Pagi kembali menyapa, hari baru kembali datang. Apa yang telah berlalu, ada di masa lalu. Tinggalkan rasa sakitnya, cukup bawa pelajaran yang ia berikan saja. Berjalanlah, ada masa depan yang selalu menunggu. Jika sulit, perlahan. Tak apa. Asal jangan sampai menyerah dan berhenti.
Matahari pun begitu. Ia terus menjemput malam dan meninggalkan siang. Tak pernah bosan memberikan harapan sebelum menghadirkan kembali memoar yang menyoal tentang luka. Menghadirkan rindu niskala antara senja dan fajar. Dua ketidakmungkinan yang selalu memekik dalam hati, siap terlontar. Namun sialnya, bibir mengatup merapat, membungkam kata yang telah sampai di ujung lidah. Mau tidak mau, harus menelan pahitnya sendiri. Lagi.
Satu ingin yang tak pernah se-aamiin. Terus menaruh harapan pada jejak-jejak ketidakmungkinan. Sebenarnya lelah, harus membohongi hati untuk bisa berdamai dengan diri sendiri. Tapi, ini lah yang Ia gariskan. Lalui saja, pasti akan sampai juga pada akhirnya.
"Tumben, Bang," Sheana meletakkan segelas cappuccino di hadapan Syaf, "Nggak ada kerjaan?"
"Ada, sedikit. Abang pengin nengokin kamu." Syaf mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kafe, "Nggak ada niat rekrut karyawan?"
"Sekarang ini belum, Bang. Nunggu kondisi kafe stabil."
Syaf menyesap kapucinonya, "Kalo perlu sesuatu bilang ke Abang."
Sheana mengangguk, "Emm ... Bang? Kalo Sheana minta tolong Mbak Alysha buat nemenin She di kafe boleh nggak?"
"Boleh aja, asal Alyshanya mau." Syaf mengecek jam tangannya, "Sebentar lagi Alysha sampe sini. Kamu bisa bilang ke dia."
"Iya. Makasih, Abang." Sheana memberikan Syaf senyuman khasnya.
Tak perlu menunggu terlalu lama, seorang perempuan bernikab memasuki kafe Sheana. Tanpa ba-bi-bu, Sheana langsung menghambur ke pelukan perempuan itu seolah telah sekian tahun tak bertemu.
Sheana melepas pelukannya tiba-tiba, "Eh, belum ada baby-nya, kan?" Sheana bertanya dengan ekspresi polosnya, "Takut kegencet."
"Belum, kok. Doain aja ya, She." Ucap Alysha penuh pengertian.
"Iya, She doa. Tapi, kalo Mbak Alysha sama Bang Syaf nggak usaha ya sama aja." Sheana tertawa kecil.
Syaf dan Alysha tertegun mendengar perkataan Sheana barusan. Mereka merasa pernah mendengar kalimat itu sebelumnya. Atau kah sebatas deja vu?
Setelah Alysha duduk di samping Syaf, dengan ceria Sheana menawarkan menu yang ada di kafenya kepada Alysha.
"Nanti aja, She." Alysha menunjuk kursi di hadapannya, "Kamu duduk dulu. Capek kan, kerja terus?"
Tanpa membantah, Sheana mendudukkan dirinya. Ia memang merasa cukup lelah hari ini.
"Oh!" Syaf tiba-tiba ber'oh' ria, "Aku sekarang inget!"
"Inget apa, Mas?" Tanya Alysha.
"Kata-kata Sheana barusan kayak udah pernah aku denger sebelumnya."
"Oh!" Kini giliran Alysha yang ber'oh' ria.
"Wisnu!"
"Wisnu!"
Syaf dan Alysha melakukan tos dan tepuk tangan sebagai penghargaan kepada diri mereka sendiri karena telah berhasil mengingat sesuatu. Mereka juga tertawa puas.
"Ada apa, sih?" Sheana mulai penasaran.
"Nggak apa-apa, Dek," Syaf kembali menyesap kapucinonya sampai tersisa setengahnya. "Dek, kalau Wisnu mau ngelamar kamu gimana?"
Sheana menghembuskan nafas malas, "Kan dulu udah pernah, Abang."
"Kan Abang bilangnya 'mau'. Bahasa gampangnya, Gimana kalo Wisnu mau ngelamar kamu lagi?" Tanya Syaf dengan menekan kata 'lagi'.
"Seenaknya aja," She berusaha menahan nada protesnya, "Emang She ini perempuan yang gimana, sih, menurut dia?"
