Senja kali ini terlalu terburu-buru menghadirkan petang. Tak seperti kopiku yang masih terasa panas. Aku mencoba mencari celah di antara kepulan asapnya, untuk melihat wajah yang belum dapat kupastikan. Sayang, belum sempat aku melihatnya kopiku sudah menjadi dingin.218Please respect copyright.PENANAryIv6cDdnE
218Please respect copyright.PENANAkpMpQ5rSE8
Laki-laki itu duduk termenung di balkon rumah barunya yang sudah beberapa hari ia tempati. Setelah mengirimkan alamatnya kepada kedua sahabatnya, ia hanya diam menatap langit yang mulai jingga.
Tak lama, ia beranjak dari duduknya. Ponsel yang sedari tadi hanya tergenggam di tangannya, kini sudah ada dalam saku celana jeans hitam yang ia kenakan. Ia adalah Wisnu Alfarisi.
Ia keluar rumah, mulai menyusuri jalanan Singapura mencari tempat untuk menunggu jingga di langit menghilang.
Pilihannya jatuh pada sebuah caffe yang tak jauh dari tempat tinggalnya.
Ia memesan secangkir espresso. Laki-laki itu memang menggemari espresso. Tapi kali ini ada yang berbeda. Espressonya terasa hambar. Lalu bagaimana dengan secangkir matcha latte yang ia pesan juga? Ia menghirup aromanya dalam-dalam. Menikmati aroma itu dengan mata terpejam. Perlahan ia menyeruput matcha latte itu.
Entah, ia mulai menyukai apa yang perempuan itu suka.
Laki-laki itu menatap lurus cangkir matcha latte yang ada di kedua tangannya.
"Ya Allah, berilah aku petunjuk untuk apa yang harus menjadi pilihanku. Yakinkan hatiku. Apapun yang terjadi aku serahkan padaMu. Karena Engkau tau apa yang terbaik untuk diriku. Jangan biarkan aku melalaikanMu hanya karena seorang makhlukMu. Damaikanlah hatiku dengan ketentuanmu." Ucap Wisnu dalam hati.
Jingga mulai menghilang, laki-laki itu hendak meninggalkan caffe dan juga cangkir-cangkir kopi yang masih menampung isinya.
Caffe itu tak kunjung sepi juga. Masih banyak pengunjung yang keluar masuk. Para waiter juga masih berlalu lalang. Sibuk mencatat pesanan, mengantar pesanan, dan membereskan meja yang telah dipakai.
Satu hal yang dapat disimpulkan. Pegawai di tempat ini adalah sosok pekerja keras. Mereka terus tersenyum ramah kepada tamunya, meski guratan lelah masih dapat terbaca di wajah mereka.
Wisnu berjalan menuju ke pintu caffe. Tanpa sengaja ia bertabrakan dengan waiter yang membawa nampan berisi empat cangkir kosong. Waiter itu baru saja selesai membereskan meja caffe. Saat ia berbalik, saai itu juga Wisnu melintas. Jadilah mereka bertabrakan.
"Astaghfirullah." Pekik waiter perempuan itu.218Please respect copyright.PENANA1WfL8mtINe
"Untung aja nggak pecah." Gumamnya.
'Oh, orang Indonesia.' Wisnu membatin.
"Maaf." Ucap Wisnu singkat.
Perempuan dengan pashmina abu-abu yang melekat di kepalanya itu harus mendongak untuk melihat wajah lawan bicaranya. Tingginya hanya sepundak Wisnu.
Perempuan itu tersenyum. Wajahnya imut. Pipinya chubby dengan hidung yang tak cukup mancung.
"Maaf ya, Mas. Saya kurang hati-hati. Sekali lagi saya minta maaf." Ucap perempuan itu dengan nada menyesal.
Syaf berdehem dan mengangguk.
"Assalamualaikum." Pamit Wisnu dengan langkah yang mulai melewati waiter perempuan itu.
"Waalaikumsalam." Jawabnya lirih.
Ia terus menatap laki-laki yang baru ditemuinya tadi sampai laki-laki itu keluar dari caffe.
Berakar dari pertemuan itu, Wisnu dan Aleeta, waiter perempuan tadi, sering berjumpa.
