Bukan soal mendapatkan. Apalagi memaksakan. Ini adalah soal mengikhlaskan. Ya, cinta.302Please respect copyright.PENANADeLqBOcs4T
302Please respect copyright.PENANAWCIXPIiDiH
Hari ini Abigail kembali masuk kantor. Ia menghadiri pertemuan-pertemuan yang sempat tertunda, bersama Sheana tentunya. Dalam perjalanan dari tempat satu ke tempat yang lain, mereka selalu bercakap-cakap. Tentang kantor, para pegawainya, sampai hal-hal yang lebih pribadi.
"Kayaknya kamu cepet banget akrab sama Alysha?" Tanya Abigail.
"Oh iya, Pak. Alysha itu orang kedua yang saya temui di kantor setelah Pak Sanip. Terus Alysha itu orangnya baik." Jawab Sheana.
"Ohh."
"Kenapa waktu itu Bapak manggil saya istrinya Pak Sanip, Pak?"
Mendengar pertanyaan Shea, Abigail cukup terkejut. Ternyata Shea masih mengingat kejadian itu. Agak malu, sih. Tapi nggak apa-apa. Toh, udah lewat juga.
"Soalnya baju kamu hampir sama kaya baju yang dipake istrinya Pak Sanip pas dateng ke kantor."
"Ih, baju kaya gitu kan ada banyak, Pak Bos."
"Saya kan lagi nyari istrinya Pak Sanip, jadi saya kepikirannya ya istrinya Pak Sanip."
"Kok bisa Bapak nyariin istrinya Pak Sanip?" Tanya Shea yang mulai kepo.
"Kamu itu banyak nanya, ya. Saya ada urusan. Nggak usah mikir yang enggak-enggak. Ini juga tentang Pak Sanip."
"Saya kan cuma pengin tau, Pak. Eh, Pak Bos. Yang pake cadar waktu itu siapanya Pak Bos? Calon istri, ya?"
Abigail tertegun mendengarnya. Ia sengaja beberapa hari berdiam diri di rumah untuk menenangkan pikiran, malah sekarang ia kembali dihadapkan pada topik ini.
"Kenapa emangnya? Kamu udah ada calon suami?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulutnya. Ia sendiri kaget, tapi melihat ekspresi Sheana yang biasa-biasa saja membuatnya sedikit lebih tenang.
"Zivanna cocok kok Pak, sama Bapak. Nggak tau, si. Saya ngerasanya cocok aja." Ucap Shea dengan ekspresi menerawang.
"Pak Sanip juga bilang gitu." Ungkap Abigail masih dengan fokusnya terhadap jalan yang ia lalui.
"Nah, kan. Saya bilang juga apa, cocok. Oh iya, pertanyaan Bapak yang tadi, saya belum ketemu sama yang bener-bener saya cari, Pak."
'Ah, jadi bukan aku. Aku, kan sudah pernah bertemu. Sering, malah.' Abigail membatin.
"Oh, kamu nggak mengagumi laki-laki seorang pun? Yang bukan keluarga kamu."
"Ada, si."
'Selesai, Abigail. Selesai.' Ucap Abigail pada dirinya sendiri.
"Kenapa jadi bahas ginian ya, Pak?" Ucap Shea terkekeh.
"Kamu yang mulai." Balas Abigail lirih dengan senyum kecutnya.
Tak lama, Abigail menghentikan mobilnya di sebuah caffe. 'Magenta Caffe', caffe favoritnya.
"Ngapain ke sini, Pak?" Tanya Sheana dengan dahi berkerut.
"Ada temen yang minta ketemu di sini. Katanya cuma sebentar. Mau nolak nggak enak, soalnya kami udah sering kerja sama." Terang Abigail.
Sheana berjalan di belakang Abigail masuk ke dalam caffe. Caffe terasa cukup ramai. Banyak anak muda berkumpul di sini. Ada yang mengerjakan tugas, ada yang sekedar ngumpul. Tanpa terasa langkah kaki Abigail yang Sheana ikuti, membawanya ke sudut caffe, ke meja yang dekat dengan kaca.
Sheana yang masih menunduk merasa aneh dengan jantungnya yang berdebar lebih dari biasanya. Ia juga merasakan hawa panas di sekujur tubuhnya. Ia merasa gugup. 'Ada yang nggak beres. Kalau sakit jangan sekarang, Ya Allah.'
"Assalamualaikum." Ucap Abigail.
