Berhentilah mencemooh jarak. Meskipun memisahkan, tapi ia memberimu kesempatan untuk menikmati rindu, sebagai yang merindu bukan yang dirindu.265Please respect copyright.PENANAisRi4ciTIP
Atau belum menjadi yang dirindu, barangkali. Tentang takdir, siapa yang tahu?265Please respect copyright.PENANA9HISrk60cj
265Please respect copyright.PENANAf86t2ECnX0
Pagi itu, selesai sarapan bersama Syaf tidak langsung beranjak dari duduknya.
"Kamu hari ini naik taxi ya, Dek." Ucap Syaf.
"Lah, kok gitu? Mau sama abang aja." Ujar Shea tak terima.
"Abang hari ini ke kantor agak siangan, mau ke bandara dulu soalnya."
"Ngapain?", tanya Shea memicingkan mata curiga.
"Nganter temen."
"Siapa Syaf?" Tanya Salman.
"Wisnu. Kurang tau si, dia mau ngapain. Tumbenan minta dianter."
"Oh, Wisnu Alfarisi? Emang orang sibuk dia mah. She biar Ayah aja yang nganter, ya?"
"Nggak, She udah bisa naik taxi sendiri, kok. Ya kan, She?" Ucap Syaf cepat.
Ia tidak ingin ayahnya yang sudah berumur itu harus jauh-jauh mengantar Shea. Shea sudah dewasa sekarang.
Melihat putrinya hanya diam, Fida menepuk pelan pundak kanan Shea.
"Eh, iya? Iya She naik taxi aja. Nggak apa-apa kok, Yah." Ucap Shea setelah sadar dari diamnya.
"Ya udah, yang penting kamu bisa jaga diri."
"Syaf duluan Yah, Bu. Assalamualaikum." Pamit Syaf. Tak lupa ia mencium punggung tangan orang tuanya dan mengelus puncak kepala Shea.
"Waalaikumsalam."
"Dihabisin sarapannya, She." Ucap Fida.
"Iya, Bu." Jawab She seadanya.
Setelah menghabiskan sarapannya, Shea berpamitan kepada orang tuanya.
Tidak membutuhkan waktu lama, Sheana sudah berada di angkutan umum menikmati perjalannya menuju kantor. Dari pada taxi, Shea lebih memilih angkutan umum. Memang berdesakkan, tapi Shea bahagia. Ia bisa berbaur dengan banyak orang. Ia terus mengukir senyumya menutup suatu bagian yang terasa kosong.
Lain dari hari-hari sebelumnya, Shea tidak bertemu dengan Alysha. Meja kerja Alysha juga masih rapi, sama seperti kemarin.
"Alysha ke mana, ya? Coba telepon, ah."
Sudah beberapa kali Sheana mencoba, tapi teleponnya tidak tersambung sama sekali.
"Kenapa, sih? Kangen Alysha." Gumam Shenana dengan kepala yang ia posisikan di atas meja kerja.
"Saya nggak mau punya sekretaris males-malesan, ya." Dingin. Siapa lagi kalau bukan Abigail.
"Eh, Pak Bos. Assalamualaikum, Pak." Ucap Shea seramah mungkin. Tapi tetap saja senyumnya terlihat dibuat-buat.
"Waalaikumsalam. Kenapa kamu masih pagi udah males-malesan gitu?" Tanya Abigail ketus.
"Saya nggak kenapa-kenapa kok, Pak."
Abigail terdiam sebentar.
"Itu adalah jawaban standar perempuan yang sedang kenapa-kenapa."
"Anu, Pak. Dari tadi saya nggak liat Alysha. Saya hubungi juga nggak bisa."
"Oh. Alysha izin nggak ngantor hari ini. Ada keperluan katanya."
"Oh gitu ya, Pak." Jawab Sheana dengan mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Memangnya kamu tidak dikasih tau?"
"Nggak, Pak. Oh ya Pak, hari ini Bapak ada jadwal ketemu Pak Wijaya, jam 8, buat ngebahas kerja sama proyek baru. Tempatnya di kantor beliau, Pak."
"Oke, saya ke ruangan sebentar. Ada yang harus saya ambil. Kamu juga jangan lupa siapin apa yang sekiranya dibutuhin."
"Siap, Pak."
Sampai di depan kantor Pak Wijaya, Abigail dan Sheana segera turun dari mobil. Mereka berjalan bersisian dengan jarak yang tidak terlalu dekat. Mereka terlihat begitu bahagia, bercerita dan bertukar tawa. Siapapun yang menyaksikannya, akan beranggapan mereka berdua adalah pasangan muda serasi.
