Pada hembusan nafasku ke sekian, aku mulai sadar bahwa masih ada yang harus aku temukan. Bukan yang mengusir kesepian. Namun yang menuntaskan pencarian. Penyempurna agamaku.
_____________________________________
Setelah melamar pekerjaan, aku menyempatkan diri untuk pergi ke salah satu pusat perbelanjaan. Aku membeli beberapa novel yang memang sudah aku rencanakan jauh-jauh hari. Beruntung, novel itu masih ada. Aku juga membeli baju gamis berwarna abu-abu, lengkap dengan hijab syar'inya.
Selesai berkeliling pusat perbelanjaan, aku mampir ke caffe favoritku sejak kecil. Aku sekeluarga sering menghabiskan waktu bersama di caffe ini. Pelayan di caffe itu sampai menghafal wajahku dan juga pesanan favoritku. Secangkir matcha latte hangat. Aku biasa mengambil tempat duduk di sudut caffe, dekat dengan kaca. Jadi, aku bisa melihat keramaian di jalanan depan caffe.
Tapi hari ini berbeda, hujan turun seenaknya. Tanpa peduli apa yang ada di bawahnya. Merah, biru, putih, hitam payung mulai bermekaran. Hilir mudik mengantarkan sang empunya ke tujuan. Tak sedikit juga yang hanya melindungi kepala mereka dengan tas, jas kantor mereka, bahkan kantong plastik. Jangan lupakan mereka yang dengan beraninya menerobos hujan tanpa perlindungan. Semua orang mempercepat langkahnya. Seakan ingin lekas menjauh dari hujan yang sengaja membuat cemburu dengan jatuh bersama dan menciptakan nada indah di atas aspal dan trotoar.
Nampak sosok pria berjalan gagah dengan setelan formal kantornya. Wajah tegas ditambah aksen ramah itu, terlihat bercahaya di bawah payung hitam ditimpa sorot cahaya vespa butut yang dengan lambatnya mencoba membelah jalanan dan menerobos hujan.
Hari memang sudah hampir petang. Namun aku masih enggan beranjak dari tempatku. Masih dengan menikmati secangkir matcha latte yang mulai dingin, mataku menangkap objek penglihatan yang begitu menyentuh. Pria dengan setelan formal kantornya menghampiri seorang anak laki-laki yang usianya sekitar 6 tahun. Anak laki-laki itu memakai celana pendek dan kaos lusuh kebesaran yang melekat di tubuhnya. Alas kaki yang dipakainya pun terlihat berbeda antara kiri dan kanan. Ia memakai kantong plastik di kepalanya.
Meskipun ia sedang berteduh di bawah atap emperan toko di seberang caffe ini, ia tidak melepas kantong plastik itu. Ia terlihat kedinginan, meniup dan menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya untuk mengusir dingin yang datang. Sesekali ia menolehkan pandangan ke kanan dan ke kiri. Menanti waktu yang pas untuk ia mengelabuhi rombongan air langit yang berdatangan.
Pria dengan setelan formal kantornya berdiri di samping anak laki-laki itu. Ia menepuk pundak anak itu hingga anak itu menoleh dan mendongak menatapnya. Mereka saling tersenyum, kemudian mereka mulai bercakap-cakap, terlihat dari gerak bibir mereka. Terkadang mereka tertawa kecil.
Anak itu terlihat mempraktekkan sesuatu yang membuat pria di sampingnya tertawa terbahak. Hangat rasanya melihat pemandangan itu. Pria itu mengangkat tangan kirinya, memandang jam yang melekat pada pergelangan tangannya. Tak lama, ia bercakap lagi dengan anak kecil itu. Pria itu menyerahkan payung hitam yang sedari tadi ia bawa kepada anak kecil itu. Tapi, anak itu menolak. Karena ia tahu siapapun pasti sedang membutuhkan payung, termasuk pria di sampingnya ini. Pria itu terus merayu sampai anak itu mau menerima payungnya dan mulai beranjak pergi dari emperan meninggalkan pria itu.
Pria tadi mulai melepas jasnya, menyisakan kemeja abu-abu. Ia memposisikan jasnya di atas kepala dan mulai berlari kecil menyeberang jalan. Ternyata, tempat yang ia tuju adalah caffe di mana aku berada. Ia mulai mencari tempat duduk yang nyaman.
Pilihannya jatuh pada meja di sebelah mejaku, ia mengambil posisi duduk di kursi yang membelakangiku. Ia memanggil waiter dan mulai menyebutkan pesanannya.
Hujan sedikit reda, masih banyak pengunjung yang berada di caffe ini. Mereka seperti menunggu hujan benar-benar berhenti. Aku memutuskan untuk menghubungi Bang Syaf agar menjemputku. Tak lama, Bang Syaf balas menghubungiku dan mengatakan 10 menit lagi ia akan sampai.
Benar, setelah 10 menit, lonceng di pintu masuk caffe berbunyi. Terlihat seorang pria dengan kemeja maroon yang lengannya digulung hingga siku memandang seisi caffe dengan tatapan dinginnya. Ia menghentikan tatapannya padaku dan menghampiri mejaku setelah aku memberi isyarat dengan lambaian tangan. 'Sok cool banget, ish. Biasanya juga cerewet kayak anak gadis'.
