“dan sesungguhnya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis.”229Please respect copyright.PENANAHVBGbGwMlj
(QS. An-Najm : 43)
“Nggak boleh! Pokoknya nggak boleh!”
Sheana bersikeras membawa Alysha beserta kopernya kembali masuk rumah. Hari ini adalah hari yang telah diputuskan untuk menjadi hari kepindahan Syaf dan Alysha ke rumah milik Syaf sendiri.
“She, tenang dulu,” Alysha mulai kewalahan menghadapi Sheana, “deket, kok.”
“Nggak boleh! Di sini aja, Mbak.” Ucap Sheana dengan nada hampir menangis.
“She, biarin mereka pergi.” Salman mencoba melepas tangan Sheana dari Alysha dan kopernya.
Syaf menatap Alysha iba dan Fida hanya geleng-geleng melihat tingkah bungsunya itu.
Suara Syaf menghentikan kehebohan yang tengah terjadi di halaman rumah Salman, “Mau ikut pindah?”
She menegakkan berdirinya dan tersenyum penuh kemenangan, “Mau!”
“Nggak!” Ucap Fida tak terima. “Kalo pergi semua, yang bantuin Ibu siapa?”
“Tuh, nggak kasihan sama Ibu?” Tanya Hamdan pada putrinya.
She terdiam cukup lama penuh pertimbangan, “Ya udah, deh. Boleh pindah. She di sini aja. Tapi, nanti She boleh sering main ya, Bang?”
“Iya, Boleh.” Ucap Syaf.
“Tapi kalo mau ke sana harus ngabarin dulu.” Ucap Fida. “Jangan ganggu!”
She mengerucutkan bibirnya sebal, “Iya, Bu. Maaf.”
Mereka hanya tertawa menyaksikan tingkah Sheana yang semakin manja setelah keluar dari rumah sakit dulu.
“Kami pamit Yah, Bu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Di ruang kerjanya, Haris tengah menatap tajam sebuah foto pernikahan orang yang sangat dikenalnya. Ia menemukan foto itu di story akun sosial media teman kuliahnya.
“Apa sih, kurangnya gue? Sampe Alysha bisa ngelupain gue gitu aja.” Ucapnya pada diri sendiri.
Haris memutuskan keluar dari ruang kerjanya dan menuju kediaman Hamdan.
“Ayah minta maaf, Ris. Sebenarnya, waktu kamu datang ke sini, Alysha sudah dilamar Syafril. Ayah mau bilang sama kamu, tapi kamu buru-buru pergi.” Hamdan berkata penuh pengertian.
“Nggak perlu minta maaf, Yah,” Haris tertawa hambar, “saya ikut bahagia karena pernikahan Alysha.”
“Maaf ya, Nak Haris.” Ucap Fida.
“Nggak apa-apa, Bu,” ucap Haris santai, “ini nggak akan memutus tali silaturahmi kita.”
“Iya, Nak Haris.” Ucap Hamdan.
“Kalau begitu saya pamit. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Sampai di mobilnya, Haris menelepon seseorang.
“Cari tahu dan terus beri saya laporan.” Ucapnya singkat.
Haris memandang wallpaper ponselnya yang menampakkan wajah bahagianya dan Alysha di taman kampus, “Aku cinta sama kamu, Lysh.”
Syaf mengajak Alysha mengelilingi tempat tinggal mereka yang baru.
“Suka?” Tanya Syaf.
“Suka,” Alysha mengedarkan pandangannya di taman belakang rumah. “Kamu tinggal sendirian di rumah sebesar ini?”
“Aku jarang ke sini, sih. Kalo lagi pengin aja baru aku mampir.”
Alysha membulatkan mulutnya. “Kamar?” Alysha menatap wajah Syaf. “Aku mau beresin baju.”
“Ayo!”
Sampai di kamar mereka berdua, Alysha mulai asyik menata baju-baju miliknya dan Syaf di lemari.
“Aku mandi dulu, Lysh. Gerah.” Ucap Syaf.
“Iya.” Sahut Alysha tanpa mengalihkan fokusnya dari tumpukkan baju.
Tak perlu waktu lama, Alysha sudah selesai dengan aktivitasnya.
“Alhamdulillah, selesai juga.” Ucapnya lega.
