Sampai kapan seseorang akan terus berbohong? Sampai ia kehabisan kata-kata bohong? Sekarang, sebelum semuanya terlambat, aku sudah berkata apa yang sebenarnya menjadi realita. Aku tahu apa konsekuensinya. Konsekuensi atas kebohonganku dan juga rasaku. Sekarang, kupasrahkan saja apa yang menjadi takdirku. Bukankah lebih baik seperti itu?220Please respect copyright.PENANAmdFT6rVRSp
220Please respect copyright.PENANACCx9XZOm9K
"Assalamualaikum." ucap Alysha setiba di rumahnya.
"Waalaikumsalam." jawab kedua orang tua Alysha.
"Sudah pulang, Lysh?" tanya Hamdan, ayah Alysha.
"Iya, Yah."
"Kok lemes, nak?" tanya ibu Alysha, Aisyah.
"Eh, nggak kok, Bu. Oh iya, tadi Alysha main ke rumah Sheana. Anaknya Pak Salman sahabat ayah itu, lho?"
"Sebentar ... Oh! Salman ayahnya Syafril itu, kan. Temen kamu waktu SMA? Bilang apa sahabatku yang satu itu?" Ayah Alysha mulai antusias.
"Kangen sama Ayah katanya."
"Besok ke sana yuk, Lysh. Silaturrahmi."
"Anu, Alysha nggak bisa. Ayah sama ibu aja. Banyak yang harus dikerjain. Nanti Alysha kasih alamatnya." Alysha beralibi.
"Ya, sudah. Lah kamu udah ketemu Syafril?"
"Iya ayah, udah. Alysha ke kamar dulu, ya."
"Oke, istirahat ya, nak."
"Iya, ayah."
"Lysh, Ibu beliin kamu niqab. Ada di tempat tidur. Pasti bagus, deh kalo dipake kamu." ucap ibu.
"Makasih, Ibu. Sayang deh sama ibu."
"Iya, sama-sama. Udah sana istirahat, jangan lupa salat." ucap Aisyah.
Dalam sujud terakhir ini, kusebut namamu. Bukan yang pertama kali, namun akan lebih baik jika ini menjadi yang terakhir kali. Yang paling pahit adalah berharap pada manusia, begitu kan, kata Ali bin Abi Thalib?
Sudah beberapa minggu ini suasana di kantor berjalan kondusif. Meskipun tak ada yang spesial. Sheana sudah mulai ceria lagi, begitu juga Alysha.
Tapi, hari ini suasana menjadi heboh karena undangan merah maroon yang tersebar ke seluruh penjuru kantor. Mereka merasa antusias dan turut bersuka cita atas pernikahan atasannya itu. Meskipun ada beberapa yang merasa patah hati. Dalam undangan itu tertulis nama Abigail & Zivanna Anastasya.
220Please respect copyright.PENANAw8Abqrsj6Z
"Ckckck, kok Zivanna bisa sama Pak Abi, ya?" ucap Shea.
"Namanya jodoh." jawab Alysha.
Alysha sudah menghubungi Zivanna atas undangan pernikahannya itu. Termasuk menanyakan apakah Abigail adalah orang yang dijodohkan dengannya. Ternyata, iya.
'Berarti perempuan yang waktu itu Sheana.' Alysha membatin.
"Jodohmu siapa, mblo?" tanya She pada Alysha dengan tertawa.
'Abang kamu!'
"Siapapun nanti, pasti dia yang terbaik buat aku." hanya itu yang mampu Alysha ucapkan.
"Kamu ada perasaan khusus buat Pak Abi?" tanya Alysha.
"Nggak, lah. Ngapain coba nanya kayak gitu? Eh iya, ntar pas nikahannya Pak Bos bajunya samaan, yuk."
"Boleh, mau beli online atau langsung ke butik?"
"Langsung ke butik aja kali, ya. Biar pas aja, si."
"Oke aja aku mah."
Sampai di rumah, Sheana menemukan undangan pernikahan yang persis dengan undangan pernikahan bosnya. Shea pun membuka undangan itu.
"Kepo amat, dek." Ucap Syaf.
"Mau tau aja, lagian mirip sama undangan pernikahannya bos aku ini."
"Oh".
"Lah, ini si undangannya Pak Bos. Abang kenal sama Pak Abi?"
"Hah? Nggak, si. Abang kenalnya sama ceweknya. Temen abang waktu SMA."
"Eh iya, Zivanna kan temen SMA nya Alysha juga."
"Mau pergi bareng ke acaranya?"
"Nggak, deh. Bareng kakak ipar aja aku mah."
"Ha?"
"Alysha Shakeera. Hehe."
"Apaan si, dek."
"Tinggal bilang aamiin kenapa si, bang? Repot."
'Aamiin. Eh?'
Sedangkan, di Singapura Wisnu berada di caffe tempat Aleeta bekerja. Ia hanya sekedar ingin berpamitan dengan sahabat barunya itu. Wisnu akan kembali ke Indonesia untuk memenuhi undangan pernikahan Abigail, rekan kerjanya.
"Aku besok mau balik ke Indonesia. Temenku mau nikah."
"Ooh, lama?"
"Belum tau juga, Ta. Kenapa emang?"
"Di Indonesia, kamu pasti bakal ketemu perempuan matchalatte itu, kan?"
"So?"
"Masih ada nggak kesempatan buat aku ngisi hati kamu?"
"Leet?"
"Apa selama ini kamu nggak ngerasain apapun sama aku? Apa selama ini aku cuma ngerasain jatuh sendirian?"
"Leeta ..."
"Tapi, ya udahlah. Nggak apa-apa, kok. Semoga kamu bahagia dan kita masih bisa jadi sahabat, kan?"
"Iya, Leeta. Kita sahabat."