Sebelum Bang Syaf benar-benar sampai di mejaku, ia menghentikan langkahnya di meja sebelahku, ia menyapa laki-laki berkemeja abu-abu tadi.490Please respect copyright.PENANAc1DlKv3Buq
"Wisnu Alfarisi?"
Pria berkemeja itu mendongakkan kepalanya, lalu berdiri memeluk Bang Syaf. Seperti saudara yang sudah terpisah lama. Senyum terus mengembang di bibir kedua pemuda itu. Bang Syaf akhirnya duduk bersama laki-laki itu, terlihat asyik berbincang seperti lupa tujuan utamanya datang ke caffe ini.
"Dari mana aja, Nu? Kok baru keliatan?" Tanya Syaf.
"Biasa lah, Syaf. Kabar lo sama temen-temen yang lain gimana?"
"Gue baik, temen-temen juga baik. Lo sendiri gimana? Udah nikah belum, nih?. Jojo bentar lagi nikah, lho."
"Gue belum mikir sampe situ, bro. Ngurus diri sendiri aja belum bener. Kalo lo gue yakin masih jomblo. Iya, kan?"
"Tau aja, lo. Kalo udah ada niat baik jangan ditunda-tunda, deh."
"Iya-iya. Ngomong-ngomong lo sengaja ke sini atau emang ada sesuatu?"
"Ah, iya. Gue mau jemput adek gue. Jadi hampir lupa. Untung lo nanyain. Mana, ya? Nah, itu dia. Dek! Ayo, katanya mau pulang."
Setelah sekian lama, akhirnya Bang Syaf baru menyadari kehadiranku. Hah! Tanpa buang-buang waktu aku langsung beranjak dari dudukku, berjalan mendahului Bang Syaf yang sedang pamit kepada sahabatnya itu.
"Gue balik dulu, bro. Kapan-kapan main ke rumah gue. Ayah sama ibu pasti kangen sama lo. Ajak yang lain juga. Assalamualaikum".
"Waalaikumsalam".
Di rumah Sheana, ayah, ibu, Bang Syaf, dan She sedang berkumpul di ruang keluarga sehabis salat maghrib berjamaah. She mulai menceritakan pengalamannya ketika melamar pekerjaan tadi.
Mulai dari dipanggil sebagai istrinya Pak Sanip, bertemu Pak Sanip, bertemu Alysha, dan baru menyebutkan nama langsung diterima. Mereka sekeluarga mengucap syukur atas keberhasilan Shea mendapat pekerjaan yang diinginkannya.
"Aku suka sama Alysha. Cantik, keliatannya rajin, terus ramah lagi. Kayaknya cocok deh, sama Bang Syaf." Ucap She.
"Ck! Apaan sih, Dek? Udahlah jangan coba buat jodoh-jodohin abang. Abang bisa cari sendiri, kok!" Ucap Bang Syaf sambil berjalan menuju kamarnya di lantai dua.
"Ayah yang pengin ngejodohin Syaf dari dulu aja Syaf nggak mau. Apa lagi kamu, She?" Ucap ayah dengan tetap memandang televisi. She hanya mengerucutkan bibirnya dan ibunya hanya bisa menghela nafas lelah.
Di kamar tidur, Syaf mulai membuka laptopnya. Satu per satu berkas ia periksa dengan seksama. Syaf memang sangat profesional dalam urusan pekerjaan. Hingga tak jarang ia lupa mengurus dirinya sendiri. Termasuk mencari pendamping hidup di usianya yang sudah matang ini.
'Ya Allah, berikanlah hamba pasangan yang mampu mendampingi hamba berjalan di jalan-Mu. Membuat hamba semakin dekat dengan-Mu. Pasangan yang mampu menerima segala kekurangan hamba. Pasangan yang mampu menjadi penggenap untuk setiap ganjil yang ada pada hamba. Pertemukan dan persatukan kami dalam sebuah ikatan suci yang halal. Semoga cinta hamba kepadanya tak melebihi cinta hamba kepada-Mu'.
Setelah semua pekerjaannya selesai, ia mendirikan salat isya dengan khusyuk. Setelah berdzikir, ia berdoa untuk kebaikan dunia dan akhirat ibu, ayah, She, juga seluruh saudara muslimnya. Tak lupa ia mendoakan perempuan yang kelak menjadi penggenap imannya, yang nama dan wajahnya saja belum ia tahu. Ia akui, selama ini ia terlalu acuh dengan perempuan selain keluarganya.
'Ya Allah jagakanlah perempuan itu. Sekarang aku hanya bisa berdoa untuk dia, untuk melindunginya. Buatlah ia selalu berada di dekatmu. Karena hanya dengan itu aku bisa memastikan bahwa ia baik-baik saja. Semoga kami dipertemukan segera. Aamiin'.
Di kamar tidur lain, Sheana juga telah selesai mendirikan salat isya. Selesai berdzikir, ia mengangkat kedua tangan memohon dengan kerendahah hati pada Allah untuk kebaikan dunia dan akhirat semua keluarga juga saudara muslimnya. Tak lupa ia memohon kelancaran dalam pekerjaannya sebagai sekretaris yang akan ia mulai besok.
'Ya Allah, lancarkanlah pekerjaan hamba. Hamba akan berusaha sebisa dan semampu hamba. Semoga pekerjaan hamba ini tidak membuat hamba melupakan-Mu. Aamiin'.
Berharaplah kepada Allah, bukan kepada makhluknya. Karena berharap kepada Allah tidak akan mengecewakan.
ns 15.158.61.8da2