Selain karena sama-sama dari Indonesia, seringnya Wisnu datang ke caffe tempat Aleeta bekerja membuat keduanya semakin akrab. Mereka mulai menjalin persahabatan. Kadang juga mereka berkomunikasi lewat ponsel.
Keadaan caffe sore itu tak begitu ramai. Hanya beberapa pengunjung saja. Banyak dari mereka yang jari-jarinya bergerak lincah di atas ponselnya. Membiarkan asap dari gelas di depannya mengepul begitu saja.
"Ini, Wis. Matcha latte sama espressonya." Ucap Aleeta sambil meletakkan dua buah cangkir di meja.
Wisnu yang sedari tadi fokus dengan ponselnya, segera meletakkan ponselnya di atas meja itu.
"Makasih, Leeta." Ucap Wisnu dengan tersenyum. Meski suaranya tetap terdengar dingin.
"Kok pesennya nggak ganti si, Wis. Cuma dua itu yang kamu pesen."
"Soalnya aku suka." Jawab Wisnu singkat.
"Ya kenapa suka?"
"Karena aku berharap espresso sama matcha latte itu serasi."
"Dari mananya?"
"Penyukanya."
"Ya Allah, kamu ngomong singkat-singkat banget." Protes Aleeta.
"Aku suka espresso dan dia suka matcha latte."
"Dia?" Tanya Aleeta dengan alis tertaut.
"Perempuan yang diam-diam aku semogakan." Ucap Wisnu tenang.
Ya, Wisnu sudah mengerti keputusan apa yang harus dia ambil setelah istikharahnya selama ini.
'Aku kan nggak suka matcha latte. Jadi ...' Aleeta membatin.
"Cie, udah ada perempuan nih? Kamu nggak pacaran, kan? Nggak boleh loh."
"Nggak pacaran. Doakan yang terbaik saja."
"Cie, cie. Pasti aku doain."
'Hah! Cie, cause I envy. Miris.' Ucap Aleeta dalam hati.
Aku, kamu, dia. Diam-diam saling mendoakan semoga dipasangkan dengan yang diimpikan. Aku hanya bisa berdoa semoga kamu bahagia. Tapi, jika di antara aku, kamu, dia, tidak ada yang menjadi kita, itu di luar kuasaku. Tak apa jika luka. Tandanya, Allah menganggap kita sebagai hambanya yang kuat.
Di sudut Magenta caffe, Sheana dan Alysha duduk berdampingan.218Please respect copyright.PENANAC3UJh6CnAU
Tak banyak percakapan, Sheana memang akhir-akhir ini lebih banyak diam.
"She, ada apa, sih?" Tanya Alysha.
"Eh, nggak apa-apa, Lysh. Ngomong-ngomong kamu tambah cantik pake niqab. Seneng deh, ngeliatnya." Ucap Sheana.
"Alhamdulillah. Kamu waktu pertama liat aku pake niqab juga kaget." Ujar Alysha terkekeh.
Sheana tersenyum. Ia menyeruput matchalattenya sambil menatap seberang caffe. Beberapa senjanya berbeda. Tak ada pria berpakaian formal yang duduk bersama pengamen atau memberikan payungnya kepada anak kecil berbaju lusuh. Tak ada lagi aroma espresso yang menguar dari cangkir di meja sebelah.
"Kamu kalo ada masalah cerita, She." Ucap Alysha.
Ia juga heran melihat Sheana akhir-akhir ini.
"Kamu pernah minta sama Allah buat jadiin seseorang jodoh kamu?" Tanya Sheana.
Alysha mengerutkan dahinya. Ia terdiam sebentar.
"Pernah."
"Itu nggak salah, kan?"
"Enggak. Nggak ada salahnya kita berdoa dan berusaha. Soal hasilnya, serahkan sama Allah. Dia Maha Tahu apa yang terbaik buat hambanya."
Sheana mengangguk.
"Tapi cintai dulu Allah, sebelum mencintai makhlukNya." Lanjut Alysha.
Setelah mengatakan itu, mata Alysha menangkap sosok Zivanna yang baru saja memasuki caffe. Tak perlu berpikir lama, Alysha melambaikan tangan ke arah Zivanna. Zivanna melihatnya dan langsung menghampiri Alysha.
"Assalamualaikum." Ucap Zivanna.
"Waalaikumsalam."
"Zivanna, kan?" Tanya Sheana memastikan.
