"Loh, She? Udah sehat? Kok ke kantor, sih?" Alysha terkejut bertemu dengan Sheana di depan kantor tempat mereka bekerja.
"Udah, dong. Begitu doang masa sakitnya lama banget," Sheana mencoba terlihat baik-baik saja, "Cie, yang mau nikah. Kok masih ke kantor, si?"
Alysha tersenyum kecil di balik nikabnya, "Aku mau resign, She."
"Resign? Kok bisa barengan gini, sih? Aku juga mau resign." Jawab Sheana.
"Kenapa?" Tanya Alysha heran.
"Nggak apa-apa. Pengin nyoba hal baru aja," She menunjukkan senyuman khasnya, "kamu kenapa resign?"
"Mau lebih fokus aja ke keluarga."
"Cie, bentar lagi jadi Nyonya Syafril Rivai. Ntar tinggalnya di rumah Ayah aja, ya. Jangan mau diajak pindah ke rumahnya Bang Syaf. Biar rame, Lysh." Sheana mencoba membujuk Alysha.
"Aku mah ngikut Syaf aja, She." Alysha terkekeh.
Urusan resign memakan waktu yang cukup lama karena Abigail yang berat untuk melepas rekan-rekan kerja yang kompeten seperti Alysha dan Sheana.
Hari sudah semakin sore dan akhirnya Abigail bersedia melapangkan hati untuk melepas Alysha dan Sheana, yang hari ini telah menyelesaikan pekerjaan terakhir mereka untuk perusahaannya.
"Saya jadi harus ribet cari orang baru lagi, nih," ucap Abigail sedikit tak terima.
"Sabar, Pak. Kami bisa bantu doa, kok." Jawab Alyha santai.
"Semangat, Pak! Apalagi sekarang kan udah ada istri." Ucap Sheana.
"Iya, terima kasih. Semoga setelah kalian nggak kerja lagi di sini, kehidupan kalian akan menjadi lebih baik lagi, ya. Terima kasih atas kerja samanya selama ini. Saya sangat mengapresiasi kinerja kalian berdua," pungkas Abigail.
Setelah dinyatakan resmi mengundurkan diri dari perusahaan Abigail, Alysha dan Sheana sengaja mampir ke Magenta Cafe.
Ketika sedang asyik bercengkrama sambil sesekali menyeruput pesanan favorit masing-masing, satu suara asing bagi Sheana namun akrab bagi Alysha menghampiri telinga dua gadis itu.
"Assalamualaikum," sapa pria itu ramah, "Alysha bukan?"
"Waalaikumsalam," jawab Sheana lirih.
"Waalaikumsalam. Iya, Mas. Ini Alysha," balas Alysha.
"Alhamdulillah, saya nggak salah orang," Haris tertawa kecil, "Boleh gabung?"
Haris melirik dua perempuan di hadapannya untuk meminta persetujuan. Alysha melirik ke arah Sheana yang ternyata juga sedang memandang ke arahnya : diskusi dengan bahasa hati.
Mengetahui jika Alysha dan Haris sudah saling mengenal, rasanya tidak enak juga jika Sheana tidak membolehkan Haris untuk bergabung di meja yang sama dengan dirinya dan Alysha.
"Silahkan," ucap Sheana sopan.
"Syukran," Haris menarik kursi di sebelahnya dan duduk di sana. "beneran nggak apa-apa kalau aku gabung?"
Haris sedikit tak enak hati karena sejak tadi Alysha hanya diam dan tak ikut mempersilahkannya duduk. Haris melirik ke arah Alysha yang tiba-tiba saja menjadi sibuk dengan ponselnya.
"Lysh?" Haris mencoba mengalihkan perhatian Alysha, "aku ganggu, ya?"
"Nggak kok, Mas," ucapnya sedikit gugup, "kok Mas Haris bisa ada di sini?"