Tidak terkecuali seorang perempuan yang sedari tadi fokus melihat keduanya. Tak ada yang tahu persis ekspresi wajahnya karena tertutup niqab. Ia hanya diam. Kedua matanya pun hanya memancarkan ketenangan.
"Berhenti." Bisiknya pada dirinya sendiri. Tetapi ternyata mampu di dengar oleh perempuan di sebelahnya.
"Berhenti kenapa? Itu kan tempatnya." Ucap Alysha dengan menunjuk gedung yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Di depan gedung itu terlihat beberapa perempuan berhijab yang hendak masuk ke dalam gedung.
"Oh, ayo. Udah mau mulai." Ucap Zivanna dengan nada yang dibuat setenang mungkin.
Di dalam gedung itu, puluhan muslimah berkumpul. Setelah semua menata duduknya, Zivanna mulai menjalankan acara. Ia menjelaskan tentang keutamaan seorang wanita.
Setelah beberapa menit, muncullah pertanyaan dari mulut Zivanna.
"Jadi, ada yang sudah yakin untuk memakai niqab?"
Tidak ada jawaban. Semuanya menunduk, membiarkan setetes demi setetes air mata itu turun.
"Sudah yakin?" Ulang Zivanna.
Mereka masih menunduk dengan mengusap air mata mereka. Lalu mengangguk dan menyatakan keyakinan hati mereka.
"Insya Allah."
"Alhamdulillah." Ucap Zivanna dan beberapa rekannya yang sudah memakai niqab.
Zivanna dan rekannya itu mulai memakaikan niqab kepada wanita-wanita di sana. Mereka semua menangis haru bahagia.
Zivanna memasangkan niqab kepada Alysha. Ada air mata yang terbendung di mata Alysha.
"Alhamdulillah, Alysha."
"Alhamdulillah. Makasih, Sya."
Alysha dan Zivanna saling berpelukan. Keduanya menangis bahagia.
Zivanna memberikan nasihat kepada saudari-saudarinya itu. Ia menguatkan keyakinan mereka atas apa yang telah mereka pilih dan agar selalu berdoa kepada Allah, senantiasa istiqamah.
Setelah memberikan penutup dan memimpin doa bersama, Zivanna mengajak Alysha untuk pulang. Saat menuju ke mobil, lagi-lagi Zivanna melihat dia dan sekretarisnya.
Alysha yang kini sudah memakai niqab pun, mencoba ikut melihat objek pandangan sahabatnya itu.
Tapi, Alysha hanya dapat melihat bagian belakangnya saja. Seorang perempuan berhijab dan seorang laki-laki dengan jasn hitamnya, menaikki mobil hitam.
Pandangan Alysha dan Zivanna mengikuti laju mobil itu sampai tak terlihat lagi.
"Siapa?" Tanya Alysha.
"Bukan siapa-siapa. Ayo pulang, Lysh."
Zivanna mengatakannya dengan pandangan lurus ke depan. Ketika mencoba melangkah meninggalkan tempat itu, Alysha memegang tangannya.
"Siapa, Sya?" Tanya Alysha dengan nada serius.
Zivanna menatap Alysha dengan diamnya.
"Laki-laki yang dijodohin sama kamu?"
"Iya." Jawab Zivanna singkat.
"Perempuan itu siapanya?"
"Sekretaris."
"Terus ngapain kamu ngeliatin sampe segitunya?"
"Aku berhenti."
"Berhenti? Berhenti apa maksud kamu?"
"Berhenti minjem nama dia buat dijadiin topik diskusi sama Allah. Berhenti minta dia sama Allah." Ucap Zivanna datar.
"Loh kok gitu, Sya?" Ucap Alysha menyiratkan keterkejutannya.
"Sederhana. Dia maunya bukan sama aku." Jawab Zivanna dengan tenang.
"Kamu mau nyerah gitu aja?"
"Bukan nyerah. Tapi aku cukup tahu diri, kalo sekarang udah waktunya aku berhenti. Udahlah, pulang ke rumahku dulu, yuk." Ucap Zivanna dengan berjalan menggandeng tangan Alysha.
"Sekuat itu kah kamu, Zivanna Anastasya?" Tanya Alysha lirih. Ia ikut sedih untuk apa yang dialami sahabatnya itu.
