Suasana rumah Hamdan hari ini begitu tenang. Bukan tak ada orang, tapi semuanya sedang saling bungkam. Bahkan, Azzam pun ikut terdiam menatap orang-orang dewasa di sana tanpa berniat menyentuh mainan-mainan kesayangannya.
"Bunda?" Azzam memanggil Alysha lirih.
Alysha tersenyum sebagai jawaban.
"Azzam .. Pulang yuk, Nak," Tantri memegang pipi Azzam, "sama Mama, sama Oma dan Opa, Sayang."
Hari ini Tantri dan kedua orang tuanya datang untuk menjemput Azzam dan berniat membawa bule kecil itu bersama mereka.
"Mama dari mana? Kok baru mau jemput Azzam?" Bocah itu bertanya kepada Tantri masih dengan tubuhnya yang menempel manja pada Alysha.
"Mama ada urusan, Nak," air mata Tantri mulai mengalir, "maafin Mama, ya? Sekarang kita pulang, kasihan keluarga Bunda Alysha."
"Bunda? Azzam bikin Bunda, Nenek, dan Kakek susah, ya?"
"Enggak, Sayang. Kami bahagia Azzam di sini." Jawab Alysha penuh pengertian.
Tantri memandang kedua orang tuanya untuk meminta bantuan agar Azzam mau diajak pulang.
"Azzam? Pulang, yuk! Sama Opa, Oma, dan Mama juga," ayah Tantri berusaha memberi pengertian pada cucunya itu, "Nanti, Azzam boleh kok, sering main ke sini. Iya, kan, Bunda Alysha?"
"Iya. Azzam boleh, kok, sering main ke sini."
"Ya udah, deh. Azzam mau ikut Mama. Tapi, Azzam harus sering main ke sini." Ucap Azzam.
"Iya, Sayang," ayah Tantri menggendong Azzam setelah Azzam setuju untuk pulang, "bilang terima kasih dulu, Nak."
"Bunda, terima kasih, ya," Alysha membalasnya dengan senyuman hangat dan mata yang berkaca-kaca, "maaf ya, Azzam udah bikin Bunda susah."
"Kakek, Nenek, terima kasih, ya. Maaf juga, Azzam udah nyusahin di sini."
"Azzam nggak nyusahin, kok. Sering-sering main ke sini ya, Sayang." Ucap Dania dengan air mata yang sudah menggenang.
Memang apa yang bisa Alysha dan keluarganya lakukan? Melarang Azzam pergi dari rumah mereka? Itu terlalu egois. Mereka tak memiliki hak apapun atas Azzam. Meskipun mereka sudah terlanjur menyayangi Azzam seperti anggota keluarga mereka sendiri, tumbuh kembang Azzam akan lebih baik jika didampingi oleh ibu kandungnya.
Setelah menyalami Alysha, Hamdan, dan Dania, ayah dan ibu Tantri membawa Azzam keluar. Sedangkan Tantri memilih untuk tinggal sejenak.
"Kamu yakin kalau Daniel nggak akan ganggu kalian lagi?" Tanya Alysha pada Tantri.
"In Syaa Allah, Lysh. Seperti yang udah aku bilang, sekarang dia dipenjara karena kasus yang berat. Aku akan memanfaatkan itu untuk menghilang dari bayang-bayang Daniel," Tantri memeluk Alysha erat, "maaf, udah bikin kamu dan keluarga kamu repot. Terima kasih banyak juga karena kamu udah mau menjaga Azzam dan merawatnya seperti anak kamu sendiri."
Tantri mengurai pelukannya dan beralih menghadap Hamdan dan Dania.
"Om, Tante, saya minta maaf karena telah seenaknya menitipkan Azzam kepada Alysha. Saya juga sangat-sangat berterima kasih karena keluarga ini mau menerima Azzam."
"Kami senang Azzam di sini. Tapi, kami tidak punya hak untuk menahan Azzam tetap di sini. Jadi ibu yang baik untuk Azzam dan didik Azzam agar menjadi laki-laki yang baik ya, Nak Tantri." Ucap Hamdan.
"Sering-sering ajak Azzam main ke sini, ya." Ucap Dania.
"In Syaa Allah, Tante. Kalau begitu, saya pamit. Sekali lagi maaf dan terima kasih untuk semuanya. Assalamualaikum."
Azzam sudah tidak ada lagi di tengah-tengah keluarga Alysha. Rasanya sepi dan kosong. Ada yang hilang pada diri mereka masing-masing. Bocah bule itu mampu menyita satu ruang di hati semua orang dalam waktu sekejap.
