Tak ada perjuangan yang sia-sia. Kenapa banyak rintangan dan kau merasa begitu sulit? Agar ketika kau sampai di akhir, kau punya cerita yang bisa dikenang sampai sebelum Allah mengambil semuanya darimu. Allah memang seromantis itu, ya?
"Bu, Dewi belum ngasih kabar?" tanya Salman yang sedang menikmati kopi di hari liburnya. "Udah berhari-hari, lho. Soal She sama Wisnu mau gimana?"
"Dewi masih belum ngabarin. Belum ada kabar juga, Yah," jawab Fida sembari memainkan jarinya di bibir cangkir putih di hadapannya. "Kita perlu siap-siap dulu atau nunggu kabar?"
"Menurut Ayah, kita fokus dulu sama pernikahan Syaf. Menurut Ibu gimana?"
"Pernikahan Syaf emang sebentar lagi. Tapi, Ibu takutnya Dewi ngabarin mendadak."
"Nggak apa-apa, Bu. Baru lamaran juga. Kalo bajunya mau yang harus bikin, ya boleh sekarang." Respons Salman.
"Bareng sama fitting baju buat pernikahan Syaf sama Alysha aja, ya?"
"Nah, iya. Biar sekalian."
"Tapi, perasaan Ibu kok agak nggak enak, ya, Yah?" Ucap Fida dengan tatapannya yang gelisah.
"Perbanyak dzikir, Bu," jawab Salman. "Jangan terlalu cemas sama anak-anak. Semua Allah yang atur."
Siang harinya, keluarga Sheana, minus Syafril, dan keluarga Alysha melakukan fitting baju pernikahan. Putih dipilih untuk warna baju akad Syaf dan Alysha. Ungu muda dipilih untuk baju resepsi dan seragam keluarga.
Alysha sedikit kecewa karena ketidakhadiran Syaf saat ini. Namun, ia tak bisa apa-apa. Cukup banyak pekerjaan yang harus lak-laki itu selesaikan dan statusnya yang masih sebatas calon istri. Ia tak bisa menuntut terlalu banyak. Rencana Allah, siapa yang tahu? Alysha hanya berharap, pernikahannya dan Syaf berjalan lancar.
Berulang kali ia menyalakan ponselnya untuk melihat apakah ada pesan atau panggilan dari Syaf. Namun nihil. Laki-laki itu tak mengabarinya atau menanyakan kabarnya sama sekali. Permintaan maaf pun tak ia terima.
Alysha memutuskan untuk berhenti mengharapkan kabar dari Syaf dan mencoba fokus pada kegiatannya saat ini.
"Hey, kakak ipar? Kok ngelamun?" Tanya She yang sudah berada tepat di samping Alysha.
"Ah, enggak kok, She," jawab Alysha dengan senyum kecilnya. "Udah selese?"
"Udah, kok." Jawab She dengan senyumnya yang ceria.
"Cie, bentar lagi mau nikah juga," goda Alysha. "Jodoh emang nggak disangka-sangka, ya?"
"Nikahnya masih lama, lamarannya juga belum." Jawab She dengan malu-malu.
"Paling sebentar lagi," jawab Alysha sebelum mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan dan hanya menemukan Salman dan Hamdan yang nampak sedang bercanda. "Azzam sama Ibu ke mana, ya?"
"Mau keluar sebentar katanya. Ibu aku udah akrab banget sama Azzam, masa?"
"Alhamdulillah kalo gitu." Ucap Alysha dengan senyum yang sedikit dipaksakan. "Kamu gimana? Suka sama Azzam, nggak?"
"Suka, Lysh. Bule gitu, gemesin," Jawab Sheana dengan tawa kecilnya. "Kamu sedih Bang Syaf masih sibuk urusan kantor?"
"Enggak, kok. Lagian itu kan tanggung jawab dia, She. Aku juga nggak bisa menuntut banyak. Kita langsung pulang, kan?"
"Makan dulu, lah. Laper, Lysh." Jawab Shea dengan semangat.
Dua keluarga itu memutuskan untuk makan di sebuah tempat makan sederhana. Semua orang ikut ceria melihat Azzam makan dengan begitu lahap dan belepotan.
"Lysha ke toilet dulu ya, sebentar." Pamit Alysha setelah bangkit dari duduknya.
"Mau aku temenin, Lysh?" Tawar Shea.
"Nggak usah, She. Deket, kok." Alysha tersenyum dan beranjak menuju toilet.