"Waalaikumsalam." Jawab suara yang dingin dan penuh karisma, suara yang mulai sekarang akan menjadi suara favorit Sheana setelah suara ayahnya.
Langkah Abigail berhenti tepat di spot favorit Shea itu. Shea yang sekarang mulai lebih waspada, juga berhenti tepat dua langkah di belakang Abigail. Abigail mempersilahkan Sheana untuk duduk terlebih dahulu.
Sheana mengangguk dan melaksanakan perintah bosnya. Setelah Sheana duduk, Abigail memposisikan dirinya duduk di kursi yang sama dengan Sheana dengan jarak aman.
Saat Sheana menegakkan kepala, pandangannya bertemu dengan manik hitam pekat pria yang duduk di hadapannya.
'Temennya Bang Syaf, pria senja.'
Sadar ada yang tidak wajar, Sheana dan si pria senja segera mengalihkan pandangan masing-masing ke sembarang arah.
Tanpa Sheana tau, debaran jantung laki-laki di hadapannya juga dirasa aneh oleh pemiliknya. Jantung itu berdebar dengan lebih cepat, namun tanpa irama yang jelas.
"Ehm." Suara si pria senja membuka percakapan.
Sebenarnya, ia hanya ingin menutupi rasa gugup yang tiba-tiba melandanya.
"Jadi, maksud saya minta bertemu di sini adalah untuk memberikan pernyataan persetujuan untuk kerja sama yang ditawarkan perusahaan kamu kemarin, Bi."
"Ya Allah, Wisnu. Lewat email, kan bisa. Kamu tidak harus jauh-jauh kemari." Balas Abigail.
"Lusa pertemuan resminya. Jika saya tidak datang, Ayah saya yang akan datang. Saya tidak enak saja jika lusa kamu tidak melihat saya dalam pertemuan."
"Santai saja, Nu. Kita kan sudah biasa kerja sama. Kamu masih sama, ya. Selalu saja tidak enakkan dengan orang lain." Ucap Abigail dengan kekehannya.
Wisnu hanya tersenyum untuk sebagai jawaban.
"Apa dari tadi kamu tidak memesan sesuatu, Nu?."
"Ah, tidak. Aku hanya sebentar di sini. Kalau kalian mau pesan, pesan saja, biar saya yang bayar."
"Ehh tidak, Nu. Kami juga mau langsung kembali ke kantor kalau pertemuan ini sudah selesai. Sekretarisku sepertinya sudah kelelahan. Dari tadi diam saja, padahal biasanya cerewet."
'Alhamdulillah, cuma sekretaris. Eh?'. Wisnu membatin.
"Kalau begitu saya pergi dulu. Ada yang harus saya urus juga di tempat lain. Assalamualaikum." Wisnu mengucapkan kalimat itu dengan lebih tenang dan santai.
"Waalaikumsalam. Hati-hati, Nu." Pesan Abigail yang dihadiahi senyum menawan oleh Wisnu.
"Assalamualaikum," ucap Wisnu pada Sheana karena sedari tadi gadis itu hanya diam.
"Waalaikumsalam, Pak Wisnu." Balas Sheana lirih.
Wisnu segera keluar dari caffe, masih dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Entah kenapa saat ini ia merasa suasana hatinya menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Di dalam caffe, Abigail dan Sheana juga beranjak dari tempat duduk mereka.
"Kenapa dari tadi diem mulu? Capek, ya?" Tanya Abigail.
"Enggak lah, Pak. Saya kan selalu menjaga stamina." Ucap Sheana yakin.
"Alah. Tadi aja pas ada Wisnu diem aja. Apa jangan-jangan kamu ada perasaan ya sama Wisnu?"
"Ih, apaan sih, Pak!" Ucap Sheana mencoba mengelak. Tapi bagaimana lagi, mendengar nama Wisnu saja pipinya langsung merona.
Melihat itu, Abigail menggodanya lagi.
"Oh, jadi bener. Ternyata yang kamu kagumi itu ..."
Ucapan Abigail terhenti saat Sheana memberi isyarat agar Abigail diam dengan meletakkan jari telunjuk di bibir gadis itu sendiri.
Sheana lalu melangkah keluar caffe, meninggalkan Abigail yang masih berdiri dengan senyum kecutnya.
'Masih ada celah di hati kamu nggak She, buat aku masuk? Liat tingkah kamu pas ada Wisnu, aku ngerasa hati aku kayak ada panas-panasnya gitu.'
