Apa hal terindah yang ada pada sebuah perpisahan?169Please respect copyright.PENANAUpmfTBqqp7
Pernah ada sebuah pertemuan. (Belantara Aksara)
“Ya Allah yang Maha Pengasih, di malam yang khusyuk ini dan di atas hamparan sajadah ini, hamba kembali mengangkat kedua tangan hamba, masih bersimpuh memohon ampun atas setiap dosa hamba dan juga dosa orang-orang yang hamba sayangi. Hamba menyadari ibadah hamba yang cacat, namun yang Engkau berikan justru adalah sempurnanya nikmat.
Di malam yang syahdu ini hamba memohon ijabah atas doa-doa hamba, begitu juga dengan doa orang-orang yang hamba sayangi. Ya Allah, hamba tak ingin lagi mendiskusikan sebuah nama, terlalu meragukan kepastian-Mu, rasanya. Hamba hanya mohon dekatkanlah apa-apa yang menjadi takdir hamba. Damaikanlah hati hamba atas tiap-tiap ketentuan-Mu yang sudah pasti jauh lebih indah dari rencana manusia.”
***
Syaf dan Shea berada di ruang keluarga untuk bersantai melepas penat setelah seharian membereskan rumah. Bahkan, Shea beraktivitas hampir tiada henti. Mulai dari mencuci baju, mencuci piring, menyapu, mengepel, bahkan memasak.
“Bang, She kayaknya kekenyangan, deh. Cape banget, juga. She ke kamar dulu, ya.”
“Kamu, si. Dari pagi nggak berhenti.”
“Mumpung ada waktu luang panjang, Bang. Bantu Ibu.”
She beranjak dari ruang keluarga begitu saja tanpa membawa ponselnya.
Ponsel Sheana menyala. Ada panggilan masuk dari Alysha. Syaf langsung mengangkat panggilan itu.
“She, Azzam, She. Dia kecelakaan. Sekarang di Rumah Sakit Sejahtera. Aku sendirian, takut.”
Syaf langsung memutus sambungan telfonnya setelah mendengar suara Alysha yang menangis ketakutan, Alysha panik. Syaf tidak tega membangunkan Sheana yang mungkin tengah tertidur lelap di kamarnya. Ia berpikir Sheana terlalu lelah karena gadis itu tak berhenti mengerjakan pekerjaan rumah sejak pagi.
Syaf langsung menyambar kunci mobilnya di atas meja dan bergegas menuju rumah sakit yang telah disebutkan Alysha.
Sampai di depan ruang UGD, Syaf melihat seorang perempuan berkhimar hitam sedang menunduk dalam-dalam di kursi tunggu. Bahunya bergetar, ‘pasti dia menangis’, pikir Syaf.
“Lysh ..” Panggil Syaf pelan.
Gadis itu tak kunjung merespons. Ia masih larut dalam tangisannya yang semakin penuh isakkan.
Syaf merendahkan posisi tubuhnya. Satu lututnya ia gunakan untuk menopang tubuh di lantai. Ia bingung harus berbuat apa. Tau begini, lebih baik ia membangunkan Sheana. Pasti Sheana bisa memberikan Alysha sebuah pelukan untuk menenangkan gadis ini.
Dari posisinya yang lebih rendah, Syaf bisa melihat wajah Alysha yang basah oleh air mata. Gadis itu masih berusaha menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya.
Syaf menyadari bahwa sejak tadi banyak orang yang memperhatikan interaksi mereka berdua. Sekarang ia merasa serba salah!
“Lysh ..”
Masih tak ada respons. Tangisnya sudah sedikit reda karena menyadari ada orang lain di hadapannya. Tapi ia masih sesenggukkan.
“Lysh, diliatin orang. Dikira aku abis ngapa-ngapain kamu.” Ucap Syaf dengan lembut.
Alysha meraih tas di sampingnya dan mengeluarkan sebungkus tisu wajah yang masih baru. Wajahnya basah dan memerah. Imut! Eh?
Syaf masih memeperhatikan gerak-gerik Alysha yang kesulitan membuka bungkus tisu itu karena tangannya terlihat lemah, bergetar, dan sesenggukkan yang belum hilang.
Dengan sigap Syaf meraih bungkus tisu itu dan membukanya. Diambilnya beberapa lembar, lalu diulurkan pada Alysha.
“Aku pergi sebentar, kamu jangan ke mana-mana.” Ucap Syaf.
Tanpa menunggu jawaban dari Alysha Syaf beranjak pergi dari hadapan Alysha.
Tak perlu waktu lama, Syaf sudah kembali ke tempat Alysha dengan membawa sebotol air mineral dan beberapa bungkus roti. Syaf melihat Alysha sedang mengutak-atik ponsel.
“Ini,” Syaf mengulurkan kantong plastik putih yang ia bawa. “Minum sama makan dulu. Nangis juga butuh tenaga.”
Alysha mengalihkan pandangannya dari ponsel dan menatap kantong plastik putih itu. Tak lama ia alihkan pandangannya ke wajah Syaf.
Tak ada ekspresi dan auranya begitu dingin. Alysha mengambil kantong plastik putih itu dari tangan Syaf. Syaf segera duduk di bangku tunggu yang sama dengan Alysha, sengaja ia ambil jarak agar tak terlalu dekat.
Keduanya diam. Syaf menunduk sambil memainkan jemarinya. Alysha juga menunduk menatap pemberian Syaf.
Alysha mengambil botol air mineral yang diberikan Syaf. Sudah berulang kali mencoba, ia masih tak bisa menaklukkan tutup botol biru muda itu. Justru tangannya yang sekarang terasa sakit.