"Nggak ada manusia lemah. Tergantung pribadi masing-masing saja."
Setelah masuk ke mobil, Zivanna mulai melajukan mobilnya membelah jalanan, menuju rumahnya.
Setelah menemukan keberadaan Wisnu di bandara, Syaf langsung menghampiri Wisnu yang ternyata sudah bersama Jojo.
"Assalamualaikum." Ucap Syaf.
"Waalaikumsalam."
"Jadi lo mau ke mana? Tumben minta dianter." Yanya Syaf.
"Dari tadi gue juga nanya, tapi Wisnu bilang nunggu lo dulu." Ucap Jojo.
"Ehm. Sorry, mungkin permintaan gue udah ganggu waktu kalian berdua."
"Nggak, Nu. Kayak sama siapa aja." Suara Jojo menginterupsi.
"Gue mau ke Singapura. Nggak tau sampe kapan. Gue mau pamit sama kalian."
"Bisnis, lo?" Tanya Syaf.
"Belum tau juga. Gue cuma lagi nyari ketenangan."
"Lah, lo kalo ada masalah cerita, dong." Ucap Syaf.
"Nggak ada apa-apa, Syaf." Ucap Wisnu tersenyum.
'Masa iya gue bilang mau ngindarin adek lo, Syaf. Kan nggak lucu.' Ucap Wisnu dalam hati.
"Ya udah, ati-ati di sana. Jangan lupa ngasih alamat lo."
"Bener, tu. Ntar kalo gue sama Nadia udah sah, honey moon ke Singapura nginep di tempat lo aja, low budget." Ucap Jojo.
"Nggak." Ucap Wisnu tegas.
"Apaan si lo, Jo. Kasian noh yang jomblo." Ucap Syaf dengan terkekeh. Ia menunjuk Wisnu dengan dagunya.
"Kirain mau belain gue. Lo juga jomblo, Syaf. Inget." Ujar Wisnu.
"Iye-iye, gue jomblo. Sono berangkat. Jangan lupa ngasih alamat lo."
"Iya. Ntar gue kirim deh. Khusus buat lo, Syaf." Ucap Wisnu dengan melirik Jojo.
"Lah, ngapain liatin gue? Bercanda doang gue tadi. Buat Nadia gue mah bakal kasih yang special." Ucap Jojo dengan tatapan menerawang.
Melihat tingkah sahabatnya itu, Syaf dan Wisnu hanya memutar bola mata jengah.
"Ya udah. Gue berangkat dulu." Pamit Wisnu.
Wisnu menyalami kedua sahabatnya dengan salaman gentle ala laki-laki.
"Assalamualaikum." Salam Wisnu.
"Waalaikumsalam."
"Baik-baik di sono. Jangan lupa kangen gue." Ucap Jojo.
"Nggak yakin gue bakal kangen lo, Jo." Jawab Wisnu dengan tawa kecilnya.
"Serah lu, yang penting lu bahagia dulu dah. Gue mah gampang, ntar." Ucap Jojo dengan ekspresi sok serius.
"Drama banget lo pada. Sana Nu, ntar ketinggalan lagi."
"Iya. Kalian juga baik-baik di sini."
"Lah gue baru sadar. Ntar kalo gue nikah lo dateng nggak? Pokoknya harus dateng. Nggak mau tau gue." Ucap Jojo menggebu-gebu.
"Insya Allah, kalo bisa ntar gue dateng." Jawab Wisnu dengan senyum tulusnya.
"Udah, ih. Kapan selesenya ini. Paling penting jangan putus komunikasi. Sana, Nu!" Ucap Syaf.
"Iya. Makasih buat semuanya."
"Apa sih yang nggak buat lo, Mas Wisnu." Jawab Jojo.
"Jijik!" Ucap Syaf dan Wisnu bersamaan.
Wisnu hanya membalasnya dengan mengerucutkan bibir dan mengangkat kedua bahunya acuh.
Aku pergi. Sejenak melepas penat dari rutinitas baruku yang mulai menjadi candu. Mendiskusikanmu dengan Allah. Maaf, aku lancang. Apa kau ingin tahu? Aku akan mengambil sebuah keputusan besar. Berhenti mengharapkanmu atau berhenti mencari selain kamu.265Please respect copyright.PENANAgGcaKO9KX4
Aku pamit. Tapi satu yang pasti, aku akan kembali. Entah untuk memperjuangkanmu atau mengikhlaskanmu.