Biarlah sekarang kita sama-sama memperbaiki diri. Teruslah berdoa kepada Allah agar kita dipertemukan dalam keadaan yang lebih baik dan dalam keadaan yang sama pantasnya. Berusaha meraih ridha-Nya untuk cerita kita yang entah kapan akan menemui akhir.416Please respect copyright.PENANAzk15rJlOWo
_____________________________________
Hari pertama bekerja, Shea mulai disibukkan dengan setumpuk pekerjaan. Ia harus selalu mendampingi bosnya meeting keluar masuk kantor. Lelah, tapi tak begitu terasa. Karena ia melakukannya dengan sepenuh hati. Senyuman pun segan untuk pergi dari bibirnya. Sampai Abigail merasa heran dibuatnya. Padahal Abigail sendiri sudah merasa lelah.
Saat keluar dari salah satu tempat makan yang digunakan untuk meeting tadi, Abigail tiba-tiba menghentikan langkahnya. Shea yang berjalan di belakangnya sambil menunduk, hanya bisa meringis sakit saat kepalanya menabrak punggung kokoh itu.
"Auh!" Ringis Shea sambil memegangi kepalanya.
"Makanya, jangan terus-terusan menunduk jika sedang berjalan. Mencari apa memangnya di bawah?." Ucap Abigail dingin.
"Maaf ya, Pak. Lagian bapak kenapa tiba-tiba berhenti gitu, sih?" Balas Shea.
Abigail memutar bola matanya malas. Memang benar, wanita itu selalu benar.
"Kita salat ashar dulu di masjid sebelah tempat makan ini. Baru setelah itu kita kembali ke kantor. Tapi entah ada mukena atau tidak."
"Saya bawa mukena sendiri kok, Pak."
"Ya sudah, ayo!" Ajak Abigail.
Setelah berwudu di tempat masing-masing, Shea dan Abigail memasuki masjid. Kondisi masjid cukup sepi mengingat salat berjamaah sudah selesai. Jadi, tersisa Shea dan Abigail.
"Kamu jadi makmum saya." Ucap Abigail yang terdengar seperti perintah tak terbantahkan itu, sukses membuat Shea yang sedang mengenakan mukena terdiam, membulatkan matanya dengan mulutnya yang setengah terbuka.
'Apa -apaan, nih? Udah ngajakin jadi makmum aja'. Ucap Shea membatin.
Seakan mengerti apa yang dipikirkan Shea, Abigail segera angkat bicara.
"Di sini tinggal kita berdua yang belum salat. Jadi salat jamaah saya imamnya kamu makmumnya. Nggak usah geer."
"Siapa yang geer, Pak bos? Saya cuma kaget aja." Ucap Shea tak mau menanggung malu.
"Ya udah, berarti nggak usah ngarep." Ucap Abigail sambil terkekeh. Menampilkan senyum yang sangat jarang ia tunjukkan.
'Masya Allah, sungguh indah ciptaanmu Ya Allah'.
"Eh, astaghfirullah". Ucap Shea setelah tersadar dari lamunannya.
"Kenapa kamu?" Tanya Abigail.
"Anu, Pak. Tadi pagi beli bubur ayam lupa bayar ke mamangnya". Ucap Shea dengan ekspresi yang meyakinkan. Membuat Abigail tak bertanya lebih jauh.
"Oh. Ayo cepet!"
"Cepet banget perubahannya. Tadi nyenengin, eh udah berubah lagi jadi nyebelin. Untung pak bos." Ucap Shea lirih.
"Ngomong sesuatu sama saya?"
"Enggak, Pak. Saya lagi kasian aja sama mamang bubur ayamnya."
"Ayo!" Abigail hanya bisa menghela nafas lelah.
Selesai salat ashar, Abigail dan Sheana segera menuju kantor.416Please respect copyright.PENANAz3HwRHppmz
Di depan kantor, terlihat seorang perempuan bercadar yang sedang bercengkerama dengan Pak Sanip. Begitu cantik dengan pakaian merah mudanya.
"Assalamualaikum." Ucap Shea dan Pak Abi bersamaan.
"Waalaikumsalam." Pak Sanip dan perempuan itu kompak menoleh. Meski tak nampak, Shea yakin perempuan itu sedang tersenyum.
"Ziv?" Ucap Abigail terdengar sedang memastikan sesuatu.