Meskipun Azzam sudah lama pergi dan belum ada kabar bahwa dia akan ke rumah Alysha lagi, mainan Azzam masih ada di sana. Tersusun rapi dan pernuh warna.
"Nggak ada Azzam sepi, ya?" Hamdan menatap seisi ruang keluarga, "menurut kamu gimana, Lysh?"
"Iya, sepi. Meskipun sebelum ada Azzam juga suasana rumah ini kayak gini, tetep aja ada yang beda."
"Tantri udah ngabarin kamu belum?" Tanya Fida.
"Udah, Bu. Mereka udah dapet rumah baru. Katanya nggak terlalu besar, tapi daerahnya agak sepi. Dia ngerasa lebih aman di situ. Ayah sama ibunya Tantri yang pilih."
"Kapan Azzam mau main ke sini?"
"Belum tau, Bu."
"Dia dateng ke pernikahan kamu, kan?"
"Belum tau juga, Bu. Tapi Alysha nggak akan maksa, sih, kalau memang mereka nggak bisa."
"Udah siap jadi istri, Lysh?" Hamdan duduk di samping putrinya, "sebentar lagi, loh."
"In Syaa Allah, Alysha siap," Alysha memeluk Hamdan erat, "doain Alysha ya, Yah."
"Pasti, Lysh. Ayah sama Ibu pasti doain kamu terus." Dania duduk bergabung dengan putri dan suaminya.
Ketika sedang asyik berbincang, terdengar ketukan dari pintu.
"Biar Ayah yang buka." Hamdan beranjak dari duduknya.
Satu wajah menawan yang sudah lama tak menghampiri indra penglihatan Hamdan, kini muncul dengan raut yang masih sama. Tegas, ramah, dan sopan.
"Assalamualaikum, Yah."
"Waalaikumsalam," Hamdan berpikir sebentar untuk mencoba meyakinkan dirinya sendiri, "Haris? Kamu Haris, kan?"
"Iya, Yah. Saya Haris," Haris mencium punggung tangan Hamdan, "Ayah masih inget saya ternyata."
"Loh, ingatan saya ini cukup bagus, Ris," Hamdan menepuk-nepuk pundak Haris, "ayo masuk, Ris! Udah lama banget kamu nggak ke sini."
"Iya, Yah. Banyak yang harus dikerjain soalnya."
Hamdan membawa Haris masuk dengan wajah sumringah. Setelah sekian lama tak berjumpa, kini teman minum kopi dan bermain caturnya datang menghampirinya. Alysha dan Dania saling pandang setelah mengetahui siapa tamu mereka hari ini.
"Assalamualaikum." Haris memberi salam dengan ramah.
"Waalaikumsalam," Dania berdiri, "apa kabar, Nak Haris?"
"Baik, Bu, alhamdulillah. Ibu apa kabar?"
"Ibu baik, Ris. Alhamdulillah. Silahkan duduk, Nak Haris."
Haris mengangguk sebagai jawaban dan mengambil tempat duduk tepat di seberang Alysha.
"Lysh, buat minum dulu buat Haris." Ucap Hamdan sebelum duduk di kursinya.
"Iya, Yah," Alysha mengangguk dan berdiri, "Mas Haris mau minum apa?"
"Apa aja, Lysh." Jawab Haris dengan senyum yang semakin lebar.
Alysha melangkah ke dapur dengan gontai. Untuk apa pria itu datang kemari? Sekadar silaturahmi kah?
Dania menghampiri Alysha yang sedang menyiapkan cangkir di atas nampan.
"Haris ngapain ke sini, Lysh?" Tanya Dania setengah berbisik.
"Lysha juga nggak tau, Bu," Alysha mulai memasukkan kopi instan ke dalam cangkir, "mungkin silaturahmi aja."
"Kamu yakin?" Dania bertanya dengan wajah yang menampilkan rasa ketidakpercayaannya.
"Kan mungkin, Bu," Alysha menuangkan air panas ke cangkir yang sama, "emangnya ngapain lagi?"
"Iya, sih," Dania mengaduk kopi dalam cangkir yamg telah disiapkan Alysha, "Ibu takutnya dia masih ngarepin kamu."
"Ibu...." Alysha mengeluarkan protesnya setelah mendengar apa yang Dania katakan, "jangan mikir yang aneh-aneh, deh."
"Ya udah," Dania mengedikkan bahunya tak peduli, "Ibu ke depan dulu. Kamu yang bawa kopinya, ya."