"Kalo kamu tau alesan Wisnu ngelakuin hal itu dulu, pasti kamu akan luluh, She." Ujar Alysha lembut.
"Kalian semua sibuk mengindahkan alesan Mas Wisnu. Tapi, nggak ada satu pun yang ngasih tau She. Sebenernya, ada yang peduli soal perasaan She nggak, sih?" Tanya Sheana pelan.
Syaf dan Alysha tertegun mendengar yang Sheana ucapkan. Mereka tak menyangka bahwa selama ini Sheana masih mempertanyakan alasan seorang Wisnu.
"Itu Wisnu yang minta, Dek." Ujar Syaf.
"Ya, udah. She nggak tau alesan dia apa. She juga nggak bisa menilai sehebat apa dia dalam mengambil keputusan. Jadi, She mohon, berhenti membangga-banggakan Mas Wisnu karena alesan yang udah dia buat."
Setelah mengatakan itu, She menundukkan kepalanya dalam. Suara yang selama ini tertahan, akhirnya mampu ia gemakan juga, "Satu hal lagi, jangan sia-siain usaha She yang selama ini udah berusaha untuk nggak peduli tentang apa pun yang berhubungan sama dia."
Syaf dan Alysha yang saling pandang. Kesempatan untuk Wisnu sepertinya tak ada lagi. Ini sungguh di luar dugaan! Kemarin, Syaf dan Alysha membicarakan soal Wisnu dan Sheana yang mereka pikir saling menyembunyikan cinta dalam diam. Sekarang, Sheana justru bertingkah seolah-olah tidak ada apa-apa dan gadis itu mengatakan jika ia tak peduli lagi.
Tiba-tiba, suara benda bertubrukan begitu keras terdengar. Syaf langsung keluar kafe untuk memastikan apa yang terjadi. Tak perlu waktu lama, Syaf mengenali satu wajah yang tak asing di dekat tempat kecelakaan.
"Wisnu!" Teriak Syaf.
Alysha dan Sheana terperanjat kaget mendengar nama yang diteriakkan Syaf. Dua perempuan itu langsung berdiri dan berlari keluar kafe. Terlambat. Syaf sudah ikut pergi dengan mobil yang membawa korban kecelakaan tadi, meninggalkan kerumunan orang yang sibuk membicarakan kronologi kecelakaan, memeriksa kondisi dua kendaraan di sana, dan mengambil foto atau video untuk unggahan sosial media.
"Mbak ..." Sheana menggoyang-goyangkan lengan Alysha.
"Mending kita tanya orang di sana, She."
Alysha siap melangkah menggandeng Sheana. Namun, getaran ponsel di tangannya menhentikan pergerakannya.
"Assalamualaikum, Lysh?"
"Waalaikumsalam, Mas. Gimana, Mas?"
"Aku mau ke Rumah Sakit Cinta Keluarga. Kamu di kafe aja, ya."
"Wisnu gimana?"
"Wisnu? Baik, kok. Udah dulu, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Alysha memutus sambungan teleponnya dengan Syaf.
"Mbak, kita nyusul Abang." Pinta Sheana dengan suaranya yang bergetar.
Melihat keadaan Sheana saat ini, mau tidak mau Alysha mengikuti keinginannya. Sebelum pergi, Alysha mengirim pesan kepada Syaf. Berunutng, laki-laki itu mengizinkannya walau nada suaranya terdengar berat.
Alysha membantu Sheana membereskan kafe dan menutupnya. Ia juga mengambibl allih kunci mobil yang ada di genggaman Sheana.
Sampai di Rumah Sakit Cinta Keluarga, Alysha dan Sheana langsung menuju UGD. Di sana, ada Syaf yang sedang duduk sendirian di kursi tunggu dengan sedikit noda darah di kemejanya. Penampilannya sedikit berantakan. Sheana mengeratkan genggamannya di tangan Alysha.
"Mas?" Panggil Alysha pelan.
Syaf menatap dua perempuan di hadapannya, "Kalian udah sampe. Sini, duduk." Syaf menepuk-nepuk kursi di sebelahnya.
"Keadaan Wisnu gimana?" Tanya Alysha.
"Kamu kok dari tadi nanyain Wisnu mulu," Syaf terkekeh. "Tuh, Wisnu, baru selese telepon," tunjuk Syaf dengan dagunya.
Dua perempuan itu berbalik badan melihat arah yang ditunjukkan Syaf. Di sana, ada Wisnu dengan keadaan yang sama berantakannya dengan Syaf. Pria itu melangkah sambil terus menatap layar ponselnya dan raut wajahnya yang amat serius.