"Hallo, Bi." Sapa perempuan itu ramah.
Perempuan itu lalu menatapku.
"Kenalin, Ziv. Ini Sheana, sekretaris baruku." Ungkap Abigail.
"Hallo, mbak. Saya Sheana Oktavia, sekretarisnya pak bos Abigail. Mbak bisa panggil saya Shea." Ucap Shea sopan dengan mengulurkan tangan.
Perempuan itu langsung membalas uluran tanganku.
"Saya Zivanna Anastasya. Kamu bisa panggil saya Zivanna saja. Tak perlu memanggil saya dengan sebutan mbak, ya." Ucap Zivanna sambil terkekeh. Meski lirih, suaranya terdengar merdu.
"Kenapa nggak masuk?" Tanya Abi pada Zivanna.
"Ini, Mbak Zivanna dari tadi udah saya ajak masuk tapi nggak mau. Katanya mau ngobrol sama saya aja di sini, Pak." Jawab Pak Sanip.
"Eh, iya. Kamu masuk saja dulu, She." Ucap Abigail kepada Shea.
"Eh iya, Pak. Permisi. Assalamualaikum". Pamitku setenang dan sesopan mungkin.
'Apaan sih? Kok disuruh masuk? Padahal pengin kenal sama Zivanna'.
Setelah Shea masuk, Abigail mulai berbicara lagi kepada Zivanna. Ada Pak Sanip juga di sana, matanya sibuk mengawasi sekitar.
"Tumben Ziv, kamu ke sini?" Tanya Abigail.
"Aku ganggu, ya?" Zivanna balas bertanya.
"Nggak, kok. Cuma tumben aja kamu ke sini."
"Ini aku di suruh ibu nganter kue brownies buatan ibu. Aku si nggak yakin sama rasanya." Ucap Zivanna terkekeh. Ia menyodorkan sebuah kotak berwarna hijau dan langsung diterima oleh Abigail.
"Lah kok gitu, Ziv?"
"Ibu baru pertama kali buat, soalnya. Kalo nggak enak, nggak usah dimakan. Ntar sakit perut lagi."
"Ya nggak, lah. Masuk aja, yuk!"
"Nggak usah, aku juga mau langsung pulang. Nganter itu doang. Oh, ya. Sekretaris kamu cantik. Baik juga keliatannya. Assalamualaikum." Pamit Zivanna.
"Waalaikumsalam. Sampein makasih ke ibu kamu, ya."
"Iya, nanti aku sampein. Pak Sanip, saya pulang dulu, Assalamualaikum."
"Iya, mbak. Waalaikumsalam."
Abigail masih di depan pintu kantor sampai punggung perempuan itu tak terlihat. Saat ia berbalik hendak masuk, Pak Sanip mengampirinya.
"Tadi itu calon istri ya, pak bos? Saya restuin pokoknya, Pak Bos."
Abigail hanya tersenyum. Menepuk pundak Pak Sanip dan berlalu masuk ke dalam kantor.
"Biasanya, kalo diem itu artinya iya. Saya mah doanya yang terbaik aja buat Pak Bos." Ucap Pak Sanip.
Sampai di ruangannya, Abigail langsung duduk dan menyandarkan punggungnya di kursi kerja. Ia menatap kotak hijau dari Zivanna, sebelum ia mendongak menatap langit-langit ruangan.
Orang tuanya menginginkan ia untuk menikah. Ia akui usianya memang sudah pas untuk membina rumah tangga. Tapi ia masih bingung kepada siapa ia akan menjatuhkan pilihan. Ya Allah berikanlah apa-apa yang terbaik untukku dan jauhkanlah apa-apa yang sekiranya tidak baik untukku.
Sudah hampir pukul setengah enam. Sheana mulai membereskan meja kerjanya. Setelah beres, ia menenteng tasnya hendak keluar kantor, menunggu Bang Syaf menjemputnya. Langkahnya terhenti melihat Alysha. Akhirnya ia memutuskan menghampiri Alysha yang terlihat sedang bersantai di depan meja kerjanya. Tertawa-tawa sendiri menatap layar laptopnya sambil sesekali menyedot milkshake cokelat di tangannya.
"Assalamualaikum, Alysha Shakeera." Ucap Shea.
"Waalaikumsalam." Balas Alysha sambil mempause video yang terputar di layar laptopnya. Kemudian ia mendongakkan kepala ke arahku.
