Seseorang tak akan pernah kecewa pada cinta yang diberikan padanya, melainkan pada cinta yang ia harapkan. (Marty Rubin)
"Emang apa, sih, yang ada di pikiran Mas Wisnu?" Tanya Sheana tiba-tiba.
Ketiga orang di sana menatap Sheana tak mengerti.
Sheana menghembuskan napasnya kasar, "Maaf."
Gadis itu lalu berdiri dan mengajak Alysha untuk kembali ke kafe. Wisnu tersenyum kecil menatap kepergian Sheana.
"Masih mau lanjut?" Tanya Syaf.
"Lanjut, dong." Wisnu menatap dua orang yang tengah berjalan ke arah dirinya dan Syaf, "Itu orang-orangnya Haris."
"Selamat siang, Pak Wisnu." Ucap salah satu dari mereka.
Wisnu mengangguk sebagai jawaban, "Karena kalian udah ada di sini, saya mau ke kantor. Masih ada yang perlu saya urus. Maaf, nggak bisa nunggu Haris lebih lama."
"Tidak apa-apa, Pak. Kami sangat berterima kasih karena Pak Wisnu mau menolong Pak Haris."
"Sama-sama. Kalau gitu saya dan teman saya pergi dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."205Please respect copyright.PENANAOG8nVsLWr9
205Please respect copyright.PENANAnsZKYLQOXH
Sebelum kembali ke kantornya, Wisnu mengantar Syaf ke kafe Sheana terlebih dahulu. Dalam perjalanan, Syaf bertanya kepada Wisnu kenapa pria itu bisa berada di tempat kecelakaan Haris.
"Ya, kebetulan aja gue di situ. Niatnya mau ke kafe yang lumayan baru itu, loh."
"Ha? Kafe punya Sheana?"
"Eh? Itu punya Sheana?" Wisnu mengangguk-angguk paham.
"Kafe yang paling baru di daerah sana ya itu doang."
Setelah Syaf turun dari mobil, Wisnu langsung melajukan kembali mobilnya. Syaf sudah memintanya untuk turun, namun Wisnu berkata jika ia masih punya banyak urusan.
Urusan yang Wisnu maksud, memang ada di kantornya. Tapi, bukan soal pekerjaan. Melainkan urusan dengan sang ayah. Ia ingin mengutarakan niatnya untuk melamar Sheana, sekali lagi.
Bima tersenyum mendengar penuturan putranya itu, "Kamu yakin bakal diterima?"
"Nggak juga. Kemungkinan diterima cuma sekitar 1%." Wisnu meringis mendengar perkataannya sendiri.
"Papa oke-oke aja. Udah bilang Mama?"
Wisnu menggeleng sebagai jawaban.
Di lain tempat, secangkir matcha latte menemani Sheana dan senja sore ini. Tak ada Alysha, tak ada abangnya. Bukan berada di kafe miliknya juga. Gadis itu memilih beranjak ke kafe Magenta setelah Syaf menjemput Alysha pulang.
Ia menghirup dalam-dalam aroma minuman favoritnya itu, setelah aroma hujan menemaninya sepanjang perjalanan. Langit kian menjingga, hujan seolah bercanda untuk benar-benar reda.
Terlalu bodoh rasanya, jika harus mengulang satu kesalahan yang sama. Menaruh harapan kepada apa-apa yang belum tentu dipastikan. Kepada hati kah ia harus bertanya? Jika iya, apa hatinya masih mampu untuk berkata-kata?
Tanyailah hati tentang segala perkara karena sesungguhnya ia adalah saksi yang tidak akan menerima suap. (Ali bin Abi Thalib)
Semoga hujan tak tergesa mereda, agar pekikan hatinya benar-benar tak bersuara. Semakin ditahan, bertambah lantang. Sangat menyesakkan, namun sulit diungkapkan. Ingatan berjejak perihnya satu pengharapan selain kepada Yang Maha Mengabulkan. Iya, bodoh. Tapi memang begitu, kan? HR. Abu Dawud dan Ahmad : Cinta bisa menghilangkan daya kritis dan rasionalitas seseorang. Beliau SAW bersabda, "Cintamu kepada sesuatu menjadikan kamu buta dan tuli." Semoga saja, kita bisa menempatkan rasa cinta sesuai kadar dan posisinya.
Untuk kesekian kalinya setelah tiba di kafe Magenta, Sheana menghembuskan napasnya lelah. Tapi, sama sekali tak mengurangi beban yang sedang menimpanya. Terlalu banyak mengeluh, ya? Wajar, sifatnya manusia.
Bulan sudah menggantikan matahari memberi sinar walau tak sama. Sajadah ungu terhampar di satu ruangan minim cahaya di rumah keluarga Salman. Sheana, duduk bersimpuh penuh kerendahan hati, berdialog dengan Sang Pemilik Hati.