"Kebetulan ini kafe temenku, tadi dia minta aku mampir," Haris melirik Sheana sekilas, "kamu nggak mau ngenalin temen kamu ke aku, Lysh?"
"Ini Sheana, Mas. She, ini Mas Haris." Ucap Alysha.
"Saya Haris, teman kuliah Alysha," Haris menjeda kalimatnya, "teman dekat, mungkin." Haris terkekeh merasa aneh dengan perkataannya sendiri.
"Teman dekat?" Tanya Sheana penasaran, ia berusaha melihat ke arah Alysha untuk meminta jawaban. Hasilnya? Nihil. Alysha hanya diam tanpa kode apapun.
"Wah, kayaknya Alysha nggak pernah cerita tentang saya, ya?" Tanya Haris dengan senyum yang masih tercetak di bibirnya. "Apa perlu saya cerita tentang diri saya sendiri?"
"Ngg--"155Please respect copyright.PENANAXxFrnJUi0l
"Cerita aja," Sheana memotong kalimat Alysha cepat. "Cerita aja, Mas."
Haris gamang tentang permintaan Sheana. Ia jadi sedikit takut jika ternyata ia tak tahu banyak tentang Alysha dan akan merusak segalanya. Terlebih, ekspresi Sheana yang mulai tak bersahabat sejak kata 'teman dekat' muncul di tengah mereka.
"Mungkin lain kali, ya. Aku udah ada janji. Harus pergi sekarang," Haris berlagak mengecek jam tangan dan ponselnya bergantian, "pamit, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Balas Alysha dan Sheana bersamaan.
Sheana memilih diam dan tak melanjutkan keingintahuannya mengenai sosok Haris. Tak lama setelah Haris pergi, kedua perempuan itu juga memutuskan untuk meninggalkan kafe.
Alysha mengantar Sheana terlebih dahulu sebelum ia pulang ke rumah. Pada hari itu, memang Sheana naik taxi dan Alysha membawa mobil sendiri.
"Makasih, Lysh," Sheana turun dari mobil Alysha, "nggak mampir dulu?"
"Nggak usah, She. Aku langsung pulang aja. Assalamualaikum."
"Waalaikumssalam."
Selang beberapa detik saja setelah Alysha pergi, Syaf sampai di rumah dengan mobilnya.
"Ngapain, She?" Tanya Syaf kepada Sheana yang masih berada di depan rumah.
"Liatin Alysha tadi." Jawab Sheana.
"Oh, dianter Alysha," Syaf mengangguk-angguk tanda mengerti, "lancar urusannya?"
"Alhamdulillah, lancar," She menghembuskan nafas lelah, "Abang kenal temen Alysha yang namanya Haris?"
"Haris?" Syaf mengerutkan keningnya, "Nggak kenal. Emang kenapa?"
"Tadi, waktu di kafe She sama Alysha ketemu sama yang namanya Haris. Alysha sih panggilnya 'Mas Haris'."
"Terus?" Tanya Syaf masih dalam mode santai.
"Haris bilang, dia temen deketnya Alysha," Sheana memperhatikan raut wajah Syaf yang berubah, "tapi She nggak nanya lagi. Nggak enak soalnya."
Syaf tersenyum kepada Sheana sebagai respons.
"Nanti Abang coba tanyain. Jangan terlalu dipikirin," Syaf mencubit pipi Sheana gemas, "yang mau nikah sama Alysha kan Abang, bukan kamu."
"She masuk dulu, Bang."
"Iya."
Setelah Sheana masuk ke rumah, Syaf langsung mengeluarkan ponsel dari sakunya. Setelah menemukan nomor yang dia cari, Syaf langsung melakukan panggilan.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Kenapa, Syaf? Tumben banget telepon." Jawab Hamdan.
Syaf langsung menghubungi Hamdan karena menurut cara kerja otaknya, jika ada laki-laki yang dekat dengan Alysha, maka orang tuanya pasti tahu.
"Syaf ganggu nggak, Om?"