"Keliatannya asik banget. Nontonin apaan, sih?" Tanyaku sambil melihat layar laptop Alysha.
"Hahaha! Ini, nih. Videonya lucu tau. Gemesin. Kamu harus nonton. Ntar aku kirim link-nya." Ucap Alysha antusias.
"Oke, boleh deh."
"Mau ke mana? Udah bawa-bawa tas aja?"
"Pulang, lah. Udah mau setengah enam ini".
Alysha segera mengecek jam tangan putih yang melekat manis di tangan kirinya.
"Astaghfirullah, gara-gara keasyikan nonton, nih. Jadi lupa pulang." Ucap Alysha sambil membereskan meja kerjanya.
"Kamu pulang naik apa, She?" Tanya Alysha.
"Aku dijemput abang. Kamu gimana?"
"Oh, kamu punya abang. Aku dijemput Ayah nanti."
Bahasa yang mereka gunakan sudah tak seformal saat mereka pertama bertemu. Mereka merasa cocok satu sama lain. Akhirnya, mengalir begitu saja bahasa yang lebih santai itu.
"Ya, udah. Keluar bareng, yuk!" Ajak Shea.
Selama berjalan keluar kantor, ada saja yang dibicarakan dua gadis itu. Tapi, lebih banyak soal fashion.416Please respect copyright.PENANAOA9rFWvIdf
Maklumlah, namanya juga perempuan. Sampai di gerbang kantor, Sheana dan Alysha saling mengucapkan salam dan kata-kata sampai bertemu besok. Alysha menghampiri mobil berwarna merah milik ayahnya. Sheana segera menghampiri Syaf yang sedang bercakap-cakap dengan seorang laki-laki paruh baya. Seumuran ayah sepertinya. Mereka berdua nampak akrab.
"Bang Syaf!"
"Eh, udah keluar. Ini adek saya, Pak. Sheana. Salim, Dek!" Ucap Syaf.
Shea langsung mengangguk dan mencium punggung tangan bapak itu.
"Wah, udah gede aja Shea. Dulu terakhir saya liat masih kecil, deh" Ucap Bapak itu dengan tersenyum.
"Ya udah, saya duluan, ya. Semoga besok bisa ketemu lagi. Assalamualaikum." Pamit bapak itu.
"Waalaikumsalam." Jawab Shea dan Syaf kompak.
Setelah bapak itu pergi, Syaf dan Sheana masuk ke dalam mobil. Mobil yang mereka tumpangi segera melaju di jalan raya.
"Bapak yang tadi siapa sih, Bang?" Tanya Shea.
"Bapaknya temen Abang". Ucap Syaf tanpa ekspresi. Ia terus fokus terhadap jalanan di depannya.
"Temen yang mana, Bang?" Sheana mulai kepo.
"Alysha".
"Oh! Alysha yang dulu kata abang sama Ayah pindah itu, kan? Jangan-jangan Alysha temennya abang sama Alysha temennya She itu satu orang. Soalnya tadi Alysha bilang dia mau dijemput Ayahnya." Ucap She pada dirinya sendiri.
'Semoga iya'. Ucap Syaf dalam hati.
"Bang?"
"Hm?"
"Ngetest doang" Ucap Shea sambil terus memainkan ponselnya.
"Padahal mau Abang beliin ice cream. Berhubung kamu nyebelin, nggak jadi deh"
Shea mengalihkan pandangannya ke arah Syaf yang sedang serius menyetir dengan mata menyipit dan bibir yang mengerucut. Tapi Syaf cuek aja. Merasa Shea terus memandangnya, Syaf mulai mengeluarkan suara lagi.
"Kenapa sih, Dek?"
"Mau ice cream. Janji nggak nakal lagi, deh" Ucap Shea dengan wajah yang memelas.
"Maksud Abang, kenapa sih Dek, kamu bisa idup?" Syaf hanya tertawa melihat adiknya yang mulai kesal dan nampak sudah tidak tenang di kursinya.
Adiknya itu terus menghentak-hentakkan kedua kakinya. Bukannya Syaf tidak sayang kepada adiknya, hanya saja ibunya sudah berpesan agar tidak perlu membeli ice cream lagi. Ayahnya sudah membelikan banyak ice cream untuk gadis kecil di keluarganya itu.
416Please respect copyright.PENANAN4bbBeISnV