"Iya, Bu."
Alysha meletakkan empat cangkir kopi di atas meja tamu rumahnya. Semua gerak-gerik Alysha tak lepas dari penglihatan Haris meskipun hanya lewat sudut mata pria itu saja.
"Silahkan diminum, Mas." Tawar Alysha ramah.
"Iya. Makasih, Lysh." Jawab Haris tak kalah ramah.
"Nak Haris sudah lama pulang ke Indonesia?" Tanya Dania yang baru saja bergabung dalam obrolan Haris dan Hamdan.
"Sudah lumayan lama, Bu."
"Kok baru main ke sini lagi?" Tanya Dania basa-basi.
"Iya, Bu. Banyak pekerjaan yang harus diurus."
"Rumah makan yang pernah kita datengin bereng keluarga Salman itu punya Haris loh, Bu," Hamdan menegakkan duduknya, "hebat, kan?"
"Wah, rumah makan itu kan cabangnya udah ada di mana-mana. Jadi, itu punya Haris?"
"Iya, Bu." Haris mengangguk kaku.
Alysha hanya diam menyimak perbincangan Hamdan, Haris, dan Dania.
"Nak Haris sudah menikah?" Tanya Dania.
"Belum, Bu," Haris menjawabnya dengan senyum yang canggung, "Alysha kira-kira mau nggak ya, jadi istri saya?"
Alysha dan kedua orang tuanya cukup terkejut mendengar kalimat Haris.
Belum sempat ada yang menjawab, ponsel Haris berdering menginterupsi perbincangan mereka.
"Maaf, saya keluar sebentar. Ada panggilan."
Setelah Haris keluar, ketiga orang di ruang keluarga itu mulai saling pandang.
"Tuh, kan," Dania mulai sewot, "Ibu bilang juga apa, Lysh? Dia itu masih ngarepin kamu."
"Ya tinggal dijelasin aja Bu, kalo Alysha udah mau nikah." Ucap Alysha tenang.
"Kok Ibu? Ayah kamu, tuh," Dania memandang Hamdan dengan tatapan protes, "dari tadi ramah banget."
"Ayah kan nggak tau bakal kayak gini, Bu," Hamdan melihat Alysha untuk mencari bantuan, namun Alysha diam saja, "nanti Ayah bilang ke Haris, kok. Tenang aja."
"Maaf Yah, Bu, Alysha," Haris sudah kembali ke ruang keluarga, "saya harus pamit sekarang. Ada urusan."
Haris mencium punggung tangan Hamdan dan mengangguk ramah pada Dania dan Alysha.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Setelah Haris pergi, Alysha mulai mengemasi cangkir kopi di atas meja.
"Ayah bisa ngomong lain kali, kok," Alysha mengangkat cangkir-cangkir itu, "dia juga nggak akan ngapa-ngapain."
"Oke." Sahut Hamdan santai.
Alysha beranjak ke dapur, Dania memutuskan menyusulnya, dan Hamdan masih duduk tenang di kursinya.
Siapa yang tahu, di balik sikapnya yang begitu santai, otak Hamdan terus berputar memikirkan perkataan Haris. Beberapa tahun mengenal Haris, Hamdan mengerti satu sifat Haris yang begitu ambisius, dalam hal apapun.
Haris akan melakukan apa pun sampai apa yang ia inginkan bisa ia dapatkan. Hamdan hanya berdoa dalam hati semoga pemuda dengan agama dan akhlak yang bagus itu sudah berubah dan lebih bisa memahami : apa yang bukan untukmu, tak akan pernah jadi milikmu.
Lain tempat, lain pula cerita yang dapat ditorehkan sebagai kenangan yang dapat dibuka ketika sudah sampai di hari esok.
Entah sudah CV taaruf ke berapa yang hanya Sheana letakkan di atas nakas kamarnya. Tak ada niat untuk membacanya sama sekali. Atau belum, barangkali. Alasannya? Gadis itu ingin fokus ke kafe yang baru ia rintis belum lama ini.
Berawal dari kecintaannya untuk datang ke Magenta Cafe, Sheana memutuskan untuk membuka kafenya sendiri. Semua yang ada di kafe, hadir dari idenya sendiri. Mulai dari menu hingga dekorasi.
Sadar atau tidak, banyak orang yang menyerah dengan usahanya hanya karena membandingkan proses awal yang ia lakukan dengan hasil yang orang lain dapatkan.
ns 15.158.61.8da2