Gadis itu memohon ampunan, ia bertanya, berkeluh kesah, dan tentu saja meminta. Kenapa takdir harus melemparnya ke dalam pilihan yang sulit. Semilir angin malam ini mampu menyejukkan suasana hati dan pikirannya yang kalut. Semrawut. Carut-marut.
Suasana pagi hari di rumah Salman terasa sedikit berbeda. Di meja makan, sudah ada Salman, Fida, Syaf, dan Alysha yang duduk dengan tenang menunggu Sheana.
Sheana ikut bergabung di meja makan, "Tumben ngumpul semua?"
"Selamat pagi, She." Ucap Alysha.
Sheana tersenyum seceria biasanya, "Pagi, Mbak Alysha."
Mereka sarapan dengan tenang, diselingi denting sendok dan obrolan bisnis Salman dan Syaf.
"She, hari ini ke kafe?" Tanya Fida setelah acara sarapan bersama itu selesai.
"Iya, Bu. Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Lysha, bantu Ibu beresin piring, ya." Ucap Fida.
Sheana mencoba mengambil alih tumpukan piring di tangan Fida.
"She, aja, Bu."
Gerakan Sheana terhenti oleh panggilan Salman.
"She, ikut Ayah ke taman belakang. Syaf juga."
Syaf segera bangkit mengikuti Salman yang sudah mengambil langkah telebuh dahulu. Sedangkan Sheana menatap bingung Fida dan Alysha bergantian.
"Ada apa, ya, Bu?" Tanya Sheana dengan suara rendah.
Fida tersenyum, "Kalo kamu nggak ke sana, kamu nggak akan pernah tau."
She berpikir sejenak, "Ya, udah. She ke Ayah sama Abang dulu."
Di taman belakang rumah, Salman duduk di ayunan dengan diapit oleh Syaf di samping kanannya dan Sheana di samping kirinya.
Pria paruh baya itu menerawang jauh ke depan dan tersenyum tulus kepada kedua anak tersayangnya.
"Syaf, sejauh ini apa yang kamu rasain sebagai seorang suami?"
Syaf tertawa kecil mendengar pertanyaan Salman, "Perdebatan kecil pasti ada. Tapi, Alysha itu perempuan yang lembut, jadi kami lumayan gampang untuk cari solusi. Syaf ... ngerasa beruntung bisa jadi suami untuk sosok seperti Alysha."
"Eh, cucu Ayah gimana?" Tanya Salman dengan nada meledeknya.
Syaf memalingkan wajahnya dan mengusap tengkuknya yang tidak gatal.
Salman berbisik kepada Syaf, "Jangan-jangan, kalian belum ngapa-ngapain? Doa Ayah nggak diiringi usaha kamu, nih."
Belum sempat Syaf membalas perkataan sang ayah, suara rengekan Sheana membuat fokus kedua laki-laki itu teralihkan.
"Ayah ..." Sheana menarik-narik tangan Salman. "Kok She dicuekin mulu?"
"Utututu ..." Salman memainkan pipi Sheana seperti pipi anak kecil. "Ceritanya ngambek?"
Sheana memanyunkan bibirnya.
"Udah punya jawaban buat lamaran Wisnu nanti?"
Tidak! Pertanyaan ini terlalu tiba-tiba. Sheana bahkan melupakann satu hal itu. Lamaran Wisnu!
"Emm .... Menurut Ayah?" Sheana balik bertanya kepada Salman.
Salman menatap Sheana penuh pengertian, "Kamu yang akan jadi pemeran utama di sini, She. Ayah, Ibu, Abang, Alysha, akan mendukung keputusan kamu. Kamu sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihan semacam ini, Nak."
Sheana bungkam, larut dalam pertarungan antara hati dan pikirannya sendiri.
"Dek!" Suara Syaf membawa Sheana kembali ke dunia nyata.
"Loh, Ayah mana?" Tanya Sheana bingung.
Syaf mencubit pipi Sheana gemas, "Makanya, jangan ngalamun mulu. Ayah masuk rumah, mau periksa dokumen."
Sheana membulatkan mulutnya mengerti.
"Jadi, kamu belum nentuin jawaban?" Tanya Syaf.
Sheana mencebik mendengar pertanyaan Syaf, "Nggak tau."
Syaf menyandarkan punggungnya, "Ayah istikharah soal jodoh kamu."
Sheana tertawa kecil, "Udah dapet mimpi? Siapa?"
"Ayah liat Wisnu," ucap Wisnu.
Sheana tertawa kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya menolak menerima.
"Abang yakin kamu juga istikharah. Mungkin, kamu udah nemu jawaban."
"Sok tau, Abang." Sheana tertawa.
"Satu hal yang perlu kamu lakuin sekarang," Syaf menatap Sheana lekat, "Turunin ego."