"She, coba telfon Bang Syaf. Kalo urusannya udah kelar, suruh dia ke sini." Pinta Salman.
"Oke, Yah. She telfon Abang dulu."
Selesai dengan urusannya di toilet, Alysha menyegerakan diri untuk kembali ke keluarganya. Ia takut Azzam akan mencarinya juga. Tak jauh dari tempat keluarganya sedang makan, langkah Alysha terhenti karena panggilan dari seseorang.
"Lysha?"
Suara itu masih tetap sama. Merdu, penuh karisma, dan juga ada kelembutan di sana.
"Mas Haris?" Alysha sedikit terkejut dengan pertemuannya dengan Haris di sini dan di waktu ini.
"Ternyata benar, kamu Alysha. Saya takut salah orang. Tapi, mata kamu memang berbeda. Apa kabar?" Tanya Haris sedikit canggung.
"Alhamdulillah, kabar Lysha baik, Mas. Mas Haris gimana?" Jawab Alysha tak kalah canggung.
"Alhamdulillah, saya baik-baik saja. Terlebih, saya sudah bertemu kamu lagi," ucap Haris dengan senyum tulus yang begitu menawan. "Lama, ya, kita nggak ketemu? Saya masih sedikit menyesali keputusan saya untuk pergi waktu itu."
"Nggak perlu menyesal, Mas. Kan sudah lewat. Itu juga untuk kebaikan Mas Haris."
Haris tak pernah berhenti mengagumi perempuan di hadapannya ini. Sejak dulu, sejak di bangku perkuliahan.
"Tetap cantik." Ucap Haris tanpa sadar.
"Kenapa, Mas? Mas ngomong sesuatu?"
"Ah, enggak. Ayah sama Ibu apa kabar?" Tanya Haris berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Baik, Mas. Alhamdulillah. Ayah sama Ibu juga ada di sini. Mau ketemu?"
"Lain kali, mungkin. Saya masih ada urusan. Sampaikan salam saya untuk mereka, ya."
"Iya, Mas. In Syaa Allah, nanti Lysha sampaikan. Lysha pergi dulu. Takut ditungguin. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Alysha berbalik badan dan mulai melangkah menjauhi Haris sebelum suara laki-laki itu menghentikan langkahnya lagi dan membuatnya menoleh.
"Kamu sudah menikah?" Tanya Haris to the point.
Alysha mengerutkan alisnya mendengar pertanyaan yang meluncur dengan mulus dari mulut Haris.
"Belum, Mas." Jawab Alysha.
Mendengar jawaban Alysha, senyum Haris mengembang sempurna menampilkan deretan giginya yang rapi.
"Saya pergi dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Alysha tersenyum manis di balik nikab hitam yang ia kenakan, menatap langkah Haris yang semakin menjauh.
Dialah Haris, Haris Wijaya. Laki-laki yang mampu mengisi hatinya selama ia berjuang menempuh pendidikan di bangku perkuliahan. Dialah laki-laki yang mampu membuatnya lupa akan sosok Syaf yang menjadi cinta dalam diamnya saat di putih abu-abu.
Semua baik-baik saja sampai sebelum Haris wisuda dan harus melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Saat itu, ia berpikir bahwa seberapa keras pun ia mencoba, seberapa cepat ia mengejar, ia tak akan pernah sampai pada sosok Haris. Hingga di hari ini, penghangat hatinya hadir kembali di hadapannya, menyapanya dengan senyuman yang menawan, dan tatapan yang penuh dengan ... cinta?
"Astaghfirullahaladzim," Alysha sadar akan pikirannya yang sudah melayang ke mana-mana. Dengan cepat ia kembali melanjutkan langkahnya.
Sampai di tempat keluarganya sedang makan, Alysha melihat Syaf yang sudah ada di sana dan Azzam di pangkuannya.
Melihat raut wajah Syaf yang begitu tulus, Alysha merasa bersalah karena pertemuannya dengan Haris tadi. Tapi, ia meyakinkan hatinya bahwa ia dan Haris hanya sebatas saling mengenal biasa. Sebatas teman biasa. Sahabat mungkin lebih tepat.
Alysha kembali mendudukkan dirinya di samping Sheana.
"Kok lama? Tadi bilangnya sebentar." Ucap Shea.
"Antre, She." Jawab Alysha sekenanya.