Ia keluar kamar dan menuju dapur untuk membuatkan Syaf secangkir kopi. Ketika berkeliling dengan Syaf, Syaf menunjukkan dapur dan mengatakan bahwa ia selalu menyimpan kopi di lemari dapur.
Alysha menengok kulkas sebentar. Benar saja, tidak ada apapun di dalamnya.
Selesai dengan secangkir kopinya, Alysha kembali ke kamar. Pemandangan yang ada di hadapannya kini membuatnya berdiri kaku di tempat.
Alysha langsung memutar badan menghadap pintu kamar yang telah ia tutup, “Syaf, kok nggak pake baju, sih?” Ucap Alysha dengan nada sebalnya.
Syaf terkekeh dengan tingkah laku istrinya itu.
“Nggak apa-apa, Lysh. Udah halal juga.”
Meski berkata demikkan, Syaf langsung beranjak ke lemari dan mengambil kaos warna hitam untuk langsung ia kenakan. Laki-laki itu melanjutkan aktivitasnya. Bermain ponsel dan duduk di ujung tempat duduk dengan rambut yang masih setengah basah.
“Ini aku bawain kopi.” Ucap Alysha yang masih berada pada posisinya.
“Taruh di meja dulu, Sayang.” Ucap Syaf masih terus fokus pada ponselnya.
Alysha berjalan mundur dan meletakkan kopi itu di atas nakas di samping tempat tidur.
Alysha hendak membuka pintu sebelum ia merasakan seseorang memeluknya dari belakang.
“S-S-Syaf?” Alysha gugup dengan posisi mereka sekarang.
Syaf makin mengeratkan pelukannya. Ia memejamkan mata dan meletakkan dagunya di bahu Alysha.
“Hm?”
“Lepas,” Alysha berusaha menetralkan degup jantungnya. “Pake baju sana!”
“Hmmmm.” Syaf hanya bergumam tak jelas.
Alysha berpikir keras untuk keluar dari situasi ini, “Mas Syafril?” Alysha memanggil Syaf lembut.
Mendengar panggilan dari istrinya itu, Syaf langsung melepas pelukannya. Tanpa buang waktu lagi, Alysha langsung keluar dari kamar dan menutup pintunya kembali dengan tawa kecil.
“Deg-degan.” Ucap Syafril pada dirinya sendiri.
Ia sendiri yang meminta untuk dipanggil ‘Mas’, tapi ia sendiri juga yang merasa ada yang berbeda dengan panggilan itu. Apalagi, panggilan itu keluar dari mulut Alysha.
“Mas, nanti keluar beli barang-barang yang kita perlu di rumah ini, ya?” Ucap Alysha dari balik pintu.
Syaf masih belum terbiasa dengan panggilan itu. Ia juga yakin bahwa Alysha juga berusaha keras membiasakan diri memanggilnya dengan ‘Mas’.
“Iya, Sayang.”
Alysha dan Syaf selesai berbelanja kebutuhan mereka. Sampai di mobil, keduanya meletakkan barang bawaan mereka ke dalam bagasi
“Mas, aku mau ke toilet dulu.” Ucap Alysha.
Syaf mengangguk, “Mau aku temenin?”
“Nggak usah. Deket, kok.”
Alysha segera beranjak dari posisinya.
Syaf menunggu Alysha dengan tenang sambil memainkan ponsel di samping mobilnya.
“Alysha mana?”
Suara tegas dari pria yang sudah berdiri di sampingnya membuatnya menoleh seketika.
Syaf mengangkat sebelah alisnya sebagai respons. Ia tidak mengenal pria ini.
“Lo Syafril, kan?”
“Iya.” Jawab Syaf singkat.
“Kenalin,” Haris mengulurkan tangannya pada Syaf, “gue Haris. Temen deketnya Alysha sampe sebelum ada lo.”
Syaf menerima uluran tangan tersebut dan mengangguk. Jadi ini si Haris? Boleh juga.
“Mungkin lo udah tau tentang gue?”
“Sedikit.”
“Lo bisa menyebut gue sebagai masa lalunya Alysha. Tapi, gue akan pastiin kalo gue juga akan jadi masa depannya Alysha. Inget itu!”
Syaf terkekeh sinis mendengar apa yang Haris utarakan. “Atas dasar apa lo ngomong kayak gitu?”
