Lalu, apakah ini sudah selesai? Sudah sampai di episode terakhir? Ah, padahal aku baru beberapa kali mengucap dialog. Apakah ada cerita yang ke dua? Versinya sama? Kuharap lebih bahagia.188Please respect copyright.PENANAECfDNgRpdx
188Please respect copyright.PENANAUlJaq3E7IL
Wisnu masih menemani Aleeta di rumah sakit. Ia harus menunggu teman baik Aleeta mendapatkan cuti dari tempat kerjanya. Setelah itu Wisnu baru bisa pulang ke Indonesia.
Wisnu baru ingat ia diminta ayahnya untuk mengajukan kerja sama dengan Syaf. Ia segera mengambil ponselnya untuk menghubungi Syaf.
"Assalamualaikum, Syaf."
"Waalaikumsalam, Nu. Apa kabar lo? Sorry, ya, belum sempet ke sana."
"Gue baik, kok. Bentar lagi gue balik. Abigail nikahan."
"Sama si Zivanna itu kan?"
"Iya, kok lo tau?"
"Gue diundang Zivanna. Lo nggak inget? Zivanna itu temen kita waktu SMA."
"Emang ada yang namanya Zivanna?"
"Tasya, Zivanna Anastasya. Yang kemana-mana berdua sama ...Alysha."
"Oalah, gitu. Eh, iya bokap gue nawarin kerja sama, nih."
"Gitu, ya? Lo ngomong aja dulu deh tu ama adek gue. Dia kan sekretaris, paham lah. Gue ada urusan bentar."
"Hah?"
Sesaat tak terdengar apapun dari Syaf.
"..."
"Syaf?"
"Assalamualaikum, Mas Wisnu?"
Bukan suara Syaf yang ia dengar tapi suara seorang perempuan.
"Mas Wisnu? Saya Sheana adiknya Bang Syaf."
Wisnu langsung meletakkan telfonnya tanpa memutuskan sambungannya. Ia tergesa-gesa keluar dari ruang rawat inap Aleeta. Aleeta yang melihatnya pun kebingungan.
Kemudian, Aleeta memutuskan untuk mengecek ponsel Wisnu. Telfonnya masih tersambung, tertera nama Syafril Rivai di sana. Aleeta mendekatkan ponsel itu ke telinganya.
"Halo? Ada yang bisa dibantu? Wisnu sedang keluar." Ucap Aleeta.
Tetapi, sambungan telfon langsung diputuskan begitu saja oleh Syafril Rivai itu.
"Kenapa deh, ni orang?", Aleeta bergumam.
Tak mau memikirkan lebih jauh, Aleeta memilih untuk meletakkan ponsel Wisnu di atas nakas dan tidur.
Sedangkan, di seberang sana, seorang perempuan sedang menahan genangan air di pelupuk matanya.
'Apa aku salah memiliki perasaan ini, Ya Allah?'
"Loh Dek, kenapa?"
"Mataku perih, Bang.", jawab Sheana sekenanya.
"Kasih obat, gih. Telfonnya udah?"
"Abang telfon lagi aja, tadi She nggak fokus, jadi mending She matiin telfonnya. Perih, Bang."
"Oke, deh," jawab Syaf.
Wisnu duduk di bangku taman rumah sakit. Ia merasa menjadi seorang pengecut karena tak berani berbicara dengan Sheana meski lewat telfon. Meski soal pekerjaan, bukan perasaan. Memikirkan itu Wisnu berdecak dan mengacak rambutnya kasar.
Sudah hampir satu jam, Wisnu masih di tempat yang sama. Wajahnya ia tutupi dengan kedua tangan. Sesekali terdengar helaan nafas berat dan juga istighfar dari mulutnya.
Dengan sangat pelan, ia beranjak dari duduknya. Berjalan ke ruangan Aleeta. Ternyata di sana sudah ada sahabat Aleeta yang menemani.
"Leet, gue pergi, ya. Sahabat lo kan udah dateng." Ucap Wisnu sambil mengambil ponselnya.
"Iya, Benvi udah di sini. Makasih, ya. Maaf, ngrepotin."
"Nggak, kok. Oh iya, ini lo pake aja." Ucap Wisnu dengan menyodorkan sebuah kartu kredit.
Aleeta hanya menatapnya. Seperti tak berniat mengambilnya.
"Nggak usah ngerasa nggak enak, pake aja."
Melihat masih tak ada respon dari Aleeta, Wisnu menyodorkan kartu itu ke Benvi.