Mengetahui kedatangan Alysha, Syaf memandang Alysha dan tersenyum sekilas lalu kembali melanjtkan aktivitasnya dengan Azzam.
Alysha begitu memikirkan Syaf sebelum ia bertemu Haris. Tapi, mengapa sekarang justru merasa sakit melihat Syaf tersenyum. Ada sebenarnya ini, Ya Allah?
Selesai acara makan bersama itu, Syaf kembali ke kantornya dan dua keluarga yang ada di sana juga memutuskan unutk pulang ke rumah masing-masing.
"Azzam ikut Nenek, yuk?" Ajak Fida pada Azzam.
Azzam menggeleng-gelengkan kepalanya pelan sambil terus bergelayut manja di tangan Alysha.
"Masih malu kayaknya, Fid," ucap Dania. "Lain kali mungkin dia mau."
"Harus mau, dong. Ya, udah. Kami pamit dulu, ya. Assalamualaikum." Pamit Fida.
Sheana menganggukkan kepalanya sebagai tanda pamit dan mencubit pipi Azzam dengan gemas sebentar. Sedangkan Salman sudah menunggu di dalam mobil.
"Waalaikumsalam." Jawab keluarga Alysha serempak.
Sampai di rumah, Fida mendapatkan sebuah penggilan masuk. Perasaannya tidak menentu. Ia memutuskan untuk megangkat panggilan itu dengan menjauh dari suami dan putrinya.
Salman dan Sheana menatap Fida aneh. Tidak biasanya Fida harus menjauh ketika menerima panggilan. Wajah Fida mulai gelisah, ia mondar-mandir tak tentu arah. Tak lama, ia berhenti dan menutup panggilannya. Tatapannya kosong ke depan.
Salman segera menghampiri istrinya untuk meminta penjelasan. Bukannya menjawab, Fida justru menatap She dengan tatapan yang sulit diartikan. Salman mencoba memahami situasi dengan menyuruh She untuk ke kamarnya. She mengangguk dan langsung menuju kamar.
"Siapa yang telfon?" Tanya Salman pelan dengan tangan yang ia letakkan di kedua bahu Fida.
"Dewi, Yah." Fida langsung terduduk menangis di lantai.
"Kenapa?" Tanya Salman yang sudah menyejajarkan tubuhnya dengan Fida.
"Dia batalin lamarannya, Yah," Fida mencoba unutk menyelesaikan kalimatnya di tengah tangisannya. "Tapi, dia nggak bilang alasannya. Waktu aku tanya, Dewi matiin telfonnya gitu aja."
"Sudah, Bu. Nggak apa-apa." Ucap Salman mencoba menenangkan.
"Kasian She, Yah. She keliatan bahagia banget karena lamaran ini. Terus tiba-tiba dibatalin gitu aja. Ayah liat nggak, si?" Ucap Fida mulai kesal.
"Tapi kan kita nggak bisa maksa," ucap Salman selembut mungkin. "Kamu tenang dulu nanti kita coba cari titik terangnya. Kalo kamu kayak gini terus masalahnya nggak akan selese."
"Ibu kenapa, Yah?" Tanya Syaf yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Salman.
"Lamaran Shea batal, Syaf," ucap Salman. "Tadi Tante Dewi batalin lewat telfon."
"Alesannya kenapa?" Tanya Syaf yang masih berusaha mengontrol emosinya. Ia tahu She akan kecewa dengan keputusan ini. Tapi, di sisi lain ia tak bisa langsung menyalahkan Wisnu tanpa tau sebabnya.
Salman hanya menggelengkan kepala sambil terus mencoba menenangkan istrinya.
"She udah tau?" Tanya Syaf.
"Tau apa, Bang? Ibu kenapa?" Tanya She yang datang dengan wajah cemas melihat ibunya yang masih menangis.
"Ibu nggak apa-apa, She." Fida mencoba meredakan tangisannya.
"Jangan bohong, Bu. Nangis kayak gini kok nggak apa-apa," She mengelus lengan ibunya untuk memberi ketenangan. "Ibu kenapa, Yah."
"Lamaran kamu sama Wisnu batal, She." Ucap Salman yang tak berani menatap wajah putrinya.
Gerakan tangan She berhenti. Tatapannya mengarah ke lantai dan berubah kosong. Fida yang melihat itu semakin kuat mencengkeram baju Salman. Syaf masih bingung harus berbuat apa.
