuh, ia berjalan mendekati Syaf yang masih berbincang hangat dengan Wisnu.
"Bang, mau balik ke kafe," ucap Sheana dengan mengulurkan tangannya.
Setelah Sheana mencium tangannya, Syaf mulai menasehati adik kecilnya itu. "Masih hujan, nyetirnya pelan-pelan aja. Pulang ke rumah jangan kemaleman. Kalo ada apa-apa telfon Abang atau Alysha."
Sheana mengangguk paham, "Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam,"
Sheana urung berbalik badan karena namanya dipanggil oleh Syaf.
"She! CV taaruf yang waktu itu gimana? Orangnya nanyain."
"Iya, ntar dibaca." Ucap She malas.
Wisnu hanya memainkan ponselnya dengan perasaan tak suka saat kakak dan adik itu membicarakan soal taaruf. Aaargh! Ingin rasanya ia pergi ke Mars saat itu juga. Iya, sih, salah gue. Tapi kok jadi gue yang paling sakit, sih? She's OK, harusnya gue bisa OK juga.
"Ngapain misuh-misuh sendiri?" Syaf bertanya meskipun ia sudah bisa memahami suasana hati sahabat baiknya ini. Sebisa mungkin, ia menahan tawa yang sedikit lagi akan meledak.
"Mas, mau aku buatin sesuatu?" Tanya Alysha setelah mobil Sheana keluar dari gerbang rumah.
"Nu, mau minum apa?" Syaf bertanya pada Wisnu.
Wisnu yang ditanya, hanya menggelengkan kepala seperti anak kecil.
"Nggak usah, Lysh," ucap Syaf kepada Alysha.
"Boleh ngomong sesuatu nggak?" ujar Alysha.
Syaf mengangguk dan Wisnu memandang ke arah Alysha sebentar.
"Apa Wisnu nggak pengin berusaha lebih keras lagi buat Sheana? Itu juga kalo Mas Syafril ngizinin, sih. Tadi, She sempet cerita ke aku. Jadi, aku berani ngomongin ini."
"Cerita apa?" Tanya Syaf.
"Ada, lah. Alysha ke dalem dulu, ya." Ucap Alysha sebelum berlalu masuk rumah.
"Cerita apa?" Wisnu mengulang pertanyaan Syaf.
"Mana gue tau, Nu. Tadi istri gue bilang 'ada, lah' gitu."
Wisnu mencebik mendengar jawaban Syaf.
"Nggak usah kayak anak kecil, deh," Syaf memandang Wisnu yang sedang memandang ponsel di tangannya.
Tak lama, Wisnu mengalihkan pandangannya ke arah Syaf dan menyodorkan ponselnya yang menunjukkan gambar sebuah cincin, "Bagus, nggak?"
Cincin itu tak terkesan mewah, sederhana tapi tak biasa saja. Syaf tahu benar itu bukan cincin sembarangan dan ia mengakui bahwa cincin itu sangat indah. Satu kata setelah ia mampu mengenali cincin itu : mahal!
"Bagus," ucapnya singkat sebagai jawaban.
Wisnu menghela napas, "Nanti gue kasih ke Mama aja."
"Emang tadinya lo mau beli buat siapa?"
"Buat Sheana," ucap Wisnu enteng.
Syaf termenung sejenak, "Gue setuju sama Alysha. Kalo lo mau perjuangin She lagi, gue izinin. Tapi dengan cara yang gentle. Masa lalu nggak bisa diulang, tapi kesalahan bisa mendapat perbaikan."
Wisnu memandang Syaf dengan tatapan yang sulit diartikan. Manifestasi dari beragam perasaan yang kini mengisi rongga hatinya. Ia merasa senang karena diperbolehkan memperjuangkan Sheana kembali. Namun, ia merasa takut dengan penolakan yang akan gadis itu lontarkan. Apakah dirinya benar-benar pantas?
"Ngomong, Nu. Gue nggak paham bahasa hati lo," ucap Syaf.
"Menurut lo, jawaban apa yang bakal gue dapet?"