Aleeta berusaha tersenyum mendengar jawaban Wisnu. Salahya sendiri, memberi Wisnu perasaan itu.
"Kamu nggak ada niatan balik ke Indonesia, Ta?"
"Kalo kamu nikah jangan lupa ngundang makanya, ntar aku balik."
"Iya-iya. Ya udah, balik, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Aleeta, gadis manis itu sekalipun tak pernah berpikir untuk menginjakkan kakinya di Indonesia lagi. Kedua orang tuanya, begitu membenci dirinya karena keputusan yang ia ambil beberapa tahun lalu. Aleeta memutuskan untuk menjadi seorang muslimah dan kedua orang tuanya belum mampu menerima itu semua. Di sinilah Aleeta sekarang, Singapura. Bekerja menjadi pelayan caffe untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal penting yang harus ia lakukan adalah bersyukur!
Wisnu, terima kasih pernah datang dalam kehidupanku. Meskipun hanya sebentar, tapi kamu membuatku merasakan sesuatu yang hebat. Terima kasih telah menjadikanku sebagai seorang sahabat. Semoga kamu bahagia dengan jalan yang kamu pilih. Semoga aku juga bahagia meski bukan dengan kamu.
"Ngabarin Syaf sama Jojo gak ya, kalo gue mau balik ke Indo?", tanya Wisnu pada dirinya sendiri.
"Ga usah aja, deh. Ntar malah pada repot-repot jemput ke bandara."
Wisnu mulai mengemasi barang-barangnya ke dalam koper. Sejujurnya, ia belum ingin pulang ke Indonesia. Tapi, ia merasa tak enak hati jika tidak memenuhi undangan dari Abigail.
Selang beberapa menit, ponselnya berdering.
"..."
"Waalaikumsalam. Bukan, saya bukan pacarnya. Saya temannya, kebetulan kami sama-sama dari Indonesia. Ada apa, ya?"
"..."
"Sekarang bagaimana?"
"..."
"Oke, saya ke sana sekarang."
Wisnu langsung menuju mobil yang terparkir di garasi rumahnya, melesat menuju ke sebuah rumah sakit. Ada orang yang mengabari bahwa Aleeta kecelakaan dan sampai sekarang belum sadarkan diri. Selama Wisnu mengenalnya, Aleeta adalah sosok sahabat yang baik. Tak salah bukan, jika Wisnu khawatir?
Sampai di rumah sakit, Wisnu bergegas menuju ke ruang tempat Aleeta dirawat setelah bertanya kepada perawat di sana.
"Assalamualaikum.", ucap Wisnu.
"Waalaikumsalam.", jawab dokter yang berada di samping brankar Aleeta.
"Waalaikumsalam...", jawab Aleeta lemah.
"Kamu udah sadar, Ta?", tanya Wisnu pelan.
Aleeta hanya tersenyum dan mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Anda keluarga Aleeta?", tanya sang dokter.
"Saya sahabatnya, dok. Bagaimana kondisi Aleeta sekarang?"
"Mungkin sementara ini Aleeta harus memakai tongkat. Ada sedikit masalah di kakinya, tapi kita bisa melakukan terapi untuk menyembuhkannya."
"Baik, dok.", terima kasih.
Aleeta tertegun mendengar penuturan dokter tadi. Bagaimana ia bisa bekerja jika berjalan saja harus menggunakan tongkat?
"Leet?", panggil Wisnu menyadarkan Aleeta.
"Ha? Iya?"
"Gimana yang kamu rasa sekarang? Kok bisa sampe kecelakaan gitu?"
"Aku kurang fokus aja, Wis. Kamu kok masih di sini. Maaf, ya ngrepotin. Siapa yang ngasih tau kamu?", ucap Aleeta lemah.
"Nggak fokus mikirin apa, sih?"
"Kamu.".
"Leet, nggak lucu. Tadi temen kamu di caffe telfon, terus dia juga bilang kamu belum sadar. Ya udah aku ke sini."
"Maaf, ya."
"Nggak bosen ngomong maaf mulu?"
"Iya, maaf. Eh, terus nikahan temen kamu gimana?"
"Masih beberapa hari lagi. Kamu baru kecelakaan udah banyak ngomong, ya."
"Aku kan nggak kenapa-kenapa. Cuma lemes aja.", jawab Aleeta terkekeh.
"Cuma lemes tapi sampe ke rumah sakit."
"Kamu bisa cerewet juga ya, Wis?"
"Mana ada aku cerewet?"
"Barusan. Seneng, deh."
"Seneng kenapa?", tanya Wisnu dengan satu alis terangkat.
"Seneng aja pokoknya, nggak usah nanya-nanya, deh."
"Hem."
"Tuh, kan. Mulai lagi."
"Diem, deh. Banyak istirahat, gih. Ntar cepet sembuh, cepet keluar dari rumah sakit."
"Keluar dari rumah sakit pun, aku nggak bisa jalan, Wis. Kamu nggak denger tadi dokter bilang apa? Aku harus pake tongkat."
"Ya terus?"
"Aku kan sendirian di sini. Masa aku harus nyusahin temen-temen di caffe. Mana nggak bisa kerja lagi. Terus tabungan aku udah tipis. Buat biaya sehari-hari sama terapi nggak akan cukup."
"Ck! Bawel. Disuruh istirahat malah ngoceh. Tenang aja, selama ada aku kamu aman."
Ternyata aku yang selama ini salah menilaimu. Kamu bersikap baik, bukan hanya padaku. Tapi semua orang. Mungkin itu yang membuatku jatuh hati kepadamu. Tapi, kita hanya bisa menjadi sahabat. Perasaanku pun, kau anggap bercanda. Tenang saja, aku yakin Allah akan memberikan yang terbaik.
ns 15.158.61.54da2