"Kok kamu tadi teriaknya nama Wisnu, sih?" Tanya Alysha.
"Ya, Wisnu ada di sana." Syaf menghela nafas, "Haris yang kecelakaan, Lysh."
Wisnu masih fokus dengan ponselnya dan belum menyadari kehadiran Alysha dan Sheana, "Gue udah hubungin orangnya Haris. Mereka udah di jalan."
Setelah menyimpan ponsel ke dalam saku celananya, Wisnu tersadar bahwa sekarang bukan hanya ada dirinya dan Syafril. Ada Alysha yang sedang menenangkan seorang perempuan di pelukannya. Bahunya bergetar, seperti telah tertimpa kemalangan. Keluarga Haris, kah? Tapi, ia baru saja menghubungi bawahan Haris.
Tunggu. Gadis dalam pelukan Alysha membawa atmosfer yang tak asing, yang membuat debaran dalan hatinya kembali bergaung.
Syaf menangkap kebingungan di wajah Wisnu, "Alysha sama Sheana taunya lo yang kecelakaan. Sheana minta nyusul ke sini."
Wisnu mengangguk pelan mencoba paham. Ah, perhatian sekali mantan calon wanitanya ini. Apakah ini kode bahwa masih ada ruang kesempatan yang tersisa untuknya berjuang? Meskipun peluang berhasilnya hanya 1/100, Wisnu akan tetap mengambil kemungkinan itu.
"Mas? Minta tolong beliin air minum buat She." Ucap Alysha.
Syaf mengangguk, "Ayo, Nu!"
Tanpa menjawab, Wisnu mengikuti langkah Syafril menjauh dari Alysha dan Sheana. Setelah dau pria itu pergi, Alysha mendudukkan dirinya dan adik iparnya itu di kursi tunggu.
Tangisan She sudah mereda. Matanya sembap dan wajahnya memerah. Dengan telaten, Alysha merapikan kerudung Sheana yang sudah tak berbentuk lagi.
"Coba buat jujur sama diri kamu sendiri," ucap Alysha tepat sasaran.
Sheana diam tak menjawab. Ia sendiri juga tidak mengerti kenapa air matanya susah dibendung dan tangisannya sulit dihentikan.
Syaf dan Wisnu kembali dengan keadaan yang sudah lebih rapi walaupun masih dengan pakaian yang sama. Tak banyak obrolan antara mereka berdua. Wisnu mengatakan ia tak menyangka dengan kekhawatiran Sheana dan Syaf memberi tahu Wisnu perkataan Sheana di kafe.
"Gue akan coba. Meskipun kemungkinan berhasil cuma 1/100. Karena, yang namanya kemungkinan bisa aja terjadi, kan. Gue usaha dulu, sisanya biar Allah yang atur."
Mereka berempat terus menunggu Haris di bangku tunggu. Obrolan didominasi oleh Syaf dan Wisnu. Hingga semuanya terdiam setelah Syaf mengirim kode kepada Wisnu lewat mata.
"Ekhem," Wisnu mencoba menetralkan detak jantungnya. "Sheana?"
Merasa namanya dipanggil, Sheana memandang sebentar ke arah Wisnu.
"Ya?" Sahut gadis itu pelan.
Syaf dan Alysha mengamati intertaksi keduanya dalam diam.
"Besok saya akan datang ke rumah kamu," Wisnu menjeda kalimatnya, "Saya ingin melamar kamu."
Sheana memandang Wisnu dengan tatapan tak percaya. Masih punya nyali?
"Saya minta maaf untuk kesalahan saya. Maaf jika kamu menganggap saya lancang, saya akan berjuang, mungkin sekali lagi. Soal hasil akhir, itu urusan Allah. Apapun jawaban kamu, In Syaa Allah saya ikhlas. Lebih baik kita sama-sama istikharah."
Setelah mengucap itu semua, Wisnu menghembuskan napas lega. Syaf tersenyum di samping Wisnu dan menepuk-nepuk punggung laki-laki itu bangga. Sedangkan Alysha mengusap-usap bahu Sheana mencoba menenangkan perasaan gadis itu yang pasti kembali bergejolak. Tak ada yang tahu, karena Sheana tak kunjung mengangkat wajahnya.
Kita tunggu saja, manifestasi terangkuh dari satu hati yang katanya tak akan kenal kata luluh lagi.
Apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku dan
apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.
- Umar bin Khathab -
226Please respect copyright.PENANAVpUpVphii8