“Lo udah ngancurin hubungan gue sama Alysha!”
“Sorry, hubungan yang mana, ya?”
Haris telah bersusah payah menahan emosinya sejak tadi. Terlebih melihat respons Syaf yang seolah tidak ada takutnya dengan terus tersenyum sinis memandang sepatunya.
Haris memutar bahu Syaf hingga kedua pria itu berhadapan. Tanpa membuang waktu, Haris langsung menarik kerah jaket yang dikenakan Syaf dan memberi Syaf satu pukulan keras di sudut bibirnya.
Syaf yang tidak siap dengan pergerakan Haris tak bisa menghindar. Namun tak lama, Syaf langsung membalas serangan Haris hingga terjadi perkelahian yang cukup brutal di sana.
Alysha yang sudah selesai dengan urusannya di toilet menatap tak percaya dua orang yang sedang berkelahi itu. Ia ikut kalut karena banyak orang yang menyaksikan perkelahian itu namun tak ada satu pun yang berniat untuk melerai.
“Mas!” Alysha berusaha menarik bagian belakang jaket Syaf utnuk menjauhkan suaminya itu dari Haris, “Udah!” Perempuan itu setengah berteriak.
“Awas, Lysh!” Syaf masih mencoba untuk terus menyerang Haris dan Haris pun sama.
Alysha tak menyerah, ia terus menarik Syaf dan berteriak memohon kepada suaminya.
Hingga seseorang datang memisahkan Syaf dan Haris dengan paksa dan langsung melayangkan tinjuan ke tulang pipi Syaf dan Haris bergantian.
“Kalian nggak malu?!” Ucap Wisnu.
“Nu?” Ucap Syaf masih setengah tak percaya.
Syaf sudah berhenti namun Haris terus saja maju dan hendak memulai peperangan lagi.
“Lysh, bawa Syaf balik,” Wisnu masih terus menahan pergerakan Haris. “Orang ini biar gue yang urus.”
Alysha mengangguk dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. Ia memapah Syaf untuk membawa Syaf duduk di kursi penumpang.
“Aku aja yang nyetir.” Ucapnya datar.
Sebelum pergi, Alysha melihat sekilas ke arah Wisnu yang masih terus menahan Haris. Untung saja Wisnu tak sendiri, ada beberapa orang yang sedang membantunya.
Alysha menyetir dalam diam. Ia bahkan tak peduli dengan Syaf yang terus menatapnya sambil sesekali meringis kesakitan. Ia benci di mana situasi menempatkan dia sebagai sumber masalah dan keadaan memaksanya unutk melihat orang-orang tersayangnya terluka.
Sampai di rumah mereka, Alysha membukakan pintu untuk Syaf dan memapahnya menuju ke kamar. Syaf sudah kehabisan tenaga meskipun sepanjang perjalanan pulang tadi ia hanya diam menatap istrinya dan sesekali berusaha memejamkan mata.
“Duduk di sini dulu.”
Syaf hanya mengikuit instruksi Alysha tanpa mengatakan sepatah kata apa pun. Laki-laki itu menyandarkan punggungnya di sofa yang ada di kamar. Ia berusaha untuk memejamkan mata, semoga saja bisa terlelap dan rasa perih di wajahnya bisa hilang sementara.
Ia merasa bersalah karena kejadian tadi. Istrinya pasti syok. Wanita kesayangan nomor tiga di hidupnya itu menjadi lebih banyak diam.
Sedangkan di dapur, Alysha berdiri menopang badannya di atas meja. Ia verusaha mengontrol emosi yang mulai menguasai tubuhnya. Astaghfirullahaladzim …
Tak ingin berlarut-larut dalam emosi, Alysha segera melepas nikabnya dan mengambil air wudu. Sebelum kemabli ke kamar, ia mengambil kotak P3K yang ada di dapur.
Ia sadar telah meninggalkan nikabnya, tapi itu tak menghalanginya untuk sampai ke hadapan Syaf. Wanita itu melihat Syaf yang tengah memejamkan matanya. Ia berpikir Syaf tertidur.
Alysha menarik kursi riasnya dengan hati-hati agar tak menimbulkan suara. Sekarang, ia sampai di hadapan suaminya. Sudut bibirnya berdarah, pelipisnya luka, dan memar hampir memenuhi wajahnya.