"Nggak kok, Syaf. Ini lagi main sama Azzam aja. Kenapa?"
"Syaf mau tanya, Om. Om Hamdan kenal temen Alysha yang namanya Haris?"
"Haris?" Hamdan mencoba mengingta-ingat siapa itu Haris, "Oh! Iya, Om inget. Kenal, Om kenal. Kenapa, Syaf?"
"Dia bilang, dia teman dekat Alysha, Om." Ucap Syaf.
"Dekat, ya? Mungkin itu dulu, waktu mereka kuliah. Satu kampus, soalnya. Dulu Haris juga lumayan sering main ke rumah."
Syaf masih diam menunggu kelanjutan perkataan Hamdan.
"Kamu ketemu Haris, Syaf?"
"Enggak, Om. She cerita kalau dia ketemu Haris."
"Syaf, mungkin Haris memang pernah ada di kehidupan Alysha. Tapi, itu dulu. Sekarang, In Syaa Allah cuma kamu saja. Lagian, Alysha sama Haris sudah lama lost contact karena Haris harus lanjut sekolah di luar negeri."
"Iya, Om. Terima kasih."
"Apa perlu Om tanyain ke Lysha?"
"Jangan, Om. Nggak perlu. Jangan bilang ke Alysha kalau saya telepon buat nanyain masalah ini ya, Om." Pinta Syaf.
"Iya, Syaf. Ada yang mau dibicarain lagi?"
"Nggak, Om. Terima kasih dan maaf udah ganggu. Assalamualaikum."
"Nggak ganggu kok, Syaf. Waalaikumsalam."
Aku anggap dia masa lalumu setelah aku memastikan diri untuk menjadi masa sekarangmu dan masa esokmu. Akan aku pikul beban apa pun itu dan seberat apa pun itu, asal kamu juga mau berusaha untuk tetap hidup bersamaku, bernafas seirama dengan denyut nadiku, tetap bersamaku saat aku jatuh, dan tetap di sampingku untuk tersenyum bangga kepadaku saat aku meraih suksesku.
Waktu berlalu begitu cepat. Sadar atau tidak, banyak hal yang sudah berubah. Apa yang terjadwal beberapa bulan lagi, kini tinggal menghitung hari. Apa yang biasa terjadi sepanjang hari, kini sudah tak sama lagi. Ini lah, siap atau tidak, peduli atau tidak, keadaan pasti akan berubah meskipun kita tetap menjadi manusia yang sama.
"Syaf, kayaknya gue nggak bisa dateng ke pernikahan lo, deh." Ucap Wisnu dalam panggilan teleponnya dengan Syaf.
"Kok gitu? Kenapa?" Tanya Syaf sedikit tak terima.
"Gue udah ada jadwal buat operasi, nih. Nggak apa-apa, ya?"
"Alhamdulillah. Iya, itu kan buat kebaikan lo. Semoga berhasil, ya."
"Aamiin. Makasih, Syaf."
"Kemungkinan terbaiknya kan lo bisa liat lagi, Nu," Syaf menjeda kalimatnya, "gimana sama adek gue?"
"Kita nggak pernah tau kemungkinan yang mana yang bakal jadi ketetapan, Syaf. Emang Sheana belum ada yang mau ngelamar atau ngajak taaruf?"
"Banyak, sih. Tapi dianya belum siap."
"Gara-gara gue, ya?"
"Nggak juga. Berhenti ngerasa bersalah, She juga udah baik-baik aja. Dia mau mulai bisnis kayaknya. Belum lama ini dia resign."
"Alhamdulillah, kalau dia baik-baik aja."
"Lo baik-baik aja, nggak?"
"Belum," Wisnu tersenyum sekilas, "udah dulu, ya, Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Selesai melakukan panggilan telepon dengan Wisnu, Syaf menghampiri Ibunya dan Sheana yang tengah disibukkan menyusun hantaran pernikahannya.