"Ini, Vi. Ambil."
Benvi menatap Aleeta sebentar, lalu ia menerima kartu itu dari Wisnu. Ia tau Aleeta membutuhkannya dan Benvi pun tak bisa banyak membantu.
"Thanks ya, Wis. Maaf juga udah ngerepotin lo."
"Nggak, santai aja. Gue balik dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam.", jawab Benvika. Aleeta? Ia hanya diam.
Setelah Wisnu keluar dari ruangan, Benvi menyimpan kartu itu ke dompetnya. Ia akan memastikan kehidupan Aleeta baik-baik saja.
"Leet, Wisnu baik, ya?"
"Iya." Jawab Aleeta yang sedang sibuk memotong apel.
"Lo temenan sama dia lumayan lama, lah. Lo nggak suka sama dia?"
Pertanyaan Benvi membuat gerakan tangan Aleeta terhenti sebentar.
"Suka." Jawab Aleeta enteng sambil melanjutkan kegiatannya memotong apel.
"Lah, terus?"
"Terus apa? Nggak ada terusannya. Ini udah tamat. Dia udah ada cewek."
"Uuuuu kasian temenku. Ntar kalo lo udah sembuh gue cariin deh."
"Benvi, jodoh tuh nggak bakal ke mana."
"Iya-iya."
Alysha dan Zivanna bertemu di Magenta Caffe. Alysha masih ingin memastikan bahwa sahabatnya itu masih baik-baik saja. Terlebih, Zivanna akan menikah dengan Abigail.
"Sya, coba jelasin deh, waktu Pak Abi dateng ke sini terus emosi gitu." Ucap Alysha.
"Lysh, lysh. Kamu tuh, ya. Jadi, setelah aku liat dia sama sekretarisnya yang ternyata Sheana itu aku langsung bilang ke Ibu sama Bapak kalo aku nolak perjodohan ini. Aku pikir, Abi nggak akan pernah bahagia kalo harus terjebak sama aku di dalam sebuah pernikahan."
"Terus?"
"Ya waktu dia marah-marah ke sini dia udah tau kalo aku nolak. Dia bilang, aku jawaban dari istikharah-nya. Lah aku kaget juga, dong. Akhirnya aku langsung pulang sampe lupa bayar."
"Tasya bohong berarti. Bilangnya disuruh cepet-cepet pulang." Ucap Alysha dengan mengerucutkan bibir.
"Iya, maaf, ya."
"Lanjutin."
"Iya. Terus beberapa hari kemudian Abi dateng ke rumah sama orang tuanya dia ngelamar aku. Dia juga jelasin kalo dia nggak pernah ada perasaan sama perempuan lain. Meskipun orang tua aku sama Abi nggak maksain perjodohan ini, tapi aku tau kalo mereka menginginkan perjodohan ini terjadi. Aku terima lamarannya."
"Berarti kamu terpaksa?"
"Awalnya, iya, sedikit. Tapi, makin ke sini Abi makin nunjukkin keseriusannya. Jadi, menurut aku udah nggak ada lagi alasan untuk merasa ragu."
"Semoga kamu bahagia terus ya, Ziv. Sabar ya, ngadepin Pak Bos."
"Iya, Lysh. Aku denger-denger dia galak, ya?" Ucap Zivanna dengan tawa kecilnya.
"Iya, ih."
Dua perempuan itu menghabiskan sore mereka di Magenta Caffe. Berbeda dengan Sheana. Ia memilih diam di rumah. Alysha sudah mengajaknya ke Caffe, tapi Sheana masih terjebak dalam keadaan hatinya yang cukup kacau. Sheana lebih memilih menonton tv di rumah.
Ponselnya berdering, Alysha menelfonnya.
"Assalamualaikum, Lysh."
"Waalaikumsalam, She. Kamu di rumah? Ini aku bawain matchalatte."
"Di rumah, dong. Sini aja, Lysh."
"Eum .. Keluarga kamu di rumah?"
"Iya, lagi sibuk sendiri-sendiri. Aku juga cuma nonton tv."
"Oke, tunggu, ya."
"Siap."
Setelah Alysha mengakhiri panggilannya, Sheana melanjutkan aktivitas menontonnya sebentar sebelum pergi ke dapur menyiapkan suguhan untuk Alysha.
Saat sedang menata cookies ke dalam toples, Syaf menghampiri She.
"Ngapain kamu, dek?"
"Nyiapin suguhan istimewa buat orang istimewa."