Alysha tak kuasa melihatnya. Matanya mulai berkaca-kaca. Air mata mulai menggenang dan siap tumpah kapan saja.
Dengan tangan gemetar, ia membuka kotak P3K dan mulai membersihkan luka suaminya.
Syaf membuka matanya tersentak dengan rasa perih yang menjalar di wajahnya. Kini, wanitanya bisa ia tatap utuh, tanpa ia minta. Ia merasa sedikit bahagia, namun air mata yang mengalir di pipi sang istri yang memerah, mampu mengusir rasa bahagia itu.
Ia menatap wajah Alyha yang masih terfokus pada luka di wajahnya. Istrinya itu sampai menangis sesenggukan. Masih dengan menahan perih di wajahnya, Syaf menangkup wajah istrinya.
Syaf berkata pelan, “Maaf.”
Bukannya berhenti, tangis Alysha justru semakin menjadi.
Ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat, “Nggak, Mas. Aku yang salah.”
“Sssssh,” Syaf membawa Alysha ke dalam pelukannya, “jangan nangis. Aku nggak suka.”
Alysha mengeratkan pelukannya pada Syaf dan terus menangis sesenggukan di dada bidang pria itu.
Cukup lama mereka berasa dalam posisi itu. Syaf terus mencoba memberi ketenangan kepada istrinya sebanyak mungkin hingga tangisannya berhenti.
Alysha mendongakkan kepalanya. Syaf yang merasa ada pergerakan juga langsung menundukkan kepalanya. Mereka berdua bertatapan dengan jarak yang begitu dekat.
“Nggak pakai cadar?” Tanya Syaf.
Alysha menggeleng sebagai jawaban dengan matanya yang tak lepas dari wajah Syaf. Syaf tersenyum kecil, menggemaskan sekali istrinya ini.
Syaf mencium kening Alysha cukup lama. Setelah Syaf menyudahinya, Alysha segera mengurai pelukannya dan mengemas kotak P3K.
Alysha membawa kotak itu di pangkuannya, “Tadi itu Mas Haris.”
“Iya, aku tau.” Ucap Syaf dengan senyum kecilnya. “Sebelum berantem, kami kenalan dulu. Dia nanyain kamu.”
“Jadi … bener gara-gara aku, ya?” Alysha menundukkan kepalanya.
“Bukan, Sayang.” Syaf menarik dagu Alysha hingga Alysha menatapnya lagi, “Anggap aja ini cara Allah untuk ngasih tau aku, kalo aku harus bener-bener jagain kamu.”
“Maaf.” Mata Alysha mulai berkaca-kaca lagi.
“Jangan nangis lagi, Lysh. Kan aku udah bilang, aku nggak suka liat kamu nangis.”
Alysha mengangguk pelan.
“Wisnu udah sembuh ya, Mas?”
Syaf baru mengingatnya. Wisnu sudah baik-baik saja ketika menolongnya tadi.
“Sepertinya. Dia udah bisa nonjok juga,” Syaf terkekeh mengingatnga. “Nanti Mas telepon sekalian bilang makasih.”
Lagi-lagi, Alysha mengangguk pelan.
“Aku mau beresin belanjaan. Mau aku masakin apa?”
“Apa aja, Sayang.”
Syaf pernah berkata kepada dirinya sendiri bahwa ia akan memikul beban apa pun dan seberat apa pun dalam kehidupannya bersama Alysha. Ia akan selalu mengingatnya.
Syaf merogoh saku celananya dan mengambil ponsel yang bergetar sejak tadi.
“Assalamualaikum,”
“...”
“Jangan hari ini ya, She. Lagi banyak urusan.”
“...”
“Nggak usah, Dek. Nggak ada apa-apa. Dateng minggu depan aja, nanti bisa ketemu Abang sama Alysha.”
“...”
“Waalaikumsalam.”
Syaf menghela nafas lega karena berhasil membujuk She untuk tidak datang hari ini. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika ayah, ibu, dan adiknya melihatnya dalam kondisi seperti ini. Ia berharap semoga saja minggu depan lukanya benar-benar sudah sembuh : tanpa bekas!
229Please respect copyright.PENANAp010gp9vrO
229Please respect copyright.PENANAFuHXmff1b2