Zivanna mengangguk. Meski tak terlihat, lawan bicaranya tahu kalu Zivanna sedang tersenyum.
"Kalian kenal?" Tanya Alysha.
"Iya. Duduk dulu, Ziv." Ucap Sheana.
Zivanna segera duduk mengambil posisi kursi yang berhadapan dengan Sheana dan Alysha.
"Jadi, kok kalian bisa kenal?" Tanya Alysha lagi.
"Aku pernah ke kantor Sheana. Kita ketemu di sana." Jawab Zivanna.
"Lah, aku juga kerja di sana loh, Sya." Ucap Alysha.
"Oh, ya?"
"Iya, tapi ngapain kamu ke kantor aku, Sya?"
"Ada perlu aja."
"Sama Pak Bos." Sambung Sheana.
"Kenapa kamu panggil Zivanna pake Sya, Lysh?" Tanya Sheana.
"Dari zaman sekolah juga dipanggilnya Tasya." Jawab Alysha.
"Sekarang panggilnya Zivanna aja. Biar nggak bingung." Ucap Zivanna dengan kekehannya.
"Oke, deh. Pesen dong, Sya. Eh, Zivanna, maksudnya."
"Iya, Lysh."
Zivanna memesan secangkir milkshake strawberry. Ketiga perempuan itu asyik bercerita sambil sesekali menyeruput pesanan masing-masing.
"Aku tuh udah lama nggak ketemu Zivanna tau, She. Lulus SMA dia pindah nggak bagi-bagi alamat. Baru ketemu lagi belum lama ini. Terus karena dia juga aku makin mantep pake niqab." Cerita Alysha pada Shea.
Sheana dan Zivanna tertawa kecil melihat tingkah Alysha. Nada bicaranya seperti anak kecil. Menggemaskan sekali.
Ketika sedang larut dalam percakapan, seorang laki-laki mengenakan kemeja putih dan celana jeans hitam menghampiri meja ketiga perempuan itu.
"Aku perlu bicara sama kamu." Ucap laki-laki itu terdengar menahan amarah yang siap meledak kapan saja.
Pembicaraan para wanita itu terhenti. Ketiganya menatap laki-laki yang baru saja datang itu.
Beberapa detik semuanya hanya diam. Hingga Zivanna membuka mulutnya.
"Bicara sama aku atau ..." Tanya Zivanna menggantung.
Abigail melirik sekilas ke arah Sheana dan Alysha. Ia baru sadar jika dua perempuan itu adalah karyawannya. Ah, tapi peduli apa dirinya.
"Kamu." Ucapnya dingin.
"Ya udah, di sini aja." Balas Zivanna tenang. Nadanya cenderung acuh.
"Ziv!" Abigail sedikit meninggikan suaranya.
Zivanna menghela nafas lelah.
"Sebentar ya, Lysh, She."
Zivanna berjalan keluar caffe dengan Abigail yang berjalan di belakangnya.
"Mau bicara apa, Abi?" Tanya Zivanna sesopan mungkin.
"Jelasin." Ucap Abigail singkat.
"Apa?" Tanya Zivanna.
"Kenapa kamu nolak perjodohan kita?" Tanya Abigail.
"Terus kenapa kamu mesti marah?" Zivanna balik bertanya lagi.
Perempuan itu sudah mengatakan kepada orang tuanya tentang keputusannya menolak perjodohan dengan Abigail. Pasti orang tuanya sudah menyampaikan kepada orang tua Abigail.
Bukan respon seperti ini yang Zivanna prediksi dari Abigail. Zivanna pikir, Abigail akan meng'iya'kan saja. Karena setahu Zivanna, Abigail sama sekali tidak berniat menikah dengannya.
"Kamu bilang kamu bakal ngikutin apapun keputusan aku, Ziv?" Suara Abigail mulai melunak.
"Ya iya, kan. Aku udah ngikutin. Nggak apa-apa kalo kamu ada niat menikahi perempuan lain. Orang tua kita juga nggak maksa." Jawab Zivanna setenang mungkin. Meski sebenarnya ia merasa sakit sendiri saat harus berdebat dengan Abigail.