"Kamu mending ke kamar dulu, She. Nanti kita omongin lagi." Ucap Syaf sambil membantu Sheana berdiri.
"Kenapa?" Tanya Sheana lemah.
Semuanya tetap diam. Tak ada jawaban yang bisa She harapkan. Ia memutuskan untuk berjalan lunglai menaiki tangga dengan genangan air yang ia berusaha ia bendung di pelupuk mata.
"Ya Allah, kenapa seperti ini? Apa perasaan ini salah, Ya Allah?" Shea sampai di kamarnya dan terduduk bersandar di tempat tidurnya setelah mengunci pintu.
Kalimat istighfar tak henti ia ucapkan sambil terus menahan air matanya. Namun, sekuat apa pun ia mencoba, air matanya tetap mengalir di kedua pipinya.
'Damaikanlah hatiku atas tiap-tiap ketentuan-Mu, Ya Allah.' Batinnya.
Cukup lama ia menangis, hingga ia tertidur di lantai yang dingin.
Waktu sudah menunjukkan jam 7 malam, namun She masih tak kunjung keluar dari kamanrya. Keluarganya mulai khawatir. Syaf terus mencoba menghubungi Wisnu, namun tidak aktif. Ia juga meminta tolong Jojo dan Jojo menyarankan untuk mendatangi rumah Wisnu besok.
"She nggak ikut turun, Syaf?" Tanya Salman. Fida masih sibuk menyiapkan makan malam.
"Sebentar, biar Syaf panggil."
Syaf sampai di depan pintu kamar Sheana. Ia memanggil nama adiknya itu berulang kali dan juga terus mengetuk pintunya. Namun, tak ada respons sama sekali. Salman dan Fida juga memutuskan untuk menyusul Syaf ke kamar Shea karena Syaf tak kunjung kembali ke meja makan.
"Gimana, Bang?" Tanya Fida cemas.
"Pintunya dikunci. Syaf dobrak aja."
Di percobaan ketiga, pintu kamar She akhirnya bisa terbuka. Semua anggota keluarga terkejut melihat She tertidur di lantai dengan matanya yang sembab.
"Ya Allah! Sheana? Bangun, Nak," Fida mengangkat kepala Shea ke pangkuannnya. "Astaghfirullah, badannya panas banget."
"Kayaknya She pingsan, Bu." Ucap Syaf.
"Kita ke rumah sakit sekarang. Siapin mobilnya, Bang!" Perintah Salman.
Setelah ditangani dokter, She masih tidak sadar untuk waku yang cukup lama. Salman dan Fida menunggu di dalam ruangan tempat She dirawat. Sedangkan Syaf, terduduk diam di mobilnya.
Ada sebuah pesan masuk dari Alysha.
Assalamualaikum.
Maaf, Syaf. She ada?
Syaf tak membalas pesan Alysha, namun ia memilih untuk menelfon Alysha. Tak lama, Alysha menerima panggilannya.
"Assalamualaikum. Kenapa, Syaf?"
"Waalaikumsalam. She di rumah sakit. Tadi dia pingsan."
Syaf mendengar Alysha ber-istighfar pelan.
"Kata dokter, dia nggak apa-apa. Tapi, dia masih harus dirawat" Ucap Syaf.
"Kenapa bisa pingsan? Besok aku jenguk Sheana, ya?" Ucap Alysha dengan nada khawatir.
"Nggak tau juga. Di Rumah Sakit Cinta Keluarga," Syaf mengambil nafas sebentar. " Kamu sibuk?"
"Nggak, kok. Kenapa?" Tanya Alysha.
"Jangan dulu matiin telfonnya, ya."
Alysha mengerutkan kening, bingung dengan permintaan Syaf.
"Temenin aku. Nggak usah ngomong apa-apa. Cukup jangan matiin telfonnya."
Hati Alysha menghangat mendengar kata-kata Syaf. Syaf pasti khawatir dengan keadaan Sheana.
"Iya. Jangan terlalu khawatir. Nanti kalo kamu ikutan sakit gimana?"
"Nggak akan," Syaf tersenyum. "Azzam mana?"
"Udah tidur. Kecapekan kayaknya."
"Ooh."
Setelah itu keduanya hanya saling diam, dengan panggilan yang masih menyala. Syaf tertidur di mobilnya, begitu juga Alysha yang tertidur di sofa ruang tamu rumahnya.
But Allah is your protector and He is the best of helper. (Ali Imran 3:150)
ns 15.158.61.6da2