"Bu, capek?" Tanya Syaf pada ibunya.
"Nggak, Bang," Fida tersenyum hangat pada putranya, "butuh sesuatu?"
"Nggak, Bu." Syaf menggeleng.
"Ibu dari tadi semangat banget, nggak ada capeknya." Ucap Sheana.
"Bu, istirahat. Ntar kalo Ibu sakit gimana?" Ucap Syaf.
"Nggak akan sakit. Syaf, inget pesen Ayah sama Ibu. Kamu ini imam, kamu harus tegas tapi jangan keras. Kamu juga ayah, didik anak kamu baik-baik."
"Iya, Bu. In Syaa Allah. Syaf mohon doanya, Bu."
"Pasti, Bang. Pasti ibu doain. Semoga, Azzam cepet punya adek, ya." Ucap Fida antusias.
"Nah, setuju. Biar tambah rame." Sahut Sheana tak kalah antusias.
"Belum apa-apa juga," jawab Syaf.
"Gimana, Bang? Udah siap?" Tanya Salman yang sudah bergabung.
"In Syaa Allah siap, Yah. Mohon doanya, ya."
Syaf tengah berjalan-jalan di taman belakang rumahnya. Ia menatap sekelilingnya. Sudah cukup lama ia tak menghabiskan waktunya seperti ini. Langkahnya terhenti oleh Sheana yang sudah berdiri di hadapannya.
"Apa?" Tanya Syaf datar.
"Haris, gimana?" Tanya Sheana berbisik.
"Gimana apanya?"
"Udah tanya belum?" Sheana gemas melihat respons Syaf yang biasa saja.
"Udah, She."
"Ih, kapan?"
"Waktu kamu cerita."
"Ih! Udah lama banget. Kok baru ngomong sih?!" Sheana mulai bersungut-sungut, "Terus jawabannya apa?"
"Iya, temen deket. Tapi dulu, waktu kuliah. Mereka udah lama lost contact, Haris lanjut sekolah ke luar negeri."
"Kata Alysha gitu?"
"Kata Om Hamdan."
"Kok nggak tanya Alysha?"
"Penginnya tanya Om Hamdan. Udah sana pergi! Jangan ganggu, deh."
Sheana pergi meninggalkan Syaf dengan bibir yang mengerucut dan ekspresi sebal pada wajahnya.
"She!" Syaf mencegah She pergi setelah ia sendiri yang mengusirnya.
"Apa?!" Mau tidak mau She harus berbalik badan dan kembali menuju ke arah Syaf.
"Abang udah sampein ke Ayah sama Ibu, tapi ke kamu belum."
Sheana mengerutkan kening menunggu kelanjutan perkataan Syaf.
"Wisnu minta maaf." Syaf menyentuh puncak kepala Sheana, "Nggak baik, Dek, marah ke orang lama-lama."
"She nggak pernah marah, Bang. She ikhlas," Sheana melepaskan tangan Syaf dari kepalanya, "tapi dia nggak ngasih alesan sama sekali."
"Abang tau alesannya, She. Dia laki-laki baik."
"Apa alesannya?"
"Dia ngelarang Abang bilang ke kamu."
"Ke Ayah sama Ibu?"
"Udah bilang. Ayah sama Ibu sangat menghargai keputusan Wisnu."
"Kok She nggak boleh tau?"
Syaf hanya mengedikkan bahu sebagai respons.
"Tapi, kamu beneran udah ikhlas, kan?"
"Iya, Abang."
"Allah akan kasih kamu sesuatu yang begitu besar, yang nggak kamu duga. Percaya, rencana Allah itu yang terbaik."
Yakinlah, ada sesuatu yang menantimu setelah sekian banyak kesabaran (yang kau jalani), yang akan membuatmu terpana hinga kau lupa betapa pedihnya rasa sakit.155Please respect copyright.PENANAo3pLYKdUxp
-Ali bin Abi Thalib-