"Apapun itu, seenggaknya lo udah berusaha,"
Wisnu mengangguk, "Azzam kok nggak keliatan? Di rumah Om Hamdan?"
"Azzam udah sama ibu kandungnya."
"Oh, gitu. Kapan gue bisa gendong anak lo?"
"Azzam?" Syaf mengerutkan kening.
"Anak lo sama Alysha, lah. Kan Azzam udah nggak di sini."
"Doain aja."
"Iya, gue doa. Tapi, kalo lo nya nggak usaha ya sama aja."
Mendengar perkataan Wisnu, Syaf mendengus sebal. Sedangkan yang telah mengatakannya hanya tertawa tak merasa bersalah.
"Eh, tapi gimana sama yang udah ngajuin taaruf?" Tanya Wisnu tiba-tiba.
"Mereka baru ngajuin taaruf, belum mengajukan lamaran. Lagipula, She juga belum kasih jawaban. Lo masih bisa nikung," ucap Syaf mantap.
"Nggak apa-apa?"
"Iya, kalo udah ada yang ngelamar, gue nggak bakal ngizinin lo. Nih, 'Janganlah seorang laki-laki melamar di atas lamaran saudaranya, hingga pelamar sebelumnya itu meninggalkan lamarannya atau ia mengizinkannya'. Hadits riwayat Bukhari."
Wisnu tersenyum puas, namun hanya sebentar. "Kalo lo ngasih gue restu, nggak?"
"Gue mah asal Sheana bisa bahagia dan dapet imam terbaik. Kalo itu bukan lo, ya, wallahu a'lam."
"Intinya, lo setuju nggak kalo gue sama Sheana?"
"Sejauh ini lo masih di posisi aman. Sekali lagi lo bikin adek gue nangis karena sedih, awas aja, lo!"
Percakapan dua sahabat yang lama tak bersua tak ikut mendingin seperti udara yang mengikuti senja. Justru menghangat meski tampa kopi, teh, dan semacamnya. Hanya saling mengungkapkan, meluapkan apa yang dirasa. Memberi teguran jika ada kekeliruan, selamat untuk keberhasilan, kritik untuk kekurangan, dan saran untuk perbaikan.
"Mas, sebentar lagi magrib," ucap Alysha yang sudah berdiri di samping Syafril.
"Eh?" Wisnu mengecek jam tangannya, "Iya, nggak kerasa. Gue balik dulu, ya."
"Salat dulu aja. Ayo, ke masjid. Deket, kok," ucap Syaf.
Wisnu menurut saja, "Iya, deh."
"Lysh, aku ke masjid dulu."
Alysha mengangguk dan mencium tangan Syaf.
"Lo berdua ... nggak kagok apa?" Ucap Wisnu menahan rasa geli.
Wisnu belum terbiasa melihat dua sahabat SMA-nya bertingkah seperti itu. Mulai dari Alysha yang memanggil Syaf dengan gelar 'Mas', mengambilkan makan, mencium tangan, dan yang utama : tinggal serumah berdua.
"Mas, nitip sesuatu," Alysha menatap Wisnu dengan tatapan horornya yang bercampur rasa kesal.
Syaf menaikkan satu alisnya, "Apa?"
"Cubitin tangan Wisnu!"
Setelah mengatakan apa yang ingin ia titip, Alysha masuk ke dalam rumah dan langsung menutup pintu. Syaf memandang pintu dan Wisnu sibuk tertawa di belakangnya.
"Nu, sebagai suami yang baik gue harus penuhin permintaan istri yang tadi."
Mengerti maksud Syaf, Wisnu langsung berlari dan Syaf mengejar di belakangnya.
Sesungguhnya orang-orang yang saling mencintai, kamar-kamarnya di surga nanti akan terlihat seperti bintang yang muncul dari timur atau bintang barat yang berpijar. Lalu ada yang bertanya, "Siapakah mereka itu?" Mereka adalah orang-orang yang mencintai karena Allah Azzawajalla.
(HR. AHMAD)
172Please respect copyright.PENANAokGWHCOBJx