"Mau ada orang ngelamar kamu? Harus ketemu abang dulu, nggak boleh kalo nggak abang seleksi dulu." Balas Syaf sedikit sewot.
"Berisik, Abang. Ini tuh buat kakak ipar."
"Kakak ipar-kakak ipar mulu, dek."
"Abang, si. Kerjaan mulu yang diurusin. Jodoh enggak. Ya udah, karena She baik, She cariin, Bang. Kasian Ayah sama Ibu juga."
Sheana mengucapkan kalimat terakhir itu dengan lirih. Syaf juga merasakan apa yang adiknya rasakan.
"Biar Abang usaha sendiri, Dek. Kamu fokus aja sama karier kamu sekarang."
"Hah? Serius?" Wajah She kembali cerah.
"Hem."
"Abang, nanti Alysha ke sini, lho. Tamu istimewa aku tuh Alysha. Abang sama Alysha, ya?"
Syaf menatap adiknya. Mendapat tatapan dari Syaf, nyali Alysha menciut. Ia tahu kalau Syaf paling tidak suka dijodoh-jodohkan.
"Maaf, Bang. Kalo Abang nggak sama Alysha nggak apa-apa. Yang penting Abang bahagia."
Setelah Sheana mengucapkan itu, terdengar suara bel.
"Itu kayaknya Alysha, deh." Sheana bergegas membawa nampan berisi beberapa macam cookies dan segelas susu cokelat.
Setelah meletakkan nampan di atas meja ruang tamu, Sheana membukakan pintu untuk Alysha.
"Assalamualaikum, Sheana." Ucap gadis manis berniqab itu.
"Waalaikumsalam, Alysha cantik. Yuk, masuk!" Ucap Shea dengan menggandeng Alysha masuk ke dalam rumah.
Sampai di ruang tamu, ternyata sudah ada Syaf yang tengah sibuk mengganti channel televisi sambil bercakap di telepon. Entah dengan siapa, tapi sepertinya asik sekali.
Setelah selesai bertelfon, masih sambil menekan-nekan tombol remote tv, Syaf tanpa rasa bersalah menyomot cookies yang sudah disiapkan She untuk Alysha.
"Abang! Itu kan buat Alysha, kenapa dimakan, si? Nakal, ih!" Ucap She emosi.
"Dikit doang, Dek." Jawab Syaf enteng tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi.
"Pantes aja, belum nikah." Celetuk Sheana.
"Bisa aja kamu, Dek." Jawab Syaf acuh.
"Idih, Abang! Nggak ada niat pergi dari situ apa? Ada tamu ini."
"Abang nggak akan ganggu kalian, Dek." Ucap Syaf sambil terus memakan cookies.
Tangan Syaf hendak meraih segelas susu cokelat di atas nampan, tetapi tangan Sheana sudah lebih dulu memukul tangan Syaf.
"Bikin sendiri sana!"
"Biar calon istri abang yang buatin."
"Punya juga enggak. Dasar halu!"
"Ada, kok."
"Ih, bodo amat!"
"Ehm, She kalo abang kamu mau minum susu cokelatnya nggak apa-apa, kok." Ucap Alysha mencoba menengahi.
"Nggak! Ini khusus buat kamu. Duduk, Lysh. Anggap aja di sini cuma kita berdua."
"Iya. Eh, ini matchalattenya." Alysha menyerahkan matchalatte kepada Sheana.
"Makasih, ya, Lysh. Dimakan Lysh, cookiesnya. Susu cokelatnya juga diminum."
"Iya."
Syaf masih sibuk memandang televisi di depannya. Padahal telinganya sibuk mendengarkan pembicaraan dua perempuan itu. Sedangkan jantungnya sibuk berdebar, dan otaknya mencoba menerjemahkan.
Semakin lama, suara dua perempuan itu makin lirih. Hanya suara tawa kecil yang Syaf dengar. Saat Syaf melihat ke perempuan-perempuan itu, ternyata mereka sedang menonton film dari ponsel.
Syaf justru fokus pada gadis berniqab itu. Matanya masih sama, apakah wajahnya masih sama? Pasti sudah berubah, menjadi semakin menawan, pasti.
Aku tidak memilih kamu. Kamu pun tidak memilih aku. Tapi, aku dan kamu dipilih Allah untuk menjadi kita, untuk saling menyempurnakan. Semoga.188Please respect copyright.PENANACT8rmi6Fhc
Tunggu sebentar lagi.
188Please respect copyright.PENANAp0LGZNxsdg