Orang bilang cinta butuh pengorbanan. Tapi Abigail tak sampai berfikir bahwa yang harus dikorbankan adalah rasa cinta itu sendiri. Sekarang, ia akan membunuh rasa itu. Membiarkannya mati tertikam dirinya sendiri. Berikanlah yang terbaik, Ya Allah.
Wisnu mengendarai motor gedenya dengan kecepatan sedang. Ia menuju ke sebuah tempat di mana ia akan mengurus urusan yang ia katakan tadi.
Setelah beberapa menit, ia sampai di kantor Syaf. Urusannya adalah dengan pria itu. Bukannya ia pilih kasih, ia memilih Syaf karena tidak ingin menambah pikiran Jojo yang sedang disibukkan dengan persiapan pernikahan. Meskipun sebenarnya antara mereka bertiga tidak ada kata keberatan untuk membantu satu sama lain.
Wisnu sudah tak asing lagi di kantor itu. Wisnu, Jojo, dan Syaf cukup sering berkumpul di kantor Syaf.
"Assalamualaikum, Syaf."
"Waalaikumsalam. Masuk aja, Nu."
Syaf segera bangkit dari kursi kerjanya menyambut Wisnu dan mengajaknya duduk di sofa yang ada di ruang kerja Syaf.
"Mau minum apa, Nu?"
"Nggak usah. Gue bentaran doang."
"Seriusan nih nggak mau minum? Jangan jaim-jaim kayak Jojo, lah. Hahaha!"
"Bener, kok. Gue bentaran doang."
"Eh, kenapa,nih? Kayaknya serius banget yang mau diobrolin."
"Lo sama Alysha gimana, Syaf?"
Syaf menaikkan kedua alisnya mendengar pertanyaan Syaf.
"Kok lo nanyain itu, sih?"
"Jawab aja, kali."
"Ya, gini-gini aja. Sampe sekarang gue nggak tau dia pindah ke mana. Belum lama ini gue ketemu bapaknya Alysha. Tapi waktu kayak nggak ngijinin gue buat nanya dan tau gimana Alysha sekarang."
"Gue yakin lo bakal ketemu dia lagi."
"Balik lagi ke lo, deh. Ada yang penting, kan?"
"Gue bakal nikah setelah lo nikah." Ucap Wisnu dengan pandangan lurus ke depan.
"Lo udah ada calon? Tinggal nikah duluan, nggak perlu nunggu gue. Lagian gue belum pasti kapan nikah."
"Belum ada. Pokoknya, gue pengin setelah Jojo itu lo yang nikah duluan."
"Tapi kenapa lo bahas ini?" Tanya Syaf dengan dahi berkerut.
Wisnu menghela nafas, lalu menundukkan pandangannya menatap lantai.
"Gue tadi ketemu temen gue dan dia sama sekretarisnya. Gue ngerasa ada yang aneh sama gue pas liat sekretaris temen gue itu. Gue nggak sempet kenalan, dia kayaknya pendiem."
"Wow! Untuk pertama kalinya lo curhat soal perempuan. Selamat, Bro! Hahaha! Sekuat apa pesona sekretaris itu si sampe-sampe seorang Wisnu ngomongin dia?"
"Pakeannya seksi, ya?" Lanjut Syaf setengah berbisik.
"Enggak. Dia jauh dari kata itu malah. Dia pake jilbab, Syaf. Pakeannya Syar'i." Jawab Wisnu dengan memandang Syaf.
"Alhamdulillah. Gue kira lo suka yang seksi-seksi gitu. Jadi lo jatuh cinta sama dia?"
Wisnu kembali menatap lurus ke depan. Jari-jari kedua tangannya saling bertautan.
"Gue nggak tau gue dalam keadaan apa sekarang, Syaf." Ucap Wisnu serius.
"Istikharah. Minta petunjuk sama Allah." Ucap Syaf mantap.
"In syaa allah. Makasih udah mau dengerin cerita gue."
"Ah, itu sih masih kurang banyak. Gue seneng lagi kalo lo mau cerita. Biasanya kan, gue."
Tunggulah aku sampai aku benar-benar yakin dengan pilihanku. Lalu aku datang ke rumahmu. Memastikan diri di depan ayahmu, aku mampu menjadi imammu. Jika kau mulai bosan menunggu, tolong yakinkan saja raguku.
ns 15.158.61.5da2