Syaf langsung mengambil botol itu dari tangan Alysha dan dengan mudahnya tutup botol itu mau terbuka. Syaf mengulurkan botol itu lagi ke gadis di sampingnya.
Alysha minum beberapa tegukan sambil mengumpulkan nyali untuk berani bersuara terlebih dahulu.
“Kok kamu bisa di sini, Syaf?” Tanya Alysha hati-hati.
Syaf menaikkan pandangannya lurus ke depan dan menyandarkan punggungnya.
“Tadi, aku yang angkat telfon kamu. Sheana lagi tidur, nggak tega banguninnya. Keliatannya dia lagi capek banget.”
“Maaf, ya. Udah ganggu.”
“Nggak perlu minta maaf, lah. Kan temen.” Ucap Syaf sebelum dia merutukki ucapannya sendiri. Otaknya berkata itu benar. Tapi hatinya merasa tertohok oleh kata-kata dari mulutnya itu.
Alysha mengangguk pelan sebagai respons.
Suasana kembali hening untuk sepersekian detik.
“Azzam itu siapa, Lysh? Seinget aku keluarga kamu nggak ada yang namanya Azzam, deh.”
Akhirnya pertanyaan itu berhasil juga ia keluarkan lewat mulutnya. Hah!
“Azzam anggota keluarga baru. Dia istimewa.”
Syaf hanya diam.
“Nanti aku kenalin sama Azzam, ya, Syaf?” Ucap Alysha lagi dengan sebuah senyuman di bibirnya.
“Sure.”
“Makasih, ya. Buat makanan sama minumannya.” Ucap Alysha tulus.
Alysha mulai merasa tak nyaman dengan kecanggungan yang ada di antara dirinya dan Syaf.
Syaf beranjak dari duduknya.
“Aku pulang dulu. Tadi buru-buru, jadinya nggak pamit sama orang rumah. Kalo ada apa-apa jangan sungkan telfon, Lysh.”
“Iya, makasih. Hati-hati.”
Semuanya mulai kembali seperti sedia kala, biasa saja tanpa harus terlalu memperhatikan rasa.
Sampai di mobil, Syaf langsung mengecek ponselnya yang ia tinggal di dalam mobil. Benar saja, ada banyak missed call dari sahabat-sahabatnya.
Jojo, Wisnu, Abigail, Zivanna, hingga Sheana. Syaf juga tidak tahu kapan pastinya ia mulai menyebut Abigail sebagai sahabatnya. Sejak Abigail menikah dengan Zivanna, mungkin.
Syaf masih menatap heran ponselnya yang menampilkan daftar missed call sampai sebuah panggilan lagi masuk di ponselnya.
“Assalamualaikum, Nu. Kenapa? Kok kalian telfon gue?”
“Waalaikumsalam. Syaf, lo harus ke Masjid yang di deket rumah Nadia. Tau, kan? Cepet! Darurat, nih.”
“Nadia calonnya Jojo?”
“Iya, cepet. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Setelah menutup telfon, Syaf langsung memacu mobilnya.
“Ayo, buruan, Syaf!” Ucap Wisnu sebelum melenggang pergi meninggalkan Syaf yang baru sampai dan diliputi banyak pertanyaan.
Di dalam masjid, Syaf melihat Sheana, Zivanna, Abigail, Wisnu, beberapa orang tak dikenalnya, dan dua orang yang terlihat akan melangsungkan ijab qabul. Eh?
“Ayah Nadia meninggal, jadi Jojo sama Nadia harus menikah sekarang juga.” Ucap Wisnu berbisik.
“Innalillaihiwainnailaihiraajiun ..”
“... Sah?”
“Saaaahhhh!!”
Selesai acara ijab qabul, orang-orang kembali mengurus jenazah Ayah Nadia. Nadia masih menangis sesenggukkan di pelukan Jojo.
Selesai pemakaman, orang-orang mulai beranjak pergi. Hanya tersisa beberapa orang di sana. Jojo, Nadia, sahabat mereka, dan paman-bibi Nadia.
“Udah, Nad. Ikhlas.” Ucap Jojo rendah. Terdengar begitu tulus dan juga ada kesedihan di suaranya.
“Aku nggak punya siapa-siapa lagi.”
“Kamu nggak boleh ngomong gitu. Kamu masih ada Bibi, Paman, saudara, sahabat kamu di sini. Jangan lupa, kamu juga sudah punya suami sekarang. Kamu seorang istri, Nak.” Ucap bibi Nadia dengan menahan tangis. “Jangan bersedih terlalu lama. Kasihan suami kamu.”
“Nak Jojo, setelah kakak saya meninggal dan sebelum Nadia menikah sama kamu, Nadia adalah tanggung jawab saya. Tapi sekarang, tanggung jawab saya selesai.
Saya serahkan tanggung jawab atas Nadia sepenuhnya sama kamu. Saya percaya sama kamu sama seperti almarhum kakak saya mempercayai kamu.” Ucap paman Nadia dengan tatapan yang begitu dalam kepada Jojo.
“In Syaa Allah. Saya akan menjaga Nadia dengan baik. Doakan saya agar saya bisa menjadi imam yang baik untuk Nadia.” Ucap Jojo dengan manatap dan raut wajah yang begitu serius.
Sahabat-sahabatnya pun ikut terharu menyaksikan kisah keluarga ini. Tak ada Jojo humoris yang bisa mereka lihat saat ini.
Takdir. Bukan yang terindah versi kita, tapi yang terbaik versi-Nya.169Please respect copyright.PENANAdqNy1fl2kK
(Belantara Aksara)