Setelah mengatakan itu, Syaf berdiri dan mengusap kerudung Sheana sebelum kembali ke rumah. Meninggalkan gadis itu dengan pikiran-pikirannya.
Di dalam rumah, Alysha mulai membantu Fida membereskan ruang tamu dan menyiapkan beberapa jenis kue. Apapun hasilnya, tamu tetaplah tamu, bukan?
Matahari menghilang, malam yang ditunggu Wisnu telah datang. Bersama ayah dan ibunya, ia akan menjejakan kaki di rumah orang tua wanita yang ia harap akan menjadi penyempurna separuh agamanya.
Ia tertegun. Betapa anggun gadis itu, ia duduk menunduk diapit ibu dan kakak ipar kesayangannya. Jemarinya saling bertaut erat, seolah menyalurkan energi untuk saling menguatkan. Sama, istighfar tak henti kurapal untuk mendapat sedikit kekuatan menghadapi peluang penolakan yang agaknya lebih besar.
Wisnu menghembuskan napas untuk yang kesekian kali, "Sebelumya, saya berterima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya dan kedua orang tua saya untuk berada di hadapan keluarga Om Salman. Saya juga mohon maaf yang sebesar-besarnya, jika keluarga Om Salman menganggap saya lancang setelah keputusan saya beberapa waktu lalu."
Pria itu menghembuskan napas lagi untuk mengurangi beban yang semakin terasa berat, "Dengan bismillah, saya, Wisnu Alfarisi bermaksud untuk melamar Sheana Oktavia, putri Om Salman, untuk menjadi istri saya. Apapun jawaban yang diberikan, In Syaa Allah, saya ikhlas."
Salman mengangguk dengan senyum yang penuh dengan wibawa, "Saya sangat menghargai keputusan Nak Wisnu saat itu. In Syaa Allah, kami sekeluarga sudah memaafkan. Saya percaya kalau Nak Wisnu bisa menjadi imam yang baik untuk putri saya. Tapi, semua keputusan tetap berada di tangan Sheana." Salman mengalihkan pandangannya ke arah Sheana yang tak kunjung mengangkat wajahnya, "She, apa jawaban kamu untuk lamaran Wisnu?"
Mendengar pertanyaan Salman, satu per satu kalimat dari keluarganya mulai berputar. Satu yang paling jelas terekam adalah kata-kata Salman tepat sebelum Wisnu dan keluarganya memasuki rumah mereka, 'Apapun keputusan kamu, asal kamu ikhlas, Ayah juga akan ikhlas.'
She memejamkan matanya sekejap. Menarik napas untuk mengumpulkan kekuatan, "Bismillahirrahmanirrahiim ... In Syaa Allah, She menerima lamaran Mas Wisnu."
Setelah Sheana mengucapkan itu, gema hamdalah terdengar memenuhi ruang tamu rumah Salman. Wisnu akhirnya bisa bernapas lega. Tak ada yang sia-sia dan tak ada salahnya mengambil suatu kemungkinan berhasil meskipun hanya 1%.
Salman menatap putri kecilnya yang ternyata telah tumbuh dewasa dengan sorot bahagia yang bercampur dengan kesedihan di sana. Tanggung jawabnya akan diambil alih oleh seorang laki-laki yang malam ini datang ke rumah ini. Suatu saat nanti, laki-laki ini juga yang akan membawa putrinya pergi dari rumah ini. Membangun bahtera rumah tangga dengan terus mengharap rida-Nya.
Inilah kisah yang telah cukup lama terabaikan. Dengan perlahan tapi pasti, kisah ini dimulai kembali. Huruf demi huruf disusun, kata demi kata dirangkai, kalimat demi kalimat diubah menjadi satu cerita yang jauh dari kata sempurna.
Terima kasih kepada Dia, sang penulis skenario yang sesungguhnya. Membiarkan semesta mengirim bisikan-bisikan puisi cinta yang begitu mempesona. Dengan begitu banyak keromantisan yang tak terduga. Ada tawa dan air mata. Ada sedih dan bahagia.
Sampai jumpa kembali hening malam yang selalu riuh menemani satu per satu huruf dituliskan. Selalu siap mengiringi perasaan-perasaan yang dicurahkan.
Dan teruntuk kamu, yang dengan sepenuh hati merasai 'Debar tanpa Definisi', semoga kita diizinkan berjumpa lagi di lain kisah. Membaca dan menyelami rangkaian kata yang sama, meskipun dengan imajinasi yang berbeda.
205Please respect copyright.PENANAsfIXRVCiH3
205Please respect copyright.PENANAxbSW9r6LUN
205Please respect copyright.PENANAW3fWH4Mo2D
With love,
uuareuu
205Please respect copyright.PENANAdKc9j8MWC7