"Perempuan lain apa, sih? Udah, lah! Nggak usah nyari alesan. Aku mau nikahin kamu, Ziv. Tapi kamu malah buat aku berusaha menjauh dari kamu. Aku kecewa sama kamu." Kata Abigail mengacak rambutnya frustasi.
Zivanna adalah jawaban istikharahnya selama ini. Abigail mulai menaruh hati pada perempuan berniqab itu. Perasaannya tulus. Soal Sheana, Abigail merasa Sheana adalah sosok sahabat yang baik. Wajar bila Abigail merasa nyaman. Abigail berniat akan segera menikahi Zivanna. Tapi belum apa-apa, perempuan itu sudah menolaknya.
Zivanna sendiri terkejut mendengar pengakuan Abigail. Tapi bagaimana lagi? Ia sudah mengikhlaskan semuanya.
"Berhenti ngasih aba-aba supaya aku terus nyoba buka hati kamu. Padahal kamu yang paling tau kalo di hati kamu udah ada dia yang menghuni duluan." Ukar Zivanna.
"Ziv..."
"Assalamualaikum."
Setelah mengucapkan salam, Zivanna langsung beranjak ke mobinya meninggalkan Abigail yang masih tertunduk.
"Astaghfirullah, maksud dia apaan sih ngomong kayak gitu?" Gumam Zivanna.
Zivanna mulai melajukan mobilnya keluar area caffe. Membelah jalan raya untuk kembali ke rumahnya.
Hampir setengah jalan, Zivanna menghentikan mobilnya.
"Lupa belum bayar tadi. Astaghfirullah."
Lalu ia mengeluarkan ponsel dari tasnya. Membuka aplikasi chat dan jemarinya mulai mengetikkan sesuatu dengan lincah.
Zivanna Anastasya 🌸218Please respect copyright.PENANAKH7vJc5dxU
Assalamualaikum.218Please respect copyright.PENANAPAaU3KYoB5
Aku disuruh ibu pulang. Lupa belum bayar. Pake uang kamu dulu, ya? Besok aku ganti.
Alysha Shakeera 💕218Please respect copyright.PENANAuAM9sKs70R
Waalaikumsalam.218Please respect copyright.PENANAyT8lfOwtAA
Iya.
Zivanna Anastasya 🌸218Please respect copyright.PENANAGCa4Kzb463
Terima kasih, ya.
Setelah mengirim pesan itu, Zivanna kembali fokus mengendarai mobilnya.
"Ada yang nggak beres sama Tasya." Gumam Alysha.
"Ada apa, Lysh?" Tanya Sheana.
"Nggak apa-apa. Ini tadi Zivanna minta dibayarin dulu. Buru-buru balik soalnya."
"Oh, gitu. Balik juga, yuk. Udah sore juga ini."
"Iya. Kamu pulangnya gimana?"
"Aku naik taxi. Eh, kapan-kapan kamu main dong ke rumah. Ibu pengin liat kamu, tau. Gara-gara aku sering cerita tentang kamu."
"Cerita apa aja hem?"
"Ada, deh."
"Ya, udah. Nanti aku sempetin main, deh. Eh, tapi di rumah kamu biasa kumpulnya jam berapaan?"
'Kalo ketemu Syaf bisa gawat.' Ucap Alysha dalam hati.
"Pagi atau malem gitu. Kalo siang Ayah sama Abang kan di kantor."
"Oke, siang aja ya, ke rumah kamunya."
"Kok gitu? Ya udah deh, nggak apa-apa. Dari pada enggak sama sekali."
Maaf, mungkin terkesan memaksa. Tapi sungguh, ini bukan paksaan sama sekali. Aku hanya menyuarakan isi hatiku saja. Maaf, untuk semua kesalahanku. Mungkin tanpa sadar, aku membuatmu sakit. Meskipun kamu tetap diam. Sampai aku tidak tau apa yang diam-diam kamu adukan kepada Rabbmu. Percaya atau tidak? Aku benar-benar tulus memilihmu. Jangan suruh aku berhenti memperjuangkanmu. Karena itu adalah hakku, mendapatkan kebahagiaan.
Jangan jauh-jauh dari Allah, ya. Karena aku minta sama Allah buat selalu ngelindungin kamu. Semoga nanti, akan ada saatnya aku bisa ngelindungin kamu juga, atas izin Allah pastinya.
218Please respect copyright.